“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Ketua STT Bukanlah Sekedar Prestise

Ketua STT Bukanlah Sekedar Prestise
TW Yunianto*

Mengamati perguliran pertarungan antar-kandidat dalam presentasi visi misi yang diselenggarakan oleh panitia pemilihan beberapa waktu kemarin, ada sebuah pertanyaan konyol yang masih terpendam dalam diri saya. Sebenarnya, apa sih motivasi beliau – beliau untuk meraih STT-1 ? Sepertinya pertanyaan tersebut cukup esensial. Mengingat adanya beberapa pernyataan beberapa calon yang cukup futuristik dan imajinatif, dimana menurut hemat saya pribadi, hal itu tidak akan terealisir dalam 3 atau 4 tahun ke depan mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh kampus ini.
Dalam sebuah dialog angkringan, saya dan teman saya sepertinya masyuk asyik dalam sebuah percengkeramaan tentang sebuah ketua yang ideal. Sosok bapak yang kita dambakan, yang mampu memberikan atmosfer perubahan dalam segala aspek kehidupan yang ada di kampus ini. Romantisme masa lalu yang kembali mengingatkan memori kita tentang bagaimana kampus ini memiliki sebuah reputasi yang cukup diakui namun sekarang terpuruk dalam sebuah nama besar. Selain itu, beberapa cita – cita yang dilukiskan oleh para arsitek kampus yang saat ini tinggal angan – angan. Sebut saja sebuah keinginan membuat kampus STT sebagai pusat unggulan IT di negeri ini sepertinya kita harus menerapkan konsep CTRL-ALT-DEL.
Berbagai kebijakan Ketua dahulu (incumbent) yang dinilai tidak populis, menjadikan berbagai kalangan menilai tentang sebuah urgensivitas akan sosok seorang Ketua itu sendiri. Bahkan dalam momen presentasi visi misi kemarin sempat ada salah seorang pejabat kampus yang mengatakan sebuah pernyataan yang cukup sesuai dengan realitas, dimana beliau mengatakan bahwa kampus ini dapat berjalan walaupun tanpa dipimpin oleh seorang Ketua. Melihat dari pernyataan tersebut, maka menurut penilaian saya, hal itu akan kembali kepada sejauh mana loyalitas dan integritas serta keseriusan Sang Ketua STT dalam membangun sebuah tata pemerintahan yang mampu mengayomi seluruh pihak serta mampu membawa arah kampus ini sesuai dengan slogan yang selama ini kita kenal yaitu center of excellence. Hal itu akan menjadi omong kosong belaka ketika kita masih memiliki sosok Ketua yang hanya diam, tidak mau melihat kondisi lapangan serta lemah dalam analisa kebijakan. Seperti pada tulisan saya yang pertama bahwa Ketua STT bukanlah boneka, apalagi sebuah pajangan sebagai simbol normatif saja. Ketua STT tidak digaji hanya untuk datang, duduk diam dan tanda tangan saja, serta ketemu mahasiswa hanya saat wisuda, dan itupun satu kata yang keluar dari mulutnya “SELAMAT” (kalau mau…).
Dalam sebuah retorika mengatakan, kalau merasa tak mampu, ya mundur saja. Selain itu saya mencoba mengembalikan permasalahan tersebut sebagai pengantar dalam berlogika mampu atau tidak mampu. Atau bahkan kalau perlu-pun, senat kemarin bisa menanyakan tentang kesanggupan bekerja. Kalau ragu – ragu ya apa boleh buat, just kick from rivality.
Kontekstual persaingan memperebutkan kursi STT-1 sebenarnya tidak lebih dari sebuah prestise, kalau boleh saya katakan. Mengapa ? Karena di sana yang ada adalah sebuah kedudukan yang amat strategis jika kita melihat dari kaca mata kompetensi keilmuan kampus kita. Kalau boleh dibilang, STT merupakan kampus IT terbesar di negeri ini (karena yang lain masih umum). Selain itu, STT memiliki tempat istimewa di hati salah satu perusahaan telekomunikasi yang ada, PT. Telkom. Sehingga, mau atau tidak mau, kemungkinan besar posisi STT-1 pun nantinya juga akan sarat dengan conflict of interest. Sehingga salah satu tolok ukur bagi kepiawaian Sang Ketua nantinya adalah bagaimana mempertemukan kepentingan warga kampus dengan sosok pemilik, yakni perusahaan. Hal itu terlepas dari sistem regulasi pendidikan tinggi saat ini.
Kita tidak boleh memungkiri bahwa kondisi kita (mahasiswa) saat ini seringkali dianggap oleh sebagian kalangan birokrat kampus sebagai objek kebijakan. Sehingga kebijakan yang ada adalah pengajaran oriented, dan produk yang muncul-pun tak lebih dari sekedar manusia – manusia instan.
Terkait dengan hal itu, maka saya mencoba menghubungkan antara beberapa visi misi dengan permasalahan di atas. Ketika menyimak beberapa presentasi calon Ketua, saya terkesima luar biasa. Dalam benak saya, semua yang beliau – beliau sampaikan adalah sebuah langkah panjang yang sarat dengan perjuangan. Mengembalikan izzah (kehormatan-pen) kampus ini memang tidak mudah. Seperti di awal saya katakan, penyakit yang diderita kampus ini sudah cukup kompleks. Kita bisa melihat bagaimana terbengkalainya master plan kampus, kebijakan yang dinilai menguntungkan sepihak, dan kekecewaan yang sering dilontarkan mahasiswa, adalah sebagian dari permasalahan yang ada. Memang tidak ada dosa warisan, namun sepertinya Sang Ketua baru nantinya akan mendapat penyakit warisan, dimana hal itu akan sangat menentukan kepercayaan warga kampus terhadapnya. Sekarang kita bisa berlogika, apakah kita mau jika kampus ini hanya dipimpin oleh seorang nakhoda pesanan saja. Kiri manut, kanan manut ? Saya kira, posisi Ketua STT nanti adalah sebuah ajang berkreasi, menumbuhkan semangat untuk perbaikan. Dalam tataran global kita bisa mengangkat wacana kebijakan internal maupun eksternal. Internal ketika Sang Ketua mampu memberikan sebuah perasaan nyaman serta rasa memiliki dari segenaap warga kampus, serta eksternal ketika Sang Ketua mampu membangun citra STT sebagai center of IT, center of excellence. Kita harus membuktikan bahwa citra STT sudah tidak zamannya lagi untuk bergantung pada sebuah kata Telkom. Namun, pembuktian jati diri bahwa kita bisa adalah sebuah keniscayaan ketika Sang Ketua nantinya mampu memberikan solusi – solusi konkret dalam membawa kemudi pemerintahan kampus yang aspiratif dan visioner.
Akhir kata saya ucapkan selamat kepada ketiga bakal calon, yaitu Prof. Adang Suwandi, DR. Arifin Nugroho, dan Husni Amani MBA. Hanya satu kata untuk menutup, bahwa jika merasa tidak mampu, mundur saja…..
Semoga Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk menunjukkan seorang pemimpin yang amanah, bukan seorang pemimpin yang lemah….
Salam Mahasiswa…

posted by ENDONISEA @ 17:11,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home