“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-

Fatwa ‘Banyol’ Ketua MUI Kabupaten Bandung
TW Yunianto*


Ulama adalah panutan umat, begitu adalah opini masyarakat awam terhadap keberadaan para ulama di masyrakat. Apalagi hal itu dikuatkan dengan salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwasanya ulama adalah pewaris para nabi. Lantas bagaimanakah ulama tadi menempatkan dirinya di mata umat ?
Beberapa hari yang lalu di salah satu koran yang terbit di Kota Bandung, dimuat pernyataan salah seorang ulama, yang notabene menjabat Ketua MUI Kabupaten Bandung, yang cukup kontroversial. Ulama tersebut juga merupakan anggota tim sukses dari salah satu kandidat bupati / wakil bupati Bandung yang akan berlaga pada Pilkada 22 Oktober mendatang. Dalam salah satu kesempatan orasinya, sang ulama tersebut mengatakan, “Makanya memilih pasangan XX wajib ‘ain hukumnya bagi umat Islam. Lamun henteu milih, doraka”. Sebuah kalimat yang sangat mudah keluar dari mulut setiap orang. Namun bagaimana jika kalimat tadi keluar dari mulut salah seorang ulama, apalagi sudah mengandung makna hukum dengan penekanan kata doraka atau dosa ?
Memang sudah menjadi trade mark tersendiri bagi para kandidat dengan cara menggaet para tokoh masyarakat, apalagi ulama, untuk menjaring suara demi kemenangan dirinya dalam perhelatan politik tersebut. Sebenarnya tidak salah bagi para ulama atau tokoh masyarakat untuk bergabung di salah satu tim sukses, namun akan menjadi masalah jika sang tokoh atau ulama tadi menggunakan posisi strategisnya, apalagi mencatut lembaga yang dipimpinnya, dalam rangka mengeluarkan ajakan maupun bujuk rayunya untuk meyakinkan massa. Walaupun yang terjadi di lapangan hanyalah sekedar banyolan ataupun sebuah statement dalam rangka mendinamisasikan suasana kampanye, namun hal tadi akan dianggap serius oleh sekalangan masyarakat, apalagi masyarakat yang nota bene masih memiliki paham sendika dhawuh (menurut saja-red) terhadap para pemimpin terlebih ulamanya. Kalaupun yang terjadi banyolan, maka pantaskah jika ulama mengeluarkan banyolan di muka publik, apalagi untuk kepentingan politis ?
Anak SD yang paham akan fungsi seorang ulama, pasti akan tertawa jika mendengar hal tersebut. Bagaimana tidak, perkataan seorang ulama yang seharusnya menjadi panutan umat, malah dipelintirkan untuk kepentingan politik. Jika seorang ulama dengan mudahnya mengeluarkan fatwa halal maupun haram, maka akan ada berapa banyak fatwa yang penuh warna yang keluar dari masing – masing mulut ulama. Ulama A mengatakan dosa untuk suatu hal, namun ulama B mengatakan sebaliknya. Lantas umat diminta menurut kepada siapa ?
Seperti yang penulis ketahui, bahwasanya untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan akan suatu hukum, maka diperlukan suatu forum khusus yang tidak hanya dihadiri oleh satu atau dua orang ulama saja, apalagi kalau kasus itu terjadi di Indonesia, maka yang memiliki kewenangan adalah Majelis Ulama Indonesia, dimana pemerintah memberikan kewenangan padanya untuk memutuskan suatu hukum. Akan menjadi hal yang sangat kontroversial, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung, jika fatwa tersebut keluar dari seorang ulama untuk kepentingan tertentu, dengan cara melakukan klaim-isasi atas hukum, dan disana pula publik mengetahui baik secara langsung maupun tak langsung. Jika yang terjadi adalah demi kemaslahatan, maka masih dapat ditolerir, namun jika yang terjadi adalah banyolan politik seorang ulama dengan mengeluarkan suatu fatwa untuk kepentingan dirinya, maka yang ada adalah penipuan kepada umat. Seorang ulama ada bukan untuk membingungkan umat. Seorang ulama ada bukan untuk membohongi umat, apalagi jika ulama tadi menurut saja untuk ‘dimanfatkan’ oleh pihak – pihak tertentu dalam rangka memuluskan keinginan – keinginan mereka. Akhir dari tulisan ini, penulis ingin tanyakan kepada pembaca sekalian,”Jika seorang ulama seharusnya hadir untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, maka siapa yang berhak untuk menghukum jika ulama tadi telah dengan sadar mempermainkan fungsinya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya ? Apakah ulama tadi sudah amanah ? Ataukah sekarang ini kita sudah tidak memiliki lagi ulama yang benar – benar memiliki tafaqquh fiddiin yang mampu menjadi panutan umat ? Yang jelas, Rasul-pun tidak salah ketika mengatakan ulama adalah pewaris para nabi. Namun, siapa yang salah jika ulama yang ada tidak bisa mewarisi amanah itu ? Saya kira, perlu ada lembaga tersendiri untuk meng-akreditasi para ulama, khususnya syarat kesehatan akal bagi seseorang yang ingin untuk menjadi seorang ulama”. Wallahu a’lam…

Lamun henteu milih, doraka : Jika tidak memilih, berdosa

*) Presiden BEM-KBM STTTelkom

posted by ENDONISEA @ 08:21,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home