“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-

MAHASISWA, APA YANG KAU CARI…?!
TW Yunianto*

Ada juga pemuda yang tumbuh dalam suasana bangsa yang keras dan bergolak,
di mana bangsa itu sedang dikuasai oleh lawannya,
dan dalam semua urusan diperbudak oleh musuhnya.

Bangsa ini berjuang semampunya untuk mengembalikan hak yang dirampas,
tanah air yang terjajah, dan kebebasan, kemuliaan,
serta nilai agung yang hilang.

Saat itulah, kewajiban mendasar bagi pemuda yang tumbuh dalam situasi seperti ini
adalah berbuat untuk bangsanya lebih banyak dari pada berbuat untuk dirinya sendiri.
Jika ia lakukan hal itu, ia akan beruntung dengan mendapatkan kebaikan segera di medan kemenangan......

-Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan-

Mahasiswa, sebuah predikat yang dapat dikatakan amat-sangat terhormat ketika kita kembali ke masa 60-an, ketika saat itu manusia Indonesia masih sedikit yang mampu menikmati bangku kuliah, sehingga tak jarang pesta kelulusan seorang mahasiswa dirayakan oleh orang sekampung. Sekarang, posisi kita juga masih terhormat. Dengan predikat supplier pengangguran terdidik, kita setidaknya masih dikatakan sebagai pengangguran intelek. Apakah itu sebuah kehormatan..?!
Dalam sebuah dialog warung kopi ada seorang bapak – bapak yang bertanya kepada salah seorang pemuda yang ada di sebelahnya. Seorang bapak tadi bertanya,”Gimana ya Dik, sekarang ini sepertinya negeri kita diacak – acak, tidak hanya oleh luar negeri, tetapi para pejabatnya-pun tak ubahnya seperti macan lapar. Korupsi di mana – mana, dan ujung – ujungnya duit rakyat yang dihisap...!!. Kalo kita lihat, mereka itu kan sebenarnya orang – orang pinter juga, mantan mahasiswa, tapi kok kenyatannya seperti itu..??”. Dari penggalan dialog di atas, apakah itu sebuah kehormatan....?!
Posisi mahasiswa bukanlah sebuah gelar jabatan atau kehormatan, namun lebih dari sekedar tanggung jawab moral yang mengikat, dan masyarakat akan selalu menanyakan apa yang kita bisa lakukan. Kondisi realitas yang ada di sekitar kita, dimana banyak ketimpangan – ketimpangan yang terjadi, menjadi sebuah beban yang mau tidak mau bertengger di pundak kita. Kalaulah saat perjuangan kemerdekaan dulu mahasiswa dan pemuda tidak bangkit melalui pemikiran – pemikiran serta pergerakan – pergerakannya, maka mustahil kemerdekaan ini dapat diraih. Kalaulah tragedi 98 tidak terjadi, dimana mahasiswa sebagai motornya, maka dimungkinkan rezim tiran masih bercokol di negeri ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembaharuan – pembaharuan yang terjadi dalam suatu siklus generasi dimulai dari peran seorang MAHASISWA....
Sekarang, yang kita butuhkan adalah sebuah kesadaran akan posisi dan potensi kita, bahwa ternyata diri kita mampu mengubah peradaban. Tidak hanya itu saja, kita sebagai mahasiswa ternyata masih memiliki suatu citra yang khas di mata masyarakat. Mereka memandang kita selain sebagai masyarakat intelektual, juga sebagai independent crisis solver atas realitas sosial serta ketimpangan – ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat.
Sehingga, karakter mahasiswa yang paling menonjol seharusnya adalah kemampuan dalam melihat segala permasalahan secara obyektif dengan menempatkan moralitas sebagai patron pergerakan. Jika saat ini, di kampus ini, kita masih merasakan akan adanya permasalahan yang menempatkan kita sebagai objek penderita, maka setidaknya kita harus bisa merasakan akan adanya permasalahan tersebut, sehingga kesadaran timbul sebagai ekspektasi dari sense of belonging atas kampus kita.
Kita sebagai mahasiswa setidaknya menempatkan diri sebagai kaum oposisi, dimana secara kontekstual oposisi akan berfungsi dalam social control atas kondisi lingkungan yang ada. Artinya, iktikad perubahan untuk sebuah kebaikan bersama akan kita dukung, namun kita akan selalu menentang atas segala kebijakan yang berorientasi penindasan. Namun sekarang, sejauh mana diri kita mengerti dan memahami akan permasalahan – permasalahan kita sebagai mahasiswa, khususnya yang terjadi di kampus kita.
Apakah dengan adanya kompleksitas permasalahan, kita akan semakin memahami, atau bahkan tidak menyadari sama sekali. Kita coba lihat bagaimana ketimpangan kebijakan akademik terjadi di kampus kita. Mulai dari pemotongan nilai SKS dari 21 menjadi 20 bagi mahasiswa yang ber-IP kurang dari 3. Apakah nominal 1 SKS cukup signifikan bagi institusi yang setiap tahunnya berpendapatan kotor sekitar 50 Miliar ? Padahal rata – rata SKS matakuliah bernilai 3 atau 2. Kalau memang itu tidak signifikan, maka bukankah hal itu sebuah manuver yang bermuara pada sebuah predikat komersialisasi pendidikan.
Bagaimana kita melihat kinerja aparatur institusi ini. Sudah sebandingkah dengan jargon – jargon yang senantiasa mereka dengungkan ? Adakah center of excellence di kampus tercinta ini ? Apakah sudah sebanding nilai jutaan yang setiap semester kita keluarkan dengan fasilitas yang kita dapatkan ?
Seharusnya, kita sudah bisa melihat akan kondisi kampus kita saat ini, dimana permasalahan ternyata masih bercokol begitu kuatnya. Apalagi sampai saat ini kita masih belum mengetahui penyaluran dana pendidikan yang dibayarkan oleh orang tua kita. Bukankah itu sebuah hak bagi kita selaku salah satu stake holder kampus ini ?
Itu baru sebagian dari permasalahan kampus Saudaraku....
Ternyata masih terlalu banyak permasalahan – permasalahan yang terjadi di sekitar kita, dan itu semua butuh sentuhan peran – peran kita. Apakah kita sudah membayangkan ketertindasan rakyat sebagai akibat dari kebijakan – kebijakan pemerintah yang kita nilai lebih berkiblat pada kapitalisme barat ? Bagaimana rakyat saat ini menjerit meneriakkan yel – yel ketertindasannya sebagai akibat dari rencana pemerintah menaikkan harga BBM lebih dari 50%. Atau debat – debat para pemimpin ini yang hanya berkisar pada tuntutan nafsu kekuasaan belaka. Masihkah ada empati yang ditunjukkan oleh para pemmpin negeri ini ketika mereka menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan, dimana di sisi lain rakyat masih ada yang perutnya buncit, badan kurus kering, karena tragedi busung lapar ?
Ketika budaya korupsi makin merajalela, namun di sisi lain masih banyak rakyat yang hidup di emperan toko, bawah kolong – kolong jembatan. Padahal secara tertulis undang – undang menjamin mereka dengan mendudukkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Sekarang yang kita perlukan bukanlah sebuah perdebatan, melainkan aksi nyata. Dan satu hal yang harus kita pahami bahwasanya permasalahan kampus, bangsa, maupun sosial lainnya adalah tanggung jawab kita semua. Bukan hanya BEM, himpunan maupun lembaga tertentu yang senantiasa kita pandang miring sebagai pihak yang bertangung jawab atas itu semua.
Sudah saatnya kita menuding diri kita, menanyakan peran kita, sudah sejauh manakah kita melangkah dan mengerti akan posisi strategis kita saat ini.
Saatnya buka mata, buka telinga, dan buka hati nurani. SALAM MAHASISWA....

posted by ENDONISEA @ 15:42,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home