“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Palestina, Libanon, mana lagi nanti..?!!

Palestina, Libanon, mana lagi nanti..?!!
Relasional Tragedi Libanon dengan Strategi Konspirasi Global

TW Yunianto*


Akhir-akhir ini, hampir semua stasiun televisi kita diramaikan dengan sebuah tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di tengah dunia kita. sebuah negeri yang jauh di daratan Timur Tengah. Libanon, sebuah negeri Arab yang saat ini menjadi medan pertempuran yang amat sengit antara Yahudi (tepatnya Amerika) yang diwakili oleh Israel, dengan para pejuang Hizbullah yang saat ini dicap sebagai sosok teroris dunia.
Ada sebuah pertanyaan besar yang sepertinya tersembunyi di balik invasi militer Israel ke Libanon yang sedang berlangsung saat ini, sebenarnya apa yang menjadi misi utama mereka (baca: Israel) untuk menyerang kelompok pejuang Hizbullah? Apakah mungkin hanya sekedar ingin membebaskan dua kopral militer mereka yang saat ini disandera oleh milisi Hizbullah, sehingga Israel (harus) mengeluarkan ribuan rudal dan ratusan kilogram bom mereka tiap harinya? Sepertinya itu hanyalah alibi untuk memberikan legitimasi Israel untuk melancarkan aksi brutalnya menyerang Libanon yang hampir tiap hari ratusan bahkan ribuan warga sipil menjadi korbannya.
Serangan membabi buta militer Israel tersebut tidak hanya membuat umat muslim saja, melainkan publik dunia ikut geram. Berbagai aksi protes, kutukan atas kebiadaban militer Israel digelar. Namun, semua itu ternyata belum membuat mata petinggi Israel terbuka. Bahkan, sang perdana menteri Ehud Olmert merasa semakin percaya diri setelah mendapat dukungan sekutunya, Amerika, dengan memanfaatkan veto-nya untuk meng-counter rencana kebijakan Dewan Keamanan PBB sehingga perannya pun menjadi impoten. Lagi-lagi alasan perang terhadap teroris menjadi isu utama yang sengaja dihembuskan sehingga kesadaran dunia mulai terbius, salah satu hasil yang cukup menggembirakan bagi Amerika-Israel adalah kutukan negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi dan Yordania atas ulah penculikan dua prajurit Israel oleh Hizbullah, bukan sebaliknya. Padahal, militer Israel sampai saat ini masih menyandera ratusan, bahkan ribuan muslim Palestina dan milisi Hizbullah, belum lagi sandera yang ada di tangan Amerika yang dikenal sebagai polisi dunia itu. Bahkan, aksi penangkapan dan penyaderaan pejabat Palestina beberapa waktu lalu sempat mewarnai kebrutalan aksi Israel di wilayah Gaza. Sepertinya, logika anak kecil pun mampu menjawab bahwa serangan Israel atas Libanon tidaklah masuk akal. Hizbullah berjanji akan melepaskan dua prajurit mereka jika dan hanya jika Israel melepaskan ribuan sandera muslim saat ini yang ada ditangannya. Namun, yang menjadi kenyataannya sekarang adalah, Israel lebih mengofensifkan serangan dengan tidak hanya membidik infrasruktur strategis milik Hizbullah, namun sudah mengarah pada penyerangan terhadap warga sipil yang tak bersalah. Bahkan ada indikasi Amerika selain ikut memberikan dukungan juga memberikan bantuan persenjataan berat Amerika kepada militer Israel. Apalagi, beberapa pengamat pun mengatakan Israel telah menggunakan senjata pemusnah massal (baik kimia maupun mekanik/bom pendar) dalam invasinya tersebut.
Keterlibatan negeri Paman Sam dalam perang Israel-Hizbullah, mengingatkan kita tindakan bodoh Amerika yang menginfasi Irak ketika krisis pemerintahan Saddam Husein tahun lalu. Bagaimana nafsu Amerika untuk menguasai Irak yang dikenal sebagai raja minyak dunia. Irak yang dikenal anti-Amerika kemudian dihancurkannya, ‘disuci-hamakan’ sehingga ideologi yang muncul saat ini adalah ideologi pro-Amerika. Sehingga dapat kita lihat hasilnya, sebuah pemerintahan yang lemah ‘boneka Amerika’, dan yang lebih menyedihkan lagi adalah tersulutnya konflik antar-etnis dan antar-golongan, dimana konflik antara Syiah dan Sunni menjadi parameter utama.
Sepertinya, strategi tersebut juga ingin diterapkan untuk episode Israel-Hizbullah ini. Hizbullah dikenal sebagai basis massa yang kuat, karena selain memiliki kekuatan militer, Hizbullah juga memiliki kekuatan politik dan sosial, sama seperti saudaranya di Palestina, Hamas. Sikap Hizbullah yang juga anti-Israel dan konco-konconya (baca: Amerika), membuat Amerika melalui Israel khawatir. Restu Amerika terhadap tindakan Israel sepertinya menjadi sebuah pembenaran (dan sepertinya memang benar) atas politik Amerika yang ingin segera menghancurkan pihak-pihak yang dianggap lawan politiknya itu. Selain itu, Israel juga memiliki agenda dalam pengamanan diri. Secara geografis Hizbullah menguasai Libanon bagian selatan yang langsung berbatasan dengan wilayah Israel. Kekhawatiran Israel atas tingkah polah Hizbullah inilah yang menyulut nafsu setan Israel untuk meluluhlantakkan Beirut. Malahan, hasil dari itu semua bukanlah fasilitas Hizbullah saja yang diserang, melainkan pemukiman sipil yang seharusnya tidak boleh dijadikan obyek serangan (Konvensi Jenewa).
Konspirasi duo teroris dunia, Amerika-Israel, ternyata berhasil membungkam dunia, bahwa apa yang mereka lakukan adalah ‘benar’. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang secara konkret menggertak ulah Amerika-Israel tersebut. Paling banter hanya mengecam, mengutuk dan mengutuk, namun di lain sisi, ribuan bahkan jutaan jiwa (serta tak terhitung lagi korban materi) yang menjadi imbas dari ulah mereka. Mulai dari ulah mereka di Mesir medio abad ke-20, konflik Gaza, Afghanistan, Irak, sampai yang paling anyar saat ini, Hizbullah. PBB telah dibuatnya mandul. Uni Eropa tidak juga beraksi. OKI yang dikomandoi Arab Saudi, juga diam seribu bahasa.
Seiring dengan bisunya dunia, pemerintah Indonesia sepertinya ikut-ikutan juga. Ditengah semakin ramainya aksi-aksi massa yang (sudah jelas-jelas) mengutuk aksi kebiadaban Yahudi-Israel, serta menuntut pemerintah untuk menggunakan peran strategis luar negerinya untuk ikut serta menyelesaikan konflik ini, ternyata pemerintah seolah-olah belum sadar. Apakah kita harus mengirimkan kunjungan para anggota dewan (yang terhormat) yang saat ini juga sedang ‘berkonflik ria’ dengan masalah tunjangan jabatan kesana? Sepertinya suatu hal yang perlu direkomendasikan sehingga mereka tidak hanya berkunjung ke negara-negara lain, yang ternyata tak lebih dari sekedar ‘kunjungan wisata’.
Sebenarnya, jika pemerintah sadar, paling tidak pemerintah mampu menggalang opini (jika tidak mungkin menggalang kekuatan) di kalangan Asia-Pasifik, minimal lingkup ASEAN, untuk menjadi kekuatan penyeimbang (balancing power) dalam rangka menyelesaikan konflik Israel-Hizbullah ini agar tidak berkepanjangan. Seperti peran Gerakan Nonblok ketika Perang Dunia II meletus, Indonesia mampu menjadi inisiator sehingga selain mendudukkan negara kita sebagai negara yang anti-kolonialisme, juga sebagai sebuah negara yang besar dan berdaulat. Namun sepertinya, pemerintah kita sudah kehilangan inspirasinya, sehingga kesadaran pun telah hilang dan tindakan konkretpun menguap entah kemana.
Sudah jelas sepertinya sikap keras kepala Israel dan akal bulusnya Amerika. Bargaining Israel-Amerika pun sudah mulai tak logis lagi. Semakin hari, serangan Israel semakin ganas. Paramedis-pun ikut menjadi korbannya. Iran dan Suriah yang dituding sebagai dalang di balik aksi-aksi Hizbullah, sepertinya akan menjadi sasaran berikutnya. Iran dan Suriah memang dikenal ikut menyuplai dana dan peralatan militer kepada Hizbullah. Mereka juga ikut disalahkan oleh Amerika. Namun, Amerika sendiri yang juga menjadi otak dan donatur utama Israel mencuci tangan dengan menuduh mereka sebagai arsitek perang Israel-Hizbullah ini. Padahal, Amerika sendiri yang sebenarnya sebagai dalang bin arsitek dari semua itu. Petanya adalah jika Hizbullah dapat ditundukkan, maka nantinya Iran dan Suriah akan kehilangan salah satu barikadenya. Sehingga, rival-rival Amerika berkurang, untuk selanjutnya, sang teroris itupun dengan mudahnya menundukkan mereka. Akhir dari semua lakon itupun sudah dapat ditebak, kelanggengan kepentingan Amerika atas Jazirah Arab yang dikenal sebagai surga minyak dunia dan pemegang kendali atas kekuatan Islam. Namun saat ini, sepertinya belum ada mata yang terbuka, dan telinga-telinga dunia-pun seolah telah tersumbat dengan opini-opini menyesatkan Yahudi-Amerika. Dan pemerintah kita, sepertinya menjadi pihak yang ikut terbuai. Maka, jika sampai saat ini kita masih terdiam, mana lagi sasaran rudal-rudal zionis itu setelah Gaza, Afghanistan, Irak, Libanon?
Sepertinya kita tidak bisa membiarkan tragedi kemanusiaan itu terus berlangsung dengan pesta pembantaian massal dan retorika pemberantasan terorisme, karena sesungguhnya sudah jelas siapa yang menjadi teroris, dan siapa yang ada di balik teroris itu. Apakah suara petinggi negeri kita telah terbeli dengan kepentingan ekonomi kita kepada mBah-nya teroris dunia, Amerika? Menjadi sesuatu yang amat naif jikalau rasa kemanusiaan kita telah tergadai hanya dengan kepentingan ekonomi yang menjerat bangsa kita dengan hutang dan hutang. Sepertinya kalaupun rudal-rudal Israel-Amerika sekarang jatuh ke sebuah negeri yang indah, Libanon, maka rudal-rudal ekonomi Amerika telah jatuh ‘membungkam’ nurani di sebuah negeri yang (katanya) kaya raya ini, Indonesia. Mana lagi setelah Gaza, Afghanistan, Irak, Libanon?!
Wallahua’lam...

*)Mahasiswa STT Telkom, Mantan Presiden Mahasiswa BEM-KBM STT Telkom, Pengamat pada Indonesian Youth Development and Study Center (INDYDEC).

posted by ENDONISEA @ 16:35,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home