“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Merenungkan Realitas Demokrasi Kita

Merenungkan Realitas Demokrasi Kita
TW Yunianto*

Sepanjang saya belajar tentang demokrasi, maka teori Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquieu selalu teringat di benak saya. Apalagi, sistem ketatanegaraan republik ini mengadopsi teori itu. Adanya pemisahan elan kekuasaan, antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah cara yang terbaik dalam rangka menerapkan teori demokrasi. Idealnya, segenap aspirasi dan kebutuhan masyarakat dapat diakomodir secara optimal.
Mari kita coba melongok kehidupan demokrasi di kampus kita. Secara umum, lembaga pemerintahan yang ada di lingkungan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) STT Telkom-pun tak jauh dari teori tersebut. Adanya lembaga eksekutif yang diperankan oleh BEM dan lembaga legislatif yang dimainkan oleh DPM, merupakan suatu langkah nyata dalam menerapkan kehidupan berdemokrasi di lingkungan kampus kita. Lantas apa saja yang telah diperoleh dari langkah demokrasi di kampus ini ?
Ketika kita membicarakan pemerintahan, maka paling tidak akan ada 3 unsur yang ada di dalamnya, yakni pemerintah, yang diperintah, serta sistem pemerintahan itu sendiri. Siapa pemerintah ? Sudah jelas disana ada BEM dan DPM. Yang diperintah ? Mahasiswa, namun harus diingat, bahwasanya dalam demokrasi pihak yang diperintah tidaklah hanya sebagai objek penderita, melainkan juga merupakan subjek pelaku. Serta sistem pemerintahan kita menganut pemisahan secara terbuka, alias antara eksekutif dan legislatif memiliki peran masing – masing yang seharusnya satu sama lain tidak boleh saling tumpang tindih.
Idealnya, legislatif akan selalu identik dengan fungsi legislasinya, yakni fungsi dewan dalam menjaring aspirasi mahasiswa. Selain itu fungsi kontrol. Untuk BEM, fungsi utamanya adalah fungsi eksekutif. Yaitu menjalankan amanah serta mandat yang diberikan oleh DPM selaku wakil dari pemegang kedaulatan rakyat (baca:mahasiswa). Namun sejauh manakah fungsi itu berjalan ?
Sampai saat ini, kita belum bisa mendapatkan suatu performansi kerja maksimal dari masing – masing lembaga. Beberapa kali fungsi tersebut saling tumpang tindih dan saling tunggu – menunggu. Pola aksi dan reaksi sepertinya belum menjadi sebuah jargon yang mampu mengakselerasi segenap fungsi pemerintahan tersebut. Dalam banyak hal, sepertinya kita mendapatkan sebuah ketidakpuasan, bahkan ketidakpercayaan kita terhadap kinerja aparat pemerintahan. Volunteerisme sebenarnya bukanlah sebuah alasan bagi kita untuk memberikan yustifikasi atas ketidakprofesionalan kita dalam menjalankan amanah dari mahasiswa. Sebuah pertanyaan besar bagi diri saya tentang sejauh manakah peran BEM dalam membawa angin perubahan kampus ini, khususnya KBM ? Sebegitu mudah pertanyaan tersebut. Namun bagi saya merupakan sebuah pertanyaan yang membutuhkan kerja besar. Kita tidak bisa menganggap diri kita pahlawan, jika saat ini dan kemarin kita tidak melakukan apa – apa.
Coba kita melihat ke belakang sejenak, merenungi sebuah proses awal dari rangkaian kehidupan berdemokrasi di kampus ini. Dalam setiap kesempatan pemilu raya, dalam hal ini pemilu anggota legislatif (DPM) dan Presiden Mahasiswa, maka kita mendapatkan suatu kondisi yang jauh dari representasi kehidupan demokrasi ideal. Tingkat kepedulian mahasiswa masih jauh dari harapan. Beberapa kali data statistik mendapatkan angka 25% mahasiswa yang peduli dari total mahasiswa yang ada. Hanya 25% mahasiswa yang menyalurkan hak suaranya dalam pemilu. Lebih ironis lagi ketika kita mengamati tingkat partisipasi mahasiswa untuk mencalonkan diri, apakah sebagai anggota DPM maupun presiden mahasiswa. Inilah demokrasi kita yang senantiasa sepi dari perhatian publik, namun sarat dengan tuntutan – tuntutan serta aspirasi mahasiswa sebagai komponen yang memegang kedaulatan.
Rivalitas bursa anggota legislatif dan presiden mahasiswa hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa. Kenapa bisa demikian ? Apakah mahasiswanya yang salah ? Lebih banyakkah para pasivis – pasivis dari pada aktivisnya ? Atau telah bergesernya nilai – nilai budaya dari budaya kritis-proaktif menjadi budaya ego-pragmatis ?
Terlepas dari nilai – nilai itu, seperti yang saya sampaikan di depan, maka kita pun juga mendapatkan kurang berjalannya fungsi masing – masing lembaga. Coba kita lihat sejauh manakah peran eksekutif dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Atau sejauh manakah peran legislatif dalam menampung aspirasi mahasiswa. Sepengamatan saya sebagai seorang pimpinan di lingkup eksekutif, maka kami sebagai eksekutif sampai saat ini masih harus mencari dan menampung aspirasi dari mahasiswa yang seharusnya diperankan oleh legislatif (DPM). Ketidaksesuaian fungsi tersebut seringkali menjadi barrier bagi kami untuk bisa optimal. Kami pun menyadari akan kekurangpopulisan kebijakan kami karena tidak berjalannya fungsi sosialisasi. Ketimpangan antara fungsi keluar (sosial-politik) dengan fungsi kedalam (advokasi mahasiswa) merupakan imbas dari kurangnya fungsi sosialisasi serta protokoler eksekutif kami. Itu kami sadari !
Saat ini, kampus kita sedang menunggu para pemimpin – pemimpin baru yang diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik. Namun ternyata sampai saya menulis risalah ini, kenapa sedikit sekali kepekaan mahasiswa terhadap realitas demokrasi di kampus kita ? Terbukti baru tiga orang yang menyatakan dirinya bersedia untuk menjadi anggota dewan yang terhormat. Lantas dimana 4000-an mahasiswa yang lain ? Sejauhmanakah mereka peduli ? Jangan – jangan ketika pemilu presiden mendatang tidak ada lagi mahasiswa yang bersedia mencalonkan diri ?
Selain permasalahan di atas, saya juga mengamati akan kurangnya langkah proaktif dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memprovokasi mahasiswa untuk ikut terlibat secara langsung dalam proses politik ini. Saya pun juga masih belum yakin, sejauh manakah kualitas dari para calon pemimpin kita nantinya terhadap realitas ini ? Apakah mereka benar – benar pemuda yang memiliki kualitas kepemimpinan dan kepekaan sosial, ataukah hanya sekedar mengejar posisi serta pengalaman sebagai seorang pejabat kampus ? Manakah suara – suara serta pemikiran – pemikiran mereka dalam menyikapi sepinya demokrasi ini ? Lantas apakah demokrasi hanya sekedar mengumpulkan formulir saja ? Saya kira itu terlalu naif....!!!!

*) Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom

posted by ENDONISEA @ 05:47,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home