“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Memaknai 61 tahun Indonesia

Hampir dapat dipastikan, setiap jatuh tanggal 17 Agustus, masyarakat kita senantiasa masuk dalam euforia-euforia kemerdekaan. Hampir dapat dipastikan pula, masyarakat menggelar hajatan, baik dalam lingkup RT, RW, kampung, atau bahkan nasional. Berbagai event digelar, mulai dari olahraga, pentas seni, pengajian, dan bahkan (maaf) larung sesaji pun dilakukan. Tradisi tahunan itu sepertinya mengisyaratkan bahwa masyarakat kita benar-benar merasakan adanya kebebasan dan kemerdekaan. Ya, kebebasan untuk melakukan segalanya.
Kembali menyoroti tentang peringatan kemerdekaan, ada sederet pertanyaan yang kemudian terejawantah kedalam sebuah perenungan mendalam. Ditengah euforia masyarakat dengan berbagai macam perayaan tersebut, sepertinya masyarakat kita benar-benar melupakan setumpuk permasalahan bangsa yang sekarang benar-benar ada di depan mata. Krisis multidimensi yang apabila kita tarik benang merahnya merupakan imbas dari krisis moral, ternyata mampu terlupakan dengan dilaksanakannya panjat pinang, atau bahkan yang lebih sering identik dengan dunia anak muda, pentas band atau dangdut yang marak disebut tontonan kawula muda. Lantas dimanakah permasalahan itu semua pada setiap tanggal 17 Agustus?
Ketika kita jalan-jalan di sudut-sudut kampung, maka kita juga dapatkan lingkungan asri, bersih, dicat baru, sehingga terlihat indah di mata. Setiap tanggal itu pula, kita melihat Sang Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Hampir setiap rumah mengibarkan bendera kebangsaan tersebut. Itulah sebagian realitas yang kita jumpai disetiap pertengahan bulan Agustus.
Satu hal yang menjadi proyeksi saya, ternyata dapat disimpulkan, masyarakat kita (hanya) mampu memaknai peringatan kemerdekaan negaranya dengan membuat event-event yang sifatnya hiburan. Dan dapat dikatakan, dari hiburan-hiburan tersebut, masyaraklat kita seolah-olah melupakan segenap permasalahan yang sekarang sedang melanda negeri kita. Sehingga, dimungkinkan pula, mereka akan senantiasa lahir menjadi orang baru, yang (merasa) tidak memiliki masalah. Hal ini mungkin menjadi kajian menarik bagi kita, ketika ada paradoks orang Indonesia, mulai dari rakyat kecil sampai presiden lupa akan permasalahan bangsanya di setiap pertengahan bulan Agustus. Mereka tersibukkan dengan hal-hal yang sifatnya tidak esensial. Tersibukkan dengan persiapan lomba, persiapan upacara, bahkan persiapan sesaji upacara, apakah larung kepala kerbau atau bakar kemenyan, dll.
Sejauh pengamatan saya saat ini, hampir dapat dipastikan dalam setiap peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat kita terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang tidak esensial dan bersifat hura-hura. Tidak ada peringatan yang mampu mengembalikan semangat perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan kita yang telah hilang. Bagi saya, tidak masalah jika kita menyatakan sedang dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan kita. Ya, kemerdekaan atas kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, kebebasan dari jeratan hutang, kebebasan dari intervensi asing.
Peringatan demi peringatan telah dilaksanakan, dan tahun ini adalah yang ke-61. Namun yang terjadi, kita tidak lagi mengingat sejarah perjuangan bangsa kita. Kita teah melupakan sejarang yang amat panjang dari sebuah bangsa yang kemudian secara legal formal mendirikan sebuah negara Indonesia. Peringatan yang saat ini kita lakukan, tak lebih dari sekedar menghamburkan uang, bersenang-senang, dan melupakan masalah-masalah yang tidak mungkin hilang dengan dilaksanakannya lomba atau bahkan kontes musik dan dangdut.
Namun ternyata, bangsa kita sepertinya memang bangsa yang pragmatis. Tidak mampu menganalisa secara obyektif hakikat dari peringatan kemerdekaan. Sehingga, yang muncul pun kultur baru, peringatan yang diidentikkan dengan senang-senang. Saya rasa, hampir semua masyarakat akan mengatakan sama ketika peringatan 17 Agustus dilaksanakan dengan tanpa adanya hiburan, maka mereka akan dengan kompak mengatakan SEPI !!!. Berbagai cara mereka lakukan untuk melaksanakannya. BAhkan ada (maaf) yang sampai meminta-minta di tengah jalan hanya untuk membayar artis dan membeli hadiah. Saya kira, ini bukanlah warisan dari para pahlawan, apalagi untuk suatu momen dimana kita kembali mengingat semangat perjuangan kemerdekaan. Para pahlawan sepertinya akan merasa malu, ketika perjuangan mereka diperingati dengan hura-hura, bahkan rela meminta-minta seperti tadi. Tidak diajarkan sedikitpun oleh mereka untuk menjadi bangsa peminta-minta. Namun apa daya sekarang, tidak jadi peminta-minta pun bangsa kita sudah banyak hutang. Dan dengan menjadi peminta-minta pun sepertinya hutang itu tidak akan terlunaskan.
Saya takut ketika nanti anak dan cucu kita, terjebak dalam sebuah persepsi keliru, bahwa para pahlawan dulu merayakan kemerdekaan dengan pesta-pesta. Ingat, awal sejarah perjuangan bangsa ini penuh keringat dan darah. Tidak penuh dengan sampanye, wisky, atau anggur. Perjuangan kemerdekaan ini harus merelakan nyawa melayang, bukan tarian para artis yang melayang-layang di atas panggung. Namun sekarang, semua ini telah terbalik. Saya tidak tahu siapakah yang nanti mampu mengembalikannya. Tidak ada kata, ketika para pemuda ini ikut larut dalam euforia ini, maka bangsa ini akan mengalami sebuah pesimisme nasional. Dan ini, secara tidak langsung akan terekam dalam ingatan kolektif bangsa kita, bahwa peringatan kemerdekaan kita telah kehilangan makna, kehilangan esensi, dan mengalami pergeseran budaya.
Wallahu a'lam...

posted by ENDONISEA @ 17:36,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home