“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



DEMONOLOGI TPB

DEMONOLOGI TPB*

Kepada para mahasiswa, yang merindukan kejayaan....
Kepada rakyat yang kebingunan, di persimpangan jalan...

Bebas dan merdeka, milik kita bersama....
Tak kan seorang-pun dapat mengambilnya....


Ketika kita mencoba menarik pendulum waktu untuk kembali menuju awal perjalanan, maka kita mendapatkan sebuah retorika kehidupan akan idealisme hasrat seorang manusia. Segala kesempurnaan, impian, maupun hayalan tingkat tinggi seakan – akan menimbulkan gejolak batin, dan itu seringkali sebuah penyesalan yang berkepanjangan, walaupun sebenarnya kita sendiri dapat memperkirakan real effects atas segala sesuatu yang kita usahakan.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan sebangsa....
Ketika kita berbicara akan perjalanan nasib kita di kampus ini, maka kita akan mendapatkan suatu rumusan perjalanan kehidupan yang seringkali bermuara pada sebuah episode ‘opera sabun’ akademik. Artinya, hirarki waktu seringkali menertawakan diri kita akan kelengahan kita dalam upaya mengarungi lapis demi lapis samudera kehidupan kita di kampus ini.
Keterkaitan mahasiswa dengan kondisi akademiknya seringkali dijadikan sebuah alibi dalam rangka menjalankan amanahnya sebagai ‘mahasiswa’. Sehingga, segala permasalahan yang dibicarakan-pun seolah tak mau lepas dari segala putaran roda kuliah dan perkuliahan.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan – rekan penjaga garda nurani....
Ketakutan kita akan sebuah kalimat ‘nasib akademik’ sepertinya mau tak mau, langsung atau tidak langsung akan mendudukkan diri kita sebagai seorang ‘pejuang nilai’ yang menyiratkan kesempitan silogisme kita sebagai manusia.
Terkait dengan nasib kita di kampus, ternyata paradigma lama, dimana kita mengibaratkan studi sebagai konsumsi utama ‘anak kuliahan’. Pergumulan kita di Gedung B atau Gedung C ternyata memiliki porsi yang lebih besar, atau barangkali satu – satunya konsumsi kita di kampus ini.
Sehubungan dengan masalah akademik di kampus ini, maka seringkali kita memandang TPB sebagai suatu fase ‘OSPEK Akademik’. Masa TPB menuntut kita untuk berjuang mati – matian dalam rangka membebaskan diri kita dari segala resiko yang menyertainya, yaitu adanya konsekuensi ‘angkat kaki’ alias DO (drop out) jika tidak memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam kontrak belajar kita, yaitu masa TPB yang hanya berbatas 2 tahun dengan prasyarat tidak ada nilai E serta indeks prestasi ber-threshold 2. Suatu hal yang menakutkan memang. Artinya, ada suatu keharusan yang mau tidak mau untuk dilakukan jika kita menginginkan selamat dari fase ‘candradimuka’ ini, dimana di lain pihak kita diharuskan pula untuk menyesuaikan diri kita dengan kehidupan kampus, atau lebih khusus kehidupan sebagai seorang mahasiswa.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan perindu kemenangan....
Sebuah fenomena klasik, dimana setiap tahun kita kehilangan beberapa saudara kita yang harus ‘tereliminasi’ melalui prosesi DO ini. Gambaran kengerian serta ketidakinginan seringkali terbersit dalam pikiran kita. Namun, yang harus kita tanyakan adalah apakah itu hanya sekedar formalitas ungkapan perasaan saja, atau bayangan kita akan resiko yang harus kita hadapi, khususnya bagi rekan – rekan kita yang saat ini masih mengambil mata kuliah TPB.
Namun ketika kita hayati, ternyata segala permasalahan itu bertumpu pada diri kita sendiri, yaitu segala hal yang berkaitan dengan kesadaran diri.
Saat ini, untuk angkatan 2003 merupakan waktu dan kesempatan terakhir untuk mengambil mata kuliah TPB. Artinya, ketika rekan – rekan angkatan 2003 tidak bisa mematuhi regulasi pendidikan yang ada di kampus ini, maka ‘dengan segala hormat akan dipensiunkan’.
Keberadaan teman – teman Pansus TPB yang dibentuk oleh BEM, hendaknya memberikan atmosfir penyadaran akan dilema TPB ini. Namun yang saat ni terjadi adalah signifikansi keberadaan Pansus TPB ternyata kurang, dan faktor terbesar yang menyebabkannya adalah kurangnya agresivitas rekan – rekan yang terkena ‘delik TPB’. Hal ini dapat dilihat dari respons mahasiswa akan program – program yang ditawarkan olah Pansus sendiri, walaupun tidak dapat dipungkiri akan efektivitas metode maupun strategi yang dilakukan oleh rekan – rekan di Pansus.
Namun itu bukanlah sekedar wacana Saudara.....
Bahwa keberadaan Pansus-pun setidaknya memberikan salah satu solusi riil yang ditawarkan oleh teman – teman advokasi BEM dalam rangka deal dengan 0% DO.
Segala kengerian yang menyertai gerbong TPB sebenarnya bisa diminimalisir apabila pihak – pihak yang merasa berkepentingan dengannya merasa responsif, yang diartikan dengan adanya partisipasi aktif dan sambutan terhadap tawaran solusi tersebut.

Rekan – rekan mahasiswa, generasi terbaik umat.....
Satu hal yang seringkali terjadi terhadap permasalahan mahasiswa yang bermasalah (dengan mata kuliah TPB) dengan Pansus TPB adalah adanya sebuah tuntutan yang dialamatkan kepada Pansus ketika para mahasiswa bermasalah tersebut merasa kurang maksimal akan hasil yang dicapai dalam final tests.
Namun menjadi sebuah kekeliruan jika rekan – rekan yang merasa bermasalah tersebut tidak memanfaatkan solusi yang ditawarkan oleh Pansus, namun pada akhirnya ‘menuntut’ Pansus untuk memperjuangkan permasalahan mereka. Memang logis, bahwa keberadaan Pansus TPB adalah untuk membantu rekan – rekan kita yang bermasalah. Namun itu bukanlah suatu reaksi yang sinergis, artinya tidak adanya hubungan aksi-reaksi ketika solusi yang ditawarkan Pansus tidak dikonsumsi oleh para mahasiswa yang bermasalah itu sendiri.
Kita tidak bisa retroaktif, artinya menuntut kebenaran namun kita tidak memiliki andil dalam usaha untuk mencapainya, atau bahkan kita sendiri yang ‘menyalahi langkah’.
Jadi, asumsi bahwa zero DO hanya dicapai jika ada usaha yang nyata dari rekan – rekan yang bermasalah adalah benar. Pansus TPB-pun juga bukan manusia ‘setengah dewa’, artinya hanya memberikan sarana, bukan jaminan.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan seperjuangan....
Waktu kita yang tersisa untuk menghadapai pertempuran ini marilah kita efektifkan. Kita tidak bisa menuntut hasil yang terbaik ketika kita tidak berusaha yang terbaik. Dan yang harus kita yakini adalah adanya korelasi yang nyata antara usaha dan hasil, artinya prasangka Allah tergantung dari prasangka hamba-Nya.

Selamat berjuang Saudaraku.....
Kemenangan adalah resiko orang yang berjuang....
Ketika kita harus memilih, maka pilihlah yang terbaik. Karena kita adalah umat yang terbaik.....


Istana Perjuangan, 8 Juni 2005



TW Yunianto
Presiden Mahasiswa


*)Demonologi TPB : Bukanlah upaya doktrinisasi teori‘kengerian’ TPB

posted by ENDONISEA @ 21:31,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home