“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Ikan teri dan kisah sebuah negeri...

Akhirnya, kuinjakkan juga kedua kakiku ini di bumi Cirebon. Jam di HP menunjukkan pukul 00.32. Cirebon kota sempit, batinku. Udara panas terasa menyeruak di sekujur tubuh. Jemputan seorang teman mengantarkanku ke Rumah Sakit Pertamina, tempat dimana kakakku dirawat. B-43, langsung saja kususuri lorong demi lorong rumah sakit itu. Akhirnya kutemukan juga. Tas yang kujinjing segera kuletakkan sesaat setelah kusapa kakakku, tak lupa sesuai sunnah, kucium juga pipi kanan dan kirinya. Kami merasa hangat. Ya.. itulah pertemuan kali pertama kami setelah Bapak meninggal. Aku dan temanku melepas penat sejenak.
Rasanya tak kerasan juga kami di dalam ruang, walaupun ruang itu semilir dengan sejuknya Air Conditioner. Akhirnya kami putuskan keluar ke kantin, cari minuman segar. Puas, kami akhirnya kembali ke kamar.
Langkah demi langkah menuju lorong sepertinya kembali tegap. Mata ini pun tak lagi tunjukkan rasa kantuk. Segera kulihat di depan dua orang paruh baya sedang diskusi. Tampak dari kejauhan obrolan mereka terasa hangat. Langkah makin dekat, akhirnya sampai juga aku di depan mereka. Kusapa mereka satu persatu, kulihat senyum tulusnya dan kerut kening yang menunjukkan kelelahan nampak di wajahnya. Tubuh tegap, muka hitam dan berminyak menunjukkan betapa perkasanya dunia mereka. Akhirnya kita kenalan.
Segera kuketahui, mereka adalah para nelayan. Kebetulan waktu itu mereka sedang menunggu salah satu keluarga mereka yang sakit. Katanya percobaan bunuh diri.
Mulailah diskusi-diskusi hangat kami mengalir. Awal percakapan yang hanya sekitar sakitnya keluarga kami, akhirnya masuk juga kami ke perdebatan politik. Aku dapat merasakan kecerdasan mereka dari obrolan-obrolan kami itu. Ya.. ternyata walaupun hanya lulusan sekolah dasar, mereka mampu menunjukkan sense of crisis mereka atas permasalahan bangsa kontemporer. Mulai dari masalah pendidikan, lingkungan, sampai lebih spesifik tentang dunia mereka, seorang nelayan.
Para nelayan Indonesia ternyata sedang berkabung. Ya... Mereka menghadapi sakkaratul maut. Mati ?! Sakit ? Dibunuh ? Itulah yang ada di benakku saat itu.
Dunia nelayan seolah menjadi salah satu tumbal dari kebijakan penguasa saat ini. Bagaimana tidak, imbas dari kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu membuat mereka tak bisa lagi berlayar. Uang dari hasil tangkapan mereka tak mampu lagi untuk membeli solar. Berbagai cara mereka lakukan, mulai dari oplos minyak tanah, hutang sana hutang sini, namun itu semua tidak mampu menjadi solusi. Bahkan hidup mereka semakin hari semakin sengsara. Melaut yang tak hanya butuh waktu sehari dua hari, namun puluhan hari mereka habiskan di tengah lautan. Semakin hari pun ikan rasanya semakin menjauh dari kail mereka. Bagaimana tidak, ternyata para pencuri ikan telah merampas harta mereka dari dasar samudera. Namun, setali tiga uang, aparat kita hanya diam saja. Di lain sisi, aparat kita menjadi perompak di negeri sendiri. Mereka menjadi cukong-cukong pungutan liar atas para nelayan-nelayan kita. Sudah jatuh, tertimpa tangga, atap, dan genting pula. Apes memang sepertinya, kalau kita tak boleh bicara soal takdir.
Itulah sosok mereka.
Satu hal yang membuat saya miris, ternyata kita lebih suka memakan ayam tepung KFC dari pada makan ikan teri atau bandeng duri. Itulah kita. Ternyata aku malu sendiri di hadapan mereka. Ya.. aku sering membedakan ikan teri yang sarat asin keringat mereka dengan ayam negeri yang tak tahu apakah dengan bismillah mereka disembelih.
Ternyata aku ikut bersalah juga membiarkan hari-hari mereka gali lubang tutup lubang. Tapi apadaya aku bukanlah seorang pejabat pemerintah yang mampu membuat kebijakan bagi rakyatnya. Aku hanyalah mahasiswa yang hanya bisa menghibur kesedihan kisah hidup mereka.
Sekarang saatnya, aku mulai meyakini, bahwa sosok mereka adalah pahlawan kita yang berjuang di tengah samudera yang ganas bagi keluarga mereka. Ya.. mungkin saja dari keluarga mereka nantinya lahir para pemimpin bangsa mendatang. Dan saya yakin, pemimpin yang lahir dari hasil keringat ikan teri itu akan lebih berkualitas dari pada pemimpin yang dihasilkan dari empuknya paha ayam negeri KFC itu.
Pukul 03.25 obrolan bermakna kami pun usai tanpa sebuah kesimpulan apapun. Ya.. hanya esok hari yang masih panjang. Namun aku tak tahu, masihkah mentari ini akan terbit esok pagi di negeri yang indah permai ini, Indonesia. Di atas birunya samudera, para nelayan itu berjuang.

Sekarang aku tahu, betapa bermaknanya ikan teri itu bagi mereka, bagi bangsa ini nantinya.
Aku malu....!!!

Cirebon, 10 September 2006
RS Pertamina, Klayan.

posted by ENDONISEA @ 22:46,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home