“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



FPI dan Politisasi Agama

Sudah beberapa hari ini (dalam tiga bulan terakhir), media begitu diramaikan dengan adanya kasus FPI vs AKKBB. Berawal dari aksi (yang katanya) peringatan hari lahir Pancasila AKKBB dan aksi menolak Ahmadiyah FPI, yang berujung dengan bentrok fisik antar-kedua elemen tersebut. Aktivis AKKBB mengklaim bahwa mereka adalah komunitas muslim cinta damai, begitu pula FPI yang sangat aktif dalam pembersihan aktivitas kemaksiatan.

Jalur hukum pun sekarang sedang berlangsung akibat dari adanya tragedi tersebut, yang menurut banyak kalangan terkesan berat sebelah. Untuk kesekian kalinya pula, sang maestro FPI, Habib Rizieq, kembali dihadapkan ke meja hijau karena dalam tragedi tersebut, FPI berada pada posisi yang (diper)salah(kan). Adapun hal yang cukup menarik disini adalah, masuknya Gus Dur sebagai pihak pemberi restu aksi dan aktivitas AKKBB. Tak ayal, dalam kasus ini kembali mendudukkan Gus Dur dan Habib Rizieq sebagai tokoh utama. Seperti kita tahu, Gus Dur adalah tokoh NU kharismatik yang saat lebih terkesan menggunakan darah birunya dalam kekuasaan politik Nahdliyin. Pengikut Gus Dur pun diklaim adalah pengikut fanatik, alias apa yang diperintah Gus Dur, itulah sabda pandhita ratu. Mau tidak mau harus dijalankan. Gus Dur yang semasa Orde Baru terkenal sebagai aktivis Islam yang humanis, akhirnya saat ini terasa seperti kehilangan arah perjuangannya. Seringkali komentar-komentarnya terlalu prematur, dan menimbulkan mispersepsi. Seringkali pula, sang tokoh kontroversial ini juga membuat masyarakat terbahak-bahak dengan manuver-manuver jenakanya. Beberapa waktu yang lalu, beliau adalah satu-satunya tokoh Islam yang dianugerahi kehormatan dari organisasi Yahudi. Sebuah hal yang fenomenal, disaat Yahudi melalui tangan Israel membantai umat muslim Palestina, namun ada tokoh Islam yang sangat bangga mendapatkan penghargaan dari perusak peradaban tersebut. Saat ini Gus Dur sangat identik dengan salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia. Selain kekuatan politik struktural, juga kekuatan politik kultural kyai-santri yang sangat kental di lingkungan Nahdliyin. Menariknya, kedua kekuatan tersebut saat ini berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. Gus Dur didepak (yang oleh banyak kalangan disebut anak ideologi) Muhaimin Iskandar. Begitu pula sayap kultural, Hasyim Muzadi cs juga seringkali menentang arus seniornya tersebut. Walaupun begitu, sang fenomenal tadi masih PeDe dengan berkantor di PBNU dan memegang erat markas PKB di Kalibata. Walaupun begitu, Gus Dur masih saja Gus Dur. Beliau masih sering memanfaatkan elemen kedua kekuatan tersebut untuk mengokohkan tahtanya. Tak kalah penting pula, kedua kekuatan tersebut sangat identik dengan gerakan Islam, baik gerakan sosial-kultural maupun politik.
FPI, sebuah basis massa aktivis Islam yang tersebar luas di penjuru tanah air. Organisasi ini mulai diakui eksistensinya pasca-konflik Poso dan Ambon. Selain itu pula, organisasi ini juga mencuat dengan gerakan pembasmian kemaksiata yang sungguh sangat merajalela di negeri ini. Habib Rizieq adalah seorang tokoh yang sangat dikagumi oleh pendukungnya, khususnya aktivis FPI, dan umumnya umat Islam yang setuju jika kemaksiatan diberantas. Namun, tak jarang gerakannya tersebut membuat pemerintah was-was, polisi pun sebagai aparat keamanan juga sering berpikir ulang terkait dengan kebijakannya dalam menyikapi aktivitas FPI. Dalam berbagai kesempatan, FPI selalu berada di wilayah yang tegas terkait dengan permasalahan umat Islam, sebagai contoh misalnya kasus Ahmadiyah. FPI menuntut dengan tegas agar Ahmadiyah dibubarkan. Sementara bahasa pemerintah, sekali lagi berada di wilayah politis, yaitu tidak bubar tidak pula 'tidak dibubarkan'. Beberapa kali aktivis FPI terlihat turun ke lapangan untuk membubarkan aktivitas Ahmadiyah, yang oleh mayoritas ulama dianggap telah melakukan penistaan Islam. Sampai akhirnya, perjuangan mereka tertarik dalam arus hukum yang juga berbau politik. Mengapa hal itu terjadi? Secara persis saya juga tidak tahu karena tidak termasuk dalam 'pemain' lakon tersebut. Tetapi saya melihat, setidaknya ada beberapa hal yang cukup untuk menjadi perhatian bersama :
  1. Ada upaya yang mencoba untuk menggiring opini umat Islam dengan menyuguhkan konflik antara tokoh Islam saat ini. Kita lihat, bagaimana tokoh sentral AKKBB vs FPI yang tak lain merupakan Habib Rizieq vis a vis Gus Dur. Oleh banyak kalangan, Gus Dur dianggap syaikh, bapak bangsa, dan lain sebagainya, sehingga harus dijadikan panutan. Tapi disisi lain, manuvernya cenderung membingungkan bangsanya sendiri.
  2. Konflik yang terjadi antar-elemen Islam sangat menyulitkan ruang gerak elemen Islam lainnya. dalam berbagai kasus, mereka seolah dibuat susah untuk memberikan statemen atau penilaian atas terjadinya kasus tersebut, sementara masyarakat berharap ada statemen resmi yang dikeluarkan atas kasus tersebut, apakah oleh para negarawan, ulama, maupun tokoh masyarakat lainnya. Disisi lain, kekhawatiran para panutan untuk mengeluarkan statemen tadi dilawan dengan opini media yang cenderung tidak imbang, sehingga terjadilah judge by the press. Masyarakat termakan opini media, para pengambil kebijakan tertekan kepentingan politis, sementara kepentingan politis cenderung identik dengan opini. Lantas, saya menganggap sepertinya kasus hukum Habib tak lain sebagai bentuk pengadilan atas dasar opini saja.
  3. Adanya penangkapan aktivis yang dianggap 'red-line' (baca: radikal) oleh pemerintah, sepertinya tak lepas dari agenda politik, yakni pengamanan Pemilu 2009. Hal ini sangat dimungkinkan (terlebih terhadap pihak yang berkuasa saat ini), jika menjelang Pemilu terjadi kerawanan sosial maupun kerawana keamanan, setidaknya menurut mereka akan menambah beban pikiran mereka, sementara mereka saat ini mulai memusatkan kekuatan dan pikiran untuk kembali memenangkan kekuasaan. Selain mengganggu konsentrasi, pihak-pihak tersebut dikhawatirkan juga akan menjadi rival politik. Sebuah opini yang menurut saya terlalu dini untuk dikeluarkan.
  4. Selain itu, saya juga melihat adanya muatan politis yang mengangkangi wilayah hukum, dimana ada strategi politik yang berada di balik langkah hukum yang saat ini berlangsung atas kasus tersebut. Ada upaya penggembosan kekuatan salah satu elemen, serta ada pula strategi perlawanan ideologi, dimana saat ini masyarakat mulai mengenal adanya ideologi Islam dan ideologi nasionalis yang berkembang didalam kerangka perpolitikan nasional kita.

Labels: , ,

posted by ENDONISEA @ 21:01,

1 Comments:

At 8:59 PM, Anonymous Anonymous said...

pertamax..
Terlepas dari semua masalah yang ada,,i hate anarkism,,tidak ada pembenaran untuk kekerasan

 

Post a Comment

<< Home