“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Sebenarnya, siapa yang berhak untuk pandai?


Seperti biasa, sudah menjadi kebiasaan saya setiap pagi untuk mendengarkan diskusi ringan seputar isu aktual di radio kesayangan saya, RRI, setiap pagi antara pukul 06.00-09.00 WIB pada sesi Indonesia Menyapa. Pagi tadi, kebetulan topik yang diangkat adalah isu terkait biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal, padahal disatu sisi dihadapkan pada komitmen pemerintah terkait dengan kebijakan Wajib Belajar 9 tahun.
Perlu diketahui, bahwa di Jakarta, untuk bisa memasukkan seorang anak ke bangku sekolah (katakanlah SMP) favorit, setidaknya membutuhkan uang minimal 5 juta. Bahkan, di beberapa sekolah yang katanya unggulan mensyaratkan ‘sumbangan sukarela’ sekira 10 juta rupiah.

Data World Bank terakhir, rata-rata pendapatan orang Indonesia per harinya hanya sekira 2 USD, atau dengan kata lain, pendapatan orang Indonesia hanya sekitar 60 USD (Rp.540.000,- jika 1 USD=Rp.9.000,-) per bulan. Artinya, untuk mengumpulkan uang 10 juta, diperlukan sekitar lebih dari 18 bulan, dan itupun dengan catatan tidak ada pengurangan 60 USD tersebut untuk keperluan lain. Tetapi harus diingat, bahwa pendapatan 60 USD tersebut tidaklah mampu merepresentasikan pendapatan rata-rata seluruh orang Indonesia, mengingat sesuai dengan teori GNP, untuk dapat menaikkan angka GNP cukuplah dengan hanya membuat 1 orang kaya, tidak perlu menaikkan tingkat pendapatan seluruh penduduk. Sebuah kenyataan sebagai negara miskin apalagi jika kita bandingkan dengan GNP Singapura tahun 1960-an yang sudah menyentuh angka 480 USD, sementara saat ini sudah diatas 2.000 USD.
Sampai saat ini, sepertinya usaha pemerintah untuk memeratakan kesempatan mendapatkan pendidikan sepertinya hanyalah angan-angan belaka. Disatu sisi, pemerintah mencanangkan Wajar 9 tahun, sementara tidak ada langkah progresif yang ditempuh untuk mengakselerasi kebijakan tersebut. Bagaimana kita melihat realisasi anggaran pendidikan yang masih jauh dibawah layak (sekitar 11% dari total APBN). Ditambah lagi penyelewengan program PKPS BBM untuk pendidikan, belum lagi permasalahan BOS yang sampai saat ini belum tuntas.
Ada sebuah kesimpulan, bahwa sepertinya pemerintah belum sadar jikalau pendidikan adalah sebuah investasi bangsa masa depan. Realisasi anggaran yang belum menyeluruh, mencerminkan bahwa pemerintah masih melihat anggaran pendidikan sebagai salah satu cost dari pos anggaran. Padahal, jika kita melihat secara lebih jernih, alokasi anggaran pendidikan tak lain sebagai bentuk investasi SDM masa depan. Satu hal pula yang harus kita sadari bersama, bahwa rumitnya permasalahan bangsa saat ini indirectly merupakan imbas dari ‘salah asuhan’ dunia pendidikan yang menyebabkan terjadinya keterpurukan kondisi di segala bidang.
Mayoritas anggaran yang disusun pemerintah bukanlah diorientasikan untuk memberikan kesempatan bagi republik ini untuk berumur lebih panjang dengan daya dukung SDM yang handal. Boleh dikatakan, 70% alokasi anggaran APBN/APBD kita habis tersedot untuk biaya rutin yang berputar di tangan para birokrat serta tidak langsung memberikan dampak kepada masyarakat. Sisa 30% pun seringkali masih diembat juga melalui praktik-praktik KKN yang terlegalisasi dibalik peraturan, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Sementara, hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak mulai terkebiri dengan realita dunia pendidikan yang semakin menunjukkan elitisme golongan.
Pendidikan untuk rakyat hanyalah slogan masa lalu, dimana saat ini dunia pendidikan hanyalah bisa diakses oleh orang-orang berada yang memiliki kecukupan materi.
Liberalisasi dunia pendidikan, setidaknya telah membuat diferensiasi 'accessor' pendidikan itu sendiri. Semakin mahalnya biaya pendidikan, secara tidak langsung akan membatasi ruang gerak masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga kemungkinan yang muncul adalah adanya orang yang tidak niat sekolah namun mampu sekolah karena bisa membayar, serta adanya orang yang ingin sekolah namun tidak mampu karena tidak bisa memenuhi persyaratan administratif (baca: biaya) pendidikan. Kalaulah nantinya para golongan elit priyayi yang bisa sekolah namun tidak niat tersebut diprospek untuk menjadi pemimpin bangsa masa depan, maka sulit untuk dibayangkan bagaimana gambaran nasib bangsa ini 40-60 tahun kedepan. Potret buram bangsa ini ternyata bukanlah terletak pada penderitaan kala revolusi 1945, namun kesuraman masa depan yang penuh dengan mimpi buruk, dimana saat ini sendiri nasib bangsa kita sudah cukup buruk untuk dikatakan.
Liberalisasi dunia pendidikan tak lain merupakan lemahnya ideologi aparat pemerintahan kita saat ini. Ideologi yang sudah terlanjur liberal menjadi permasalahan tersendiri selain berbagai permasalahan multi-sektoral bangsa kita. Benar apa yang menjadi tesis Max Holkheimer yang mengatakan bahwa era liberalisasi adalah era dimana manusia diperbudak oleh modal dan kapital, sehingga, bukti bahwa kondisi tersebut benar-benar ada dimana dunia pendidikan kita hanyalah ditentukan oleh para kaum borjuis yang tak lain adalah mereka yang memiliki cukup uang untuk membayar tiket untuk menjadi orang pandai. Sementara bagi mereka yang tidak beruntung memiliki kekuatan finansial, menjadi penonton sepertinya sudah cukup beruntung walaupun kenyataannya hanya sekedar menonton pemain yang adu jotos karena benturan kepentingan. Namun tak menutup kemungkinan pula, suatu ketika para penonton tersebut harus diusir dari arena pertandingan, mengingat untuk menonton saja mereka tidak punya tiket. Maka, bagian tanah air yang mana yang saat ini masih bisa tersisa untuk mereka kaum dhuafa, apalagi ketika tanah untuk mencerdaskan mereka sudah tidak ada lagi meskipun sejengkal saja.
Pendidikan bagi bangsa Eropa adalah kesempatan dimana rakyat bisa mendapatkan kenaikan derajat intelektual, sosial, dan ekonomi. Namun di negeri kita, dunia pendidikan ternyata tak ubahnya tabir yang memisahkan satu golongan dengan golongan yang lain, yang kemudian bagi mereka yang tidak beruntung akan menjadi pihak yang tertindas dan dikorbankan. Semoga saja hal tersebut bukanlah harapan, apalagi menjadi kenyataan.
Allahua’lam

posted by ENDONISEA @ 09:44,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home