“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



STTTelkom, Sudah Saatnya Revolusi Total

STTTelkom, Sudah Saatnya Revolusi Total

TW Yunianto*

Satu – satu, daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Tak terdengar tangis, tak terdengar tawa
Redalah.. reda…
-Iwan Fals-

Ketika anak bertanya, maka jawablah. Jangan engkau bungkam dengan retorika…
Ketika anak menangis, maka kasihilah. Jangan engkau bentak dengan kekuasaan…
Ketika anak merayu, maka berikanlah kasih sayang.
Karena itulah jiwamu ada padanya.

Lorong waktu seolah tak mau beranjak dari singgasananya. Mengantarkan jiwa sang petualang ilmu mencari jati dirinya. Seolah apa yang bisa dilakukannya. Tidak ada makna… tidak ada suasana. Yang mampu mengharu biru dalam jiwa. Seolah hanya mengalir begitu saja, seperti kereta yang berjalan maju meninggalkan para bonek yang hendak menghampirinya…

Kampus ini, semakin tua, semakin renta. Namun hanya satu yang menjadi pertanyaannya. Apakah dirinya semakin menyadari akan eksistensinya, atau bahkan kehilangan makna. Kembali ke awal yang jauh dari cita – cita. Tersilap kata, tersapu fatamorgana. Hanya kata – kata yang teruntai mencoba jelaskan semua. Atas sebuah elegi yang turun, menghampiri para ksatria, yang saat ini sedang kehilangan arah, hendak kemana arah kapal ini dibawa.

Sebuah persembahan bagi lustrum ketiga.. Lima belas tahun sudah, kampusku berdiri megah disuatu pematang sawah, yang kelak menjadikannya sebuah kenangan indah yang terpatri dalam sanubari yang takkan tergantikan. Hanya kata – kata yang akan menjadi sebuah kesaksian…

STTTelkom, sebuah institusi pendidikan tinggi yang telah berani mengikrarkan dirinya untuk maju, bergelut di bidang telekomunikasi, yang nantinya akan meluhurkan harga diri bangsa. Sebagai sebuah teori, ketika bidang telekomunikasi tidak terkuasai, maka hanya ada satu kata, kebodohan akan mencengkeram dan akhirnya PENJAJAHAN akan berdiri dengan tegaknya. Bagaimana kita melihat hilangnya Sipadan – Ligitan dalam sekejap mata dikarenakan tidak adanya informasi yang memadai bahwa disanalah anak bangsa dahulu pernah mempertaruhkan nyawa dan raganya untuk sejengkal tanah yang kelak dipersembahkan bagi anak dan cucunya. Kembali lagi beberapa waktu yang lalu, ketika Miangas menjadi sebuah kontroversi, dimana seorang gubernur Sulawesi Utara yang menjadi pemimpinnya baru pertama kali menginjakkan kakinya di sana sejak republik ini didirikan. Lantas, apalagi yang akan hilang dari bangsa ini. Haruskah kita menjual harga diri bangsa karena satu persatu negeri ini telah hilang dimakan oleh sebuah virus yang bernama PENJAJAHAN.

STTTelkom, apakah sudah layak menjadi sebuah center of excellence di bidang telekomunikasi, ketika saat ini masyarakat (mahasiswa, alumni, karyawan, maupun dosen) tidak memiliki jiwa – jiwa telekomunikasi’ers yang mumpuni ? Apakah mengembangkan negeri ini hanya cukup dengan sebuah teori atau kontribusi sebagai seorang karyawan atau pekerja saja ? Allah saja memberikan kepercayaan kepada kita untuk menjadi seorang penguasa. Saya menjadi ragu jika institusi ini tidak mengembalikan kepercayaan dirinya sebagai komponen pengubah nasib bangsa.
Masih segar ingatan kita ketika terjadi suatu peristiwa yang menunjukkan begitu bodohnya penguasa negeri ini, ketika sebuah operator dijual dengan sangat murahnya kepada negeri asing yang notabene dengan sangat jelas sebagai bagian dari sebuah sistem kapitalis yang bernafsu untuk melakukan kapitalisasi umat manusia, termasuk sebuah negeri yang kaya raya, Indonesia. Dimanakah suara – suara lantang masyarakat kampus sebagai orang yang paling memiliki kapasitas untuk menyuarakannya ? Begitu parahkah generasi STTTelkom sekarang ini sehingga para tokoh – tokohnya, yang katanya para pakar telekomunikasi, tenggelam dalam sebuah nama Roy Suryo yang notabene bukan orang telekomunikasi ? Haruskah kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban akan kebodohan itu nantinya….?
Itulah selintas contoh….

Realitanya….!!
Rekan – rekan yang semoga Allah masih memberikan nurani. Saat ini institusi STT Telkom telah kehilangan arah. Dimanakah jiwa – jiwa pengabdian yang dulu pernah dicita – citakan oleh pendiri institusi ini ? Dimanakah rasa penghargaan atas sebuah amanah yang telah dipercayakan kepada segenap pihak yang seharusnya mampu membangun kampus ini ?
Kampus ini menderita sebuah sindroma akut, pelan tapi pasti ketika ketidaksadaran menimpa diri kita, maka dapat dipastikan nasib institusi ini akan menggapai gelar almarhumnya.
Saat ini, masyarakat kampus sedang harap – harap cemas menunggu atas sebuah keputusan dari para ‘pejabat langitan’ untuk menentukan kelak siapa yang akan menjadi nakhoda dari kampus ini. Cukup sudah jika para elit yang memiliki kewenangan tidak lagi memiliki sense of belonging atas kampus ini, BUBARKAN SAJA daripada nantinya menanggung dosa atas tuntutan dari anak generasi yang berteriak – teriak menyalahkannya atas kepongahan yang pernah dilakukannya dulu.
Ketika para calon penguasa kampus ini (Ketua STT, dkk) tidak lagi memiliki keinginan untuk memajukan institusi ini, maka mundur saja dari pada anak – anak ingusan yang berseragam putih biru menuntutnya mundur. Seorang pejabat kampus dibayar mahal untuk sebuah kedudukan yang amat mulia, dan menjadi konsekuensi logis baginya untuk membayar mahal atas jabatan yang diembannya dalam rangka memerankan dirinya sebagai tokoh panutan tanpa meninggalkan fungsi utamanya. Sudah seharusnya seorang Ketua STTTelkom mencurahkan segenap hati, pemikiran, dan raganya untuk kemajun institusi dan anak didik serta para pembantunya. Tidak ada artinya jika seorang STT-1 datang siang-pulang sore, pergi dijemput-pulang diantar, karena Beliau bukanlah seorang dakocan !!!
Ketika para pendidik tidak lagi menyadari hakikat dirinya, maka runtuhlah harga diri sekelompok generasi yang kelak menjadi tonggak bangsa. Seorang pendidik tidaklah hanya berfungsi sebagai pendongeng saja di depan kelas, namun lebih dari sekedar itu, pendidik adalah seorang pejuang yang memiliki satu rasa untuk sebuah masa depan mulia, tidak hanya baginya, namun juga anak cucu sebagai wujud dari sisi fitrahnya. Ketika nilai – nilai moralitas tidak lagi dijunjung olehnya, maka jangan harap sang anak mampu menjawab tantangan zaman. Jangan paksa mereka untuk membunuh para orang tuanya. Dan jangan pula ajari mereka tentang bunuh diri yang hanya mengantarkannya ke dalam neraka. Ketika sang pendidik berlaku pragmatis, maka jangan harap sang anak memiliki jiwa – jiwa idealis. Sakit rasanya ketika seorang anak melihat orang tuanya tidak memiliki kepribadian yang seharusnya diperankan. Apakah kita akan menyalahkan Tuhan ? Semoga tidak…
Kehidupan kampus-pun sepertinya mulai kehilangan kompas. Masih adakah diantara sekian dari mahasiswa yang ada memahami arti akan tujuan dari pembelajaran yang saat ini dilakukannya ? Atau bahkan yang lebih ironis lagi, sebuah melodrama skeptis yang mendudukkan fungsi kuliah sebagai wahana untuk menunjukkan ke-materialis-annya ? Lunturnya nilai – nilai kedewasaan yang semakin lama tergusur oleh budaya hedonisme tanpa nilai yang mengancam harkat mahasiswa sebagai seorang pemuda, dimana di pundaknya masa depan umat ini dipercayakan. Semakin terwarnainya kehidupan sekalangan mahasiswa dengan dunia senang – senang, berfoya dengan dalih menikmati masa muda, luntang - luntung tanpa arah. Apakah ini pantas dilakukan oleh seorang mahasiswa yang seharusnya menggelora jiwa – jiwa muda mereka untuk kejayaan jati diri dan bangsanya ? Di saat masyarakat pinggiran berebut segenggam beras yang tercampur kerikil, sesuap nasi yang berlauk garam, namun di sinikah para generasi muda tadi menatap masa depan yang penuh dengan persoalan dengan berfoya – foya, sekali lagi tidak….
Ketika ihwal itu terjadi, maka kelak siapakah yang bertanggung jawab ? Bangsa ini tidak bisa diwariskan kepada generasi – generasi hedon. Orang – orang pragmatis yang kelak tidak hanya Indosat saja yang dijual kepada kaum kapitalis, namun mungkin negara dan bangsa ini yang akan dijualnya.
Ketika para alumni yang keluar dari kawah candradimuka kampus ini tiada rasa memiliki, maka itu juga salah siapa. Apakah ketika kampus ini dibubarkan mereka tidak memiliki rasa kepekaan ? Lantas bagaimana sikap mereka tentang isu STT Telkom yang akan diakuisisi oleh ITB beberapa hari yang lalu ? Relakah kampus ini mati atau dirampas oleh pihak lain ? Apakah nurani ini tega membiarkan kenangan – kenangan indah yang teruntai hilang begitu saja dihapus oleh oknum yang tidak menginginkan kampus ini berdiri dengan paripurnanya…?
Sekali lagi, dimanakah letak center of excellence institusi ini ? Apakah mungkin center of excellence dengan 4000 mahasiswa cuma difasilitasi dengan jaringan internet berkekuatan 256 Kbps ? Idealnya untuk kampus STTTelkom, apalagi based on IT 5 Mbps adalah suatu keharusan.
Sepertinya sistem yang ada pada institusi ini sudah sedemikian sakitnya. Sehingga keinginan untuk mengeluhpun tiada kuasa. Ditengah berhasilnya PIMNAS, berbagai lomba yang mengantarkan anak negeri ke manca negara, namun ada satu pertanyaan yang mungkin kita sendiri yang bisa menjawabnya. Apakah hanya dengan itu masa depan bangsa ini ditatap ?
Usaha untuk mengembangkan institusi ini tidak lagi dengan ambisi – ambisi pribadi. Tidak lagi dengan saling mencaplok, saling mengalahkan. Diperlukan suatu sinergi yang mampu untuk mengumpulkan semua potensi yang ada di kampus ini. Sekali lagi yang perlu diperhatikan adalah tidak ada lagi prerogativitas sekelompok oknum atau bahkan perseorangan terhadap kepentingan dunia pendidikan. Pendidikan adalah aset, bukan investasi yang disengaja untuk menumpuk keuntungan atas orang per orang.
Maka kembalilah wahai Saudaraku, mari kita memikirkan kembali kondisi dan masa depan kampus ini. Semoga kontribusi kita memberikan kebanggaan tersendiri kelak ketika Tuhan memanggil jiwa kita nantinya ….
Bergerak, atau mati sia – sia….
Seperti pada malam-malam yang gelap, biasanya masih selalu tersisa satu dua bintang di langit. Begitulah para pahlawan dalam sejarah peradabannya. Bahkan, ketika sebuah peradaban mulai mendekati senja, menggelinding dari puncak kejayaannya menuju keruntuhannya, masih ada satu dua pahlawan yang tersisa diantara reruntuhan itu. [Anis Matta].

*) Presiden Mahasiswa BEM-KBM STT Telkom

posted by ENDONISEA @ 00:18,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home