“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Incognito

Incognito*
TW Yunianto**

Kita mengatakan biru terhadap langit, walaupun sebenarnya langit adalah dimensi tak berwarna tanpa batas. Kita mengatakan biru terhadap gunung yang sebenarnya hijau akan rerimbunan daun pepohonan. Kita juga mengatakan bahwa api itu panas dan es itu dingin. Itulah persepsi kita sebagai seorang manusia.
Persepsi-persepsi dalam pikiran kita sebenarnya merupakan sebuah awalan dalam menginisiasi segala reaktivitas indera kita. Namun, seringkali kita menempatkan persepsi hanya sebagai sesuatu yang bernilai normatif. Artinya, kita menjabarkan persepsi secara formal, sehingga yang terjadi adalah penjabaran kaku yang membuat diri kita menjadi tidak nyaman. Termasuk persepsi dalam menerjemahkan cita-cita hidup kita.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa kuliah adalah tempat untuk belajar, mencari gelar, dan akhirnya menjadi seorang karyawan atau pejabat dengan gaji tinggi dan status kehormatan. Sehingga, mungkin persepsi yang muncul dalam diri kita hingga saat ini adalah aktivitas kita kuliah hanyalah untuk mencari nilai bagus yang nantinya akan kita pergunakan untuk melamar pekerjaan di perusahaan/instansi yang bonafide, akhirnya kita dapat gaji besar, hidup enak. Sepertinya itulah kenyataan di masa ‘kemerdekaan’.
Kita mengatakan Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, adalah orang-orang intelektual. Mereka adalah orang kuliahan. Pada zaman mereka, untuk menjadi orang-orang kuliahan tidaklah mudah. Untuk bersekolah hingga tingkat dasar saja susah, apalagi kuliah. Namun ternyata, mereka bukanlah seorang insinyur dengan gaji tinggi, doktorandus dengan mobil mewah, atau doktor dengan jabatan mentereng. Mereka pejuang-pejuang idealisme yang sempat merasakan nikmatnya menjadi narapidana. Bahkan Soekarno pernah tinggal di prodeo Sukamiskin, tetangga kita di Bandung utara. Itulah sekelumit kisah para sarjana tempo dulu.
Kita adalah calon sarjana. Namun menjadi pertanyaan bagi kita, seperti apa persepsi dan cita-cita akan kesarjanaan kita ? Kaum sarjana saat ini tidaklah lagi dipandang sebagai kaum elitis. Banyak sekali masyarakat intelektual ini hidup di sebuah negeri yang kaya raya, namun hampir bangkrut (mengutip perkataan Bung Hamzah Haz). Sarjana sebagai kaum intelektual telah memenuhi bangsa ini yang dahulu ketika zaman Soekarno cs masih sangatlah langka. Kenyataannya, seorang sarjana yang bernama Soekarno bersama beberapa temannya mampu membuat sebuah goresan emas kemerdekaan bangsa kita dalam kertas sejarah Indonesia. Sedangkan kita ?!
Soekarno lulusan ITB, kita pun juga kuliah di sebuah perguruan tinggi yang tak kalah kualitasnya dengan ITB. Kita mempunyai modal yang sama. Namun kalau boleh saya katakan, kita kalah dalam menerjemahkan persepsi dan cita-cita. Seorang Soekarno muda telah belajar tentang ideologi Islam, Komunis, dan Kapitalis. Dia belajar filsafat, sastra, dan teknik. Pengetahuannya luas, serta lebih dari itu, cita-citanya pun juga luas. Dia belajar politik. Dari belajar politik dia mampu menyusun gagasan-gagasan kenegaraan. Dia belajar filsafat. Dari filsafat dia mampu berpikir secara konseptual dan bijaksana. Dia belajar sastra. Dari belajar sastra dia mampu mentransformasikan ide dan gagasannya melalui bahasa yang halus dan mudah dimengerti. Dari semua itu, dia bersama teman-temannya telah mampu menyusun sebuah konsepsi ketatanegaraan yang selanjutnya disebut Indonesia.
Sedangkan kita ? Kita adalah mahasiswa. Sama seperti Soekarno dan rekan-rekannya. Hanya saja, sampai saat ini kita masih disibukkan dengan idealisme-idealisme sempit kita. Kita disibukan dengan diktat demi diktat, praktikum demi praktikum, dan absensi demi absensi. Sebuah standar normal mahasiswa. Kita masih terlalu disibukkan dengan berwacana ‘saya mau kerja dimana’,’berapa nilai saya ?’, dan ‘nanti gaji saya berapa’. Itulah dialektika kita saat ini. Meskipun kita mengatakan, saya seorang aktivis, saya seorang organisatoris, namun ketika aktivitas-aktivitas itu hanya digunakan untuk mengisi waktu luang, melengkapi curriculum vitae, mencari popularitas, dan sebagainya; maka itu tak lebih dari sekedar goresan di atas air. Membentuk sementara, tidak membekas, dan sia-sia.
Soekarno dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan ilmu, pembelajaran, serta kondisi penuh tekanan. Persepsinya mampu bekerja melihat realita dan selanjutnya mampu mengartikulasikan gagasannya menjadi langkah nyata. Kita pun mungkin juga sama. Berbagai program kita ikuti untuk membuat diri kita menjadi cerdas. Orientasi mahasiswa, responsi kuliah, mentoring agama, atau bahkan diskusi informal sering kita ikuti. Namun, ternyata itu semua belum mampu membawa kita untuk memahami peran-peran kita. Lantas, dimana realisasi program-program yang kita ikuti tersebut dalam rangka membuat kita menjadi seorang mahasiswa cerdas ?
Kita seringkali mengklaim kuliah adalah tempat untuk mencari ilmu, namun yang terjadi di lapangan, kenyataannya kuliah hanyalah dijadikan wahana untuk mencari nilai. Itu memang tidak salah. Tapi saya kira orang yang lebih cerdas akan mampu menerjemahkan lebih dari itu. Ketika kita melihat sejarah masa lampau, dalam hal ini sejarah Islam, para generasi sahabat Rasul umumnya adalah orang-orang umum. Artinya, dari sisi status sosial, mereka bukanlah golongan bangsawan. Tapi ternyata, mereka mampu membuat sebuah peradaban besar yang masih eksis hingga sekarang. Mereka tidak melalui bangku kuliah. Tidak ada gelar kesarjanaan pula. Hanyalah madrasah Arqam yang menjadi tempat belajar formal mereka. Namun yang menjadi perbedaan dengan kita, seperti yang diutarakan Sayyid Quthb, bahwa mereka menuntut ilmu tidak hanya untuk sekedar tahu, tetapi untuk diaplikasikan dalam kerja-kerja nyata. Sedangkan kita sekali lagi masih disibukkan dengan pikiran-pikiran masa depan pribadi kita yang penuh dengan ketidakpastian.
Bangsa kita telah membayar dengan harga mahal akan sebuah status kemerdekaan dan kedaulatan. Mereka tidak hanya membayar dengan recehan rupiah, atau kepingan koin emas saja. Namun mereka juga melunasinya dengan nyawa mereka. Itu semua dilakukan tanpa nota atau selembar kwitansi. Tidak ada pula perjanjian dalam ‘jual beli’ tersebut. Artinya, mereka rela atas pembelian sebuah hakikat kemerdekaan dan kedaulatan. Namun seringkali kita tidak menyadarinya.
Menjadi mahasiswa menurut saya juga sebuah harga mahal. Secara materiil, kita atau orang tua kita telah mengeluarkan rupiah yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan juta, atau bisa juga lebih jika kita menjadi mahasiswa dengan fasilitas yang wah dan super mewah. Tidak setiap orang mampu mendapatkannya. Namun, harga mahal itu akan menjadi sesuatu yang tidak berharga ketika kita hanya menjadi beban bagi bangsa ini nantinya. Selain jumlah pengangguran yang ternyata membuat status negara kita menjadi sebuah negara miskin, ternyata ada juga para sarjana-sarjana ‘cerdas’ yang membuat bangsa kita tidak hanya semakin miskin, tetapi juga semakin rusak dan semakin bangkrut. Itulah para koruptor. Mungkin gelar mereka tidak hanya satu. Semakin banyak gelar akademik ternyata membuat mereka semakin bernafsu untuk merusak bangsa ini. Para sarjana oportunis itu telah mengubah bahasa-bahasa politik menjadi bahasa-bahasa licik dan tipu muslihat, bahasa kemakmuran ekonomi menjadi penindasan kaum lemah dan kapitalisasi golongan, serta bahasa hukum menjadi privasi milik para penguasa. Para kaum marjinal yang didominasi oleh kaum pinggiran juga tak mau kalah. Mereka mengubah bahasa sosial menjadi bahasa kriminal dan kerusuhan. Itupun karena mereka merasakan sebuah kecemburuan sosial atas ulah para kaum sarjana ‘cerdas’ itu. Tak jarang pula mereka juga dimanfaatkan oleh para sarjana-sarjana tadi untuk kepentingan mereka. Menciptakan konflik untuk menyelamatkan kedudukan.
Kaum sarjana dalam konteks di atas dapat kita gambarkan dalam sekeping mata uang. Di satu sisi mereka berperan sebagai penyelamat, dan di sisi lain mereka adalah kaum vandalis, merusak bangsa dan tatanan sosial. Kaum vandalis terisi oleh orang-orang yang memikirkan hakikat egosentrisnya. Mereka hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Dengan gelar kesarjanaannya, mereka (maaf) beronani ria dengan masa depan diri mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang zalim yang senantiasa berorientasi pada kepentingan duniawi. Mereka telah merampas hak hidup orang lain untuk bisa hidup aman dan sejahtera. Ketika kerusuhan menjadi sebuah pembantaian masal, korupsi telah merampas harta rakyat, sehingga banyak rakyat yang mati kelaparan, maka mereka tak lain adalah penjahat kemanusiaan. Sementara, orang-orang yang menjadi pahlawan untuk kaumnya ditindas dan disiksa, tak jarang pula mereka harus rela meregang nyawa untuk sebuah idealisme salihnya karena landasan moral dan keyakinan mereka.
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang, kekuatan apa yang telah kita miliki ketika diri kita mengatakan sebagai seorang mahasiswa, calon sarjana ?! Kita bisa mengatakan bahwa kita menguasai disiplin ilmu secara teoritik dan mendetail. Tapi apakah hanya dengan modal itu kita membangun peradaban ? Kita mungkin mengatakan bahwa diri kita memiliki sederet prestasi dan pengalaman organisasi. Namun apakah hanya dengan itu pula kita membangun bangsa ini ke depan ? Atau bahkan kita mengatakan menguasai ilmu-ilmu lain yang tidak dipelajari di kuliah kita. Akan tetapi, ketika itu semua hanya merupakan landasan teori, tanpa pemahaman dan kita juga tidak memiliki etika keilmuan, maka itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Rakyat yang kelaparan tidak membutuhkan teori modulasi, pengemis tua di pinggir jalan tidak butuh pula metode enkripsi dan pengkodean. Mereka hanya butuh moral sense kita sebagai sosok intelektual muda, seorang calon pemimpin bangsa ke depan. Sebodoh-bodohnya mereka, ternyata mereka masih berharap kepada kita untuk memperbaiki bangsa ini dan nasib mereka, namun seringkali kita membodohi mereka tanpa rasa bersalah.
Sepertinya kita tidak ingin menjadi sosok Buto Cakil dalam mitologi pewayangan Jawa. Buto Cakil memang sosok ksatria, namun dia adalah raksasa yang haus darah. Lebih baik menjadi seorang Semar dalam komunitas Punokawan. Secara fisik terlihat gemuk, pendek dan buruk rupa. Namun dia memiliki hati yang bersih, kebijaksanaan, dan hangat dalam pertolongan. Sepertinya bangsa ini kehilangan sosok pahlawan, dan sepertinya banyak orang berharap agar kita yang menjadi pahlawan itu. Pahlawan seringkali identik dengan pengorbanan, caci maki, penjara, bahkan laras senapan. Sekarang pahlawan-pahlawan itu belum tampil dan kita pun juga belum kehilangan kesempatan untuk ambil bagian. Namun sepertinya ada pertanyaan yang perlu kita jawab bersama, apakah kita takut untuk menjadi seorang pahlawan ? Ketika kita masih takut, maka mustahil apabila dalam generasi ini muncul sosok-sosok seperti Umar bin Khattab, Hasan Al Banna, Soekarno, dan lain sebagainya yang mampu meneriakkan nilai-nilai kebenaran dan hakikat kemanusiaan. Pahlawan tidak hanya sebuah status, melainkan sebuah kontribusi nyata yang dibangun dari persepsi yang benar dan cita-cita yang luhur. Apalagi sekarang bulan Ramadhan adalah saat yang tepat bagi kita untuk berkontribusi.
Selamat menjalankan ibadah Shaum Ramadhan 1427 H dan selamat menjadi para pahlawan !!!


*)Tulisan untuk Dies Natalis STT Telkom XVI. 16 tahun merupakan usia manusia menuju kematangan cita-cita. Namun seringkali dibalik itulah kita mulai memasuki dunia yang penuh dengan kepura-puraan.
**)Mantan Presiden Mahasiswa, Pegiat pada Everlasting Movement Forum dan Forum Telematika Indonesia

posted by ENDONISEA @ 13:59,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home