“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Ternyata, mati itu begitu gampang

Malam tadi, saya bersama seorang teman mengurusi tetangga yang meninggal karena tabrak lari, sebut saja si X. Ceritanya memang si X dari kemarin malam belum pulang setelah pamit pergi untuk main ke rumah salah seorang temannya di kampung seberang. Singkat cerita, keluarga yang ada di rumah dibuat panik lantaran yang bersangkutan belum juga pulang, ditambah lagi tiadanya kabar dimana si X berada sekarang. Akhirnya diputuskan oleh pihak keluarga untuk mencari keberadaan si X saat ini. Setelah menanyakan kepada beberapa temannya dan hasilnya nihil, akhirnya pihak keluarga mencari informasi ke kantor polisi dan beberapa rumah sakit yang ada di sekitar Bandung. Alangkah terkejutnya ketika mendapatkan informasi dari seorang dokter bahwa kemarin sore ada kejadian tabrak lari dimana korbannya seorang laki-laki belia dan saat itu telah meninggal yang jenazahnya sekarang ada di rumah sakit pusat wilayah. Akhirnya oleh keluarga dicek dan hasilnya benar bahwa si X saat ini berada di rumah sakit tersebut dan sudah meninggal. Keluarga dibuatnya panik setelah mendengar kebenaran berita bahwa si X tersebut benar-benar telah meninggal dunia.

Saya mendengar kabar beliau saat bertemu dengan seorang tetangga di masjid kampung. Awalnya, saya kurang percaya dengan berita tersebut karena kemarin sore si X masih terlihat jalan-jalan dengan beberapa temannya di depan rumah. Sosok si X yang pendiam dan tidak banyak ulah membawa para tetangga yang lain pun juga kurang begitu percaya atas kabar tersebut. Tapi semua itu sudah menjadi kenyataan.

Sepulang dari masjid, saya dan seorang tetangga berinisiatif untuk ber-ta’ziah kepada keluarga yang ditinggalkan. Alangkah terkejutnya kami ketika sampai di depan rumah bertemu dengan ayah si X dan ketika kami tanyakan tentang jenazahnya ternyata belum sampai di rumah. Bahkan lebih parah lagi, ternyata belum ada seorang pun yang mengurus pengambilan jenazah di rumah sakit tersebut dengan alasan tidak tahu prosedur dan menunggu kendaraan. Berangkat dari keinginan untuk menolong, akhirnya kami berinisiatif untuk ikut membantu mengurus kepulangan jenazah si X.

Sesampai di kamar jenazah rumah sakit, kami langsung menuju ke ruang dimana si X disemayamkan. Setelah dipastikan kebenarannya bahwa jenazah tersebut si X, keluarga pun tak mampu membendung kesedihannya. Saya pun ikut memastikan bahwa jenazah tersebut si X, seorang anak muda kelas 3 SMA yang sebentar lagi akan ujian, dan sekarang di hadapan saya telah terbujur kaku menjadi mayat.

Setelah administrasi selesai, akhirnya kami bisa juga membawa jenazah tersebut pulang walaupun dengan beberapa catatan. Ya, catatan dikarenakan si X ketika masuk kamar jenazah tersebut masih berstatus pria misterius karena tanpa ada selembar identitas satupun yang menerangkan tentang jati diri si X.

Masih terbayang di benak saya kejadian demi kejadian yang sampai saat ini masih sulit untuk saya terima masuk di logika saya. Beberapa kejadian yang menjadi batas antara kehidupan dan kematian. Saya masih ingat dengan jelas ketika menemani saudara sepupu yang saat itu sakit dan ternyata berujung pada kematian. Lebih dari 24 jam saya menemani beliau sampai sakaratul maut-nya. Saya pun juga masih ingat akan kematian teman seperjuangan saya ketika masih di ‘jalanan’, yaitu seorang aktivis pergerakan yang meninggal akibat serangan jantung. Sehari sebelum meninggal, beliau masih menemani kami berorasi dalam sebuah aksi jalanan yang menuntut tegaknya keadilan. Masih tergambar dengan jelas bagaimana sosok almarhum dalam menyampaikan orasinya di atas mobil sound dengan penuh semangat yang mampu memberikan inspirasi perjuangan kami. Memang beliau bukan seorang mahasiswa, namun beliau adalah sosok aktivis yang kami anggap sebagai bapak perjuangan kami di Bandung Raya. Setiap aksi, senantiasa beliau ada di samping kami untuk turut serta memperjuangkan nasib rakyat. Dan alangkah kagetnya ketika HP saya berbunyi yang menerangkan ada SMS yang mengabarkan kepergian beliau untuk selama-lamanya akibat serangan jantung. Sehingga hari itu, Kamis siang menjadi orasi wada’ dalam menyempurnakan perjuangan ‘jalanan’ beliau bersama kami.

Satu lagi peristiwa yang amat membekas di hati saya, yaitu ketika menemani bapak menjemput kematian. Saya masih ingat ketika pulang terakhir (sebelum beliau masuk rumah sakit), beliau memberikan tatapan mata yang amat tajam kepada saya seolah memberikan kesan itu menjadi tatapan terakhir beliau bagi saya. Memang waktu itu kepulangan saya juga karena tidak secara sengaja, yaitu kebetulan ada program relawan bencana di dekat rumah, sehingga ada kesempatan untuk singgah di rumah untuk beberapa waktu. Sebulan kemudian, saya mendapat kabar bahwa bapak masuk rumah sakit. Tidak disebutkan tentang kondisi beliau saat itu, walau saat itu saya punya firasat yang kurang baik atas kondisi beliau. Walaupun di kampus masih banyak amanah, akhirnya saya putuskan untuk pulang. Saya tidak langsung pulang ke rumah, melainkan langsung ke rumah sakit. Disana sudah berkumpul beberapa saudara. Disana saya bisa melihat kondisi bapak yang kelihatan cukup membaik, sehingga hilanglah kekhawatiran saya. Kami pun bisa bercengkerama, berdiskusi, hingga jalan-jalan di sekitar rumah sakit membicarakan tentang banyak hal. Namun kondisi itu hanya bertahan selama beberapa hari. Memasuki pekan kedua, kondisi bapak turun drastis. Setelah bertahan selama 4 hari di rumah sakit, akhirnya bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat di hadapan saya. Padahal beberapa menit sebelum sakaratul maut beliau, kami masih sempat berdiskusi. Paginya pun kami juga masih sempat bercanda dan saling tertawa. Saya masih tidak percaya kalau saat itu di depan saya bapak sedang berjuang antara hidup dan mati. Bapak masih sadar untuk beberapa saat. Hingga kemudian, bibir ini secara tidak sadar ber-talqin yang memberi kesaksian bahwa bapak sudah berada di ambang batas antara kehidupan dan kematian. Semua menangis, namun Allah masih memberikan kekuatan kepada saya untuk mengantarkan bapak untuk disambut oleh malaikat tanpa tetesan air mata. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah berpulang. Saya hanya bisa melihat senyum bapak yang mengembang disaat terakhir beliau.

Bapak, mungkin bapak belum bisa melihat hasil atas jerih payah bapak membesarkan saya yang seringkali menyakiti hati bapak, tapi paling tidak, saya telah berusaha membuktikan untuk menjadi anak salih yang berusaha untuk membahagiakan bapak tidak hanya di dunia. Semoga nanti Allah meridhoi kita untuk bertemu di jannah-Nya. Amin.

Ternyata, batas antara kehidupan dan kematian begitu tipis. Mudah bagi Allah untuk memanggil kita. Kematian adalah sebuah kepastian. Yang menjadi pilihan adalah bagaimana diri kita menyongsong kematian itu. Mau seperti apa kondisi kita ketika kita menghadapi kematian kita nanti? Apakah husnul khatimah, ataukah sebaliknya? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya bagi kita untuk bisa menyongsong kematian yang terbaik yang mampu mengantarkan kita bertemu dengan-Nya kelak di surga yang penuh dengan rahmat dan keabadian.

Nafa’ni wa iyyakum.

posted by ENDONISEA @ 00:18,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home