“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Ambivalensi ideologi kepemimpinan

Bagi saya, eksistensi mahasiswa sekarang tak lebih dari sekedar status kaum elit intelektual. Mengapa? Menurut saya, mereka tak lebih dari manusia-manusia muda yang terkurung normativitas intelektual, sehingga menurut saya mereka hanya sebatas ‘buruh-buruh intelektual’. Memang mereka memiliki potensi yang besar, namun mereka seringkali tidak menyadari akan adanya potensi-potensi itu. Mereka sering mengatakan sebagai pemuda-pemuda pemimpin masa depan. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran rasa dan hanya cenderung sebagai pengetahuan belaka yang bersumber dari logika-logika akal dan pemikiran.
Peran pemuda menurut saya bukanlah peran-peran pembelajaran saja. Akan tetapi sebuah peran yang disana terdapat kerja-kerja besar yang akan menuntun manusia menuju kemuliaan peradaban. Kelompok pemuda yang seharusnya identik dengan arus-arus perubahan, namun sekarang mereka tak lebih sebagai kaum manja yang harus dibangunkan dan disadarkan.
Kepemimpinan yang mereka pahami hanyalah sebatas anugerah dan status, bukan merupakan hakikat kepeloporan yang identik dengan inisiatif dalam mengambil peran. Mereka lebih senang untuk menunggu daripada memulai. Sehingga, ketika kepemimpinan yang terbentuk dari ideologi menunggu tadi hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin karbitan.
Pengertian kepemimpinan yang sebatas status menjadikan mereka hanya mengejar nilai dan kedudukan saja, untuk selanjutnya peran-peran kepemimpinan tidak pernah terlintas di benak mereka. Hasilnya, mereka lebih menyukai kepemimpinan sebagai prestasi yang akan membawa mereka kepada posisi yang terhormat, bukan merupakan pemahaman untuk berkontribusi dan kemampuan menciptakan.
Kedewasaan berpikir mereka bukanlah merupakan kesadaran dalam mengambil peran. Namun kesadaran yang menuntun mereka untuk berlomba-lomba dalam merebut kursi dan kekuasaan. Peran yang mereka pahami hanya sebatas status, bukan kontribusi. Pemikiran yang ada di benak mereka bukanlah pemikiran yang mendewasakan, namun hanyalah pemikiran yang mengedepankan logika tanpa rasa dan kesadaran.
Memang mereka memahami status mereka sebagai masyarakat terdidik. Akan tetapi, pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran untuk mengambil peran. Mereka memahami kondisi tersebut hanya sebatas pengetahuan. Keyakinan-keyakinan yang mereka miliki bukanlah keyakinan yang akan membawa perbaikan kolektif bagi kondisi sosialnya, namun hanya sekedar perbaikan bagi dirinya pribadi.
Mereka mengumpulkan ilmu sebagai usaha dalam meraih status, bukan dalam kerangka menyusun kesadaran yang akan menuntun mereka untuk mengambil peran-peran perubahan. Agent of change hanyalah sebuah wacana murahan, dimana hal itu dipahami sebagai sebuah slogan yang tidak diikuti dengan upaya untuk mewujudkan. Memang, ilmu demi ilmu telah banyak yang mereka kuasai, namun hal itu tidak lebih dari sekedar menumpuk barang baru di sebuah gudang tua sehingga tak lebih dari kesia-siaan.
Mereka memahami setiap diri mereka sebagai pemimpin-pemimpin masa depan. Namun ketika mereka hanya memahami peran-peran kepemimpinan tersebut hanya sekedar kepemimpinan pribadi dan sebatas status, saya kira itu bukanlah ideologi kepemimpinan, tetapi itu adalah nafsu untuk menjadi pemimpin-penguasa.
Masihkah kita menyadari akan adanya ambivalensi ideologi kepemimpinan yang ada di benak kita? Ketika kita sadar, mari kita mulai memahami bahwa kepemimpinan adalah serangkaian dari kepeloporan, bukanlah status yang akan membawa kita kepada sebuah kehormatan pribadi sehingga hasilnya adalah adanya disparitas antara pemimpin dan pelayan.

posted by ENDONISEA @ 09:05,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home