“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Dasar mahasiswa autis

Pagi tadi ketika saya sedang ngobrol dengan seorang tukang parkir kampus, tiba-tiba datang seorang mahasiswa yang ingin mengambil motornya. Awalnya, saya menganggap peristiwa tersebut adalah hal yang biasa saja. Namun alangkah kagetnya ketika melihat sikap sang mahasiswa yang terlihat angkuh sewaktu menyerahkan kartu parkir kendaraan bermotor. Terbayang di benak saya, apakah menurut dia tukang parkir itu robot sehingga layak untuk diacuhkan begitu saja? Memang dia hanya tukang parkir, tetapi paling tidak dia juga manusia yang mempunyai hak itu dihormati. Memang secara status sosial mereka (maaf) tergolong rendah, tetapi bukan berarti mereka dapat seenaknya saja diperlakukan begitu saja karena mereka masih punya harga diri. Mayat saja masih punya kehormatan sehingga harus kita jaga aibnya, apalagi manusia yang secara fisik masih bergerak dan bernyawa!!

Beberapa peristiwa sejenis juga saya dapatkan di berbagai kesempatan. Seringkali orang merasa tinggi dan terhormat, sehingga mereka melihat orang lain dengan sebelah mata. Akan tetapi, jika mereka para kaum intelektual (baca: mahasiswa) melakukan hal yang serupa, saya kira itu sebuah (maaf) ketololan. Saya sepakat jika mahasiswa adalah golongan elit karena terpelajar. Tetapi saya tidak sepakat jika dengan statusnya tersebut, mahasiswa dapat berlaku dan berbuat seenaknya tanpa melihat nilai dan norma. Di tengah arus permisivitas kaum mahasiswa terhadap segala bentuk tribulasi moral dan sosial, ternyata diperparah lagi dengan adanya sikap autisme yang mencerminkan mereka sebagai ‘manusia-manusia aneh’ yang sepertinya tidak layak untuk hidup sebagai makhluk sosial. Kalaupun mereka sebagai kaum intelektual, maka sudah seharusnya mereka mampu menganalisis segala macam kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebagai ekspektasi dari berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Artinya, saya kira mereka pun juga tidak mau menjadi orang yang tidak dihormati, tetapi kenyataannya mereka tidak mau menghormati orang lain.

Subjektif saya, kultur mahasiswa saat ini lebih cenderung mementingkan ego-nya masing-masing. Tidak ada kepekaan sosial yang selanjutnya akan dapat terejawantah dalam sebuah pranata sosial yang harmonis. Saya tidak yakin jika mahasiswa-mahasiswa tersebut, yang notabene berada pada golongan kaum elit intelektual, untuk kedepannya mampu membuat arus perubahan ke arah perbaikan. Boro-boro membuat perubahan sosial, merubah dirinya sendiri saja tidak bisa apalagi membuat perubahan sosial yang konteksnya lebih luas dan massif.

Saya jadi berkesimpulan, mungkin saja kerusakan tata sosial yang terjadi saat ini akibat dari adanya sikap autisme kita sebagai mahasiswa terhadap lingkungan sosial kita, sehingga memunculkan paham apatisme terhadap segala macam permasalahan sosial yang terjadi. Maka, saya pun dapat mengatakan bahwa terkait dengan kasus ini, ada atau tidak ada mereka, sepertinya tidak akan ada pengaruh bagi dunia ini. Daripada membebani dunia ini dengan perilaku mereka yang semakin hari menunjukkan disharmonisasi kehidupan sosial, maka lebih baik enyah saja mereka dari kehidupan ini!

posted by ENDONISEA @ 17:12,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home