“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Egoisme suami-istri

Beberapa hari yang lalu, ada seorang kawan yang meminta saran terkait dengan konflik yang saat ini berlangsung di keluarganya, dimana terjadi pertengkaran diantara kedua orang tuanya. Beliau menyampaikan bahwa pertikaian itu berawal dari masalah sepele, hanya berawal dari segelas teh manis. Namun ternyata hal tersebut malah berujung dengan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibunya, sehingga sudah dua pekan kedua orang tuanya pisah rumah.

Fenomena konflik sepertinya memang menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi dalam sebuah rumah tangga. Apakah itu antara suami dengan istri atau antara anak dengan orang tuanya. Biasanya, konflik dalam rumah tangga berawal dari hal-hal yang tidak esensial, namun hal itu menjadi meradang karena tidak adanya pemahaman antara kedua-belah pihak yang berseteru.

Terkait dengan kasus di atas, menurut saya dibutuhkan sikap bijaksana yang harus dimiliki oleh masing-masing pihak, yaitu antara suami dan istri. Namun kenyataannya, seringkali antara kedua belah pihak yang bertikai tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar. Jika hal ini masih menjadi pegangan, maka dimungkinkan sekali konflik yang terjadi tidak akan pernah selesai.

Komunikasi yang efektif dan empatif sangat mutlak dibutuhkan dalam sebuah rumah tangga untuk menciptakan suasana yang harmonis. Bersatunya anak manusia dalam kerangka rumah tangga adalah untuk menciptakan keterpaduan sehingga menghasilkan keharmonisan keluarga. Memang setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hidup bersama dalam rumah tangga sejatinya adalah untuk menyatukan kelebihan dan melengkapi kekurangan antar-pasangan dan komponen yang ada di dalamnya, bukan malah mencari pembenaran sikap masing-masing pihak.

Satu hal yang menurut saya harus dihindari dalam rumah tangga yaitu perceraian. Jika memang secara syar’i permasalahan rumah tangga tidak masuk dalam kategori fatal, maka saya kira tidak ada alasan bagi setiap pasangan untuk berpisah, apalagi bagi mereka yang sudah dikaruniai anak. Ingat, bahwasanya orang tua adalah cerminan teladan bagi anak-anaknya. Jika orang tua tidak bisa memberikan contoh, biasanya tercermin dari masih kentalnya egoisme masing-masing pihak, maka saya kira hal itu akan menjadi preseden buruk yang bisa menghancurkan bangunan harmonisme sebuah rumah tangga. Setiap perilaku dan sikap yang tercermin dalam diri orang tua akan senantiasa terekam dengan jelas oleh memori buah hatinya. Jika orang tua tidak bisa memberikan contoh, memaksakan ego-nya masing-masing, maka kemudian dapat dipastikan anak-anaknya juga akan terseret kedalam lingkaran konflik yang tidak saja akan berdampak ketidakpercayaan mereka terhadap orang tua, tetapi secara psikologis juga akan mampu menyebabkan trauma yang berkepanjangan, sebagai contoh adalah ketidakpercayaan sang anak terhadap institusi rumah tangga, takut untuk menjadi seorang suami/istri, takut untuk menjadi orang tua, serta takut untuk membangun rumah tangga hanya karena pengalaman pahit yang berawal dari keretakan hubungan yang terjadi diantara kedua orangtuanya.

Maka kemudian, sepertinya harus dipikirkan berkali-kali bagi setiap pasangan, apalagi yang sudah dikaruniai keturunan, dalam menyikapi sebuah konflik yang terjadi. Jangan terlalu mudah untuk menyatakan cerai. Yang perlu untuk diingat adalah ketika perceraian akan menjadi pilihan, maka perlu dipertimbangkan kembali terkait dengan bagaimana nasib anak-anak mereka nantinya? Siapa yang akan mengasuhnya? Akankah anak-anak masih menaruh kepercayaan terhadap kedua orang tuanya? Jika nantinya anak-anak tidak lagi menaruh kepercayaan kepada orang tuanya, maka bukankah anak-anak adalah investasi surga? Jika kita tidak mampu mengelolanya, maka kemudian dipastikan kita akan menjadi orang yang merugi. Perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan, namun sangat dibenci oleh Allah.

Terakhir, keputusan cerai mungkin sangat mudah untuk dikatakan. Sebuah keputusan yang sarat konflik, spekulatif, serta mengandung banyak resiko. Tetapi menurut saya, resiko atau akibat yang akan ditanggung tidak sebanding dengan alasan atau sebab yang menjadikan perceraian sebagai sebuah pilihan. Apakah kita mau menggadaikan surga kita hanya karena konflik beberapa menit saja? Bilakah kita pertimbangkan kebahagiaan surga yang tersingkir hanya karena segelas teh manis? Sekali lagi, saya kira itu bukanlah sesuatu yang proporsional untuk masuk ke dalam logika kita, apalagi kita sebagai seorang yang cukup dewasa yang seharusnya sudah mampu menganalisis segenap masalah yang terjadi dalam hidup kita.

Sebuah kekeliruan yang terjadi di lingkungan sosial kita, yaitu ketika perceraian dianggap sebagai sebuah trend dan mode. Gonta-ganti pasangan sebagai sebuah gaya hidup. Nambah pasangan menurut saya bukanlah sebuah masalah asal sesuai dengan koridor syar’i, tetapi jika gonta-ganti pasangan, saya kira itu menjadi sebuah permasalahan yang menyedihkan.

Nafa’ni wa iyyakum.

posted by ENDONISEA @ 08:59,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home