“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Bisnis politik, bisnis kekuasaan

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) terjawab sudah. Kemarin telah diumumkan tentang nama-nama yang harus keluar dari kabinet serta nama-nama baru yang nantinya akan ikut mewarnai KIB Jilid III. Banyak harapan yang ditaruh rakyat pada momentum ‘reparasi’ mesin birokrasi tersebut. Disaat banyak harapan, banyak pula pendapat pro-kontra yang diselingi dengan persepsi optimis dan pesimis masing-masing pihak. Ada pihak yang mengatakan reshuffle ini bukti ‘kejantanan’ SBY sebagai presiden, ada pula yang mengatakan reshuffle ini tidak akan ada gunanya, bahkan lebih ekstrim lagi
reshuffle KIB tahap II tersebut tak lain dari manuver SBY terkait dengan persiapan 2009.
Terlepas dari gosip-gosip seputar reshuffle diatas, saya lebih tertarik untuk mengamati apa yang terjadi didepan layar ketika gong reshuffle benar-benar ditabuh. Adapun hal yang menjadi obyek pengamatan saya adalah muka-muka yang terlibat langsung dengan tragedi reshuffle yang tak lain adalah mereka-mereka yang harus kehilangan jabatan serta mereka yang ketiban ‘durian runtuh’ jabatan menteri dan pejabat setingkat menteri lainnya. Artinya, saya melihat roman-roman unik yang merepresentasikan perasaan mereka ketika nama mereka dipastikan masuk dalam gerbong KIB Jilid III. Sangat terlihat sekali bagaimana muka-muka sedih, kesal, dan marah ketika mereka harus kehilangan jabatan; ada muka culun bin lega terkait dengan lepasnya status menteri dari pundaknya; ada muka ‘malu-malu’ untuk mengatakan, ‘Ya.. saya yang terpilih sebagai menteri anu...’; ada juga muka senang, gembira, dan suka cita karena dirinya terpilih sebagai menteri, bahkan kegirangan tersebut sampai diwujudkan dalam bentuk sujud syukur, pesta, serta berbagai wujud apresiasi kegembiraan lainnya. Itulah mereka para pejabat kita.
Sebenarnya tidak salah ketika kita menunjukkan sesuatu yang kita rasakan kepada orang lain, apakah itu rasa duka cita atau juga rasa suka bahagia. Namun bagi saya, ada sesuatu yang mengganjal ketika melihat representasi wujud suka dan duka yang mengalir seiring dengan arus reshuffle yang baru saja berhembus, dimana seperti yang saya katakan diatas, ada wajah yang sedih dan marah ketika harus kehilangan jabatan, serta ada muka yang senang gembira ketika mendapat kepastian bahwa dirinya terpilih menjadi menteri. Setidaknya dari kedua realitas diatas sebagai benang merah dari dinamika reshuffle KIB, saya dapat menyimpulkan memang salah satu ‘budaya’ yang sedang melanda bangsa kita saat ini adalah hobi bangsa kita untuk berlomba-lomba menjadi pejabat. Karakter bangsa kita saat ini tak jauh dari kebahagiaan jika dirinya mendapat jabatan-jabatan yang terhormat, serta rasa sedih yang mendalam ketika jabatan tersebut meninggalkannya. Ibaratnya, jabatan seperti sebuah komoditas keuntungan yang kemudian jika semakin banyak keuntungan -yang terepresentasi dengan semakin tingginya kedudukan jabatan- yang diperoleh, maka wujud kegembiraan akan semakin meninggi pula. Sementara ketika kedudukan tersebut hilang, maka rasa sedih karena kehilangan semakin menjadi. Maka kemudian, jika kita kaitkan relevansi ekspresi perasaan dan jabatan diatas dengan kekuasaan dan kehormatan, maka dapat disimpulkan bahwa bangsa kita termasuk bangsa yang (maaf) gila kekuasaan dan gila kehormatan. Kekuasaan dan kehormatan sepertinya menjadi prestasi tersendiri jika mampu mereka dapatkan. Serta sebaliknya, kesialan berarti ketika status jabatan tersebut hilang dari pundaknya. Yang lebih ironis lagi, prestasi tersebut mereka persepsikan sebagai kemampuan memperoleh kesempatan untuk menjadi pejabat, bukan sebagai bentuk keberhasilan dalam menuntaskan amanah jabatan. Itulah kemudian jika boleh saya katakan bahwa menjadi sesuatu yang benar jika salah satu hobi bangsa kita saat ini adalah berlomba-lomba untuk menjadi pejabat, karena dimata mereka menjadi pejabat serasa mendapat jaminan untuk masuk surga, padahal tidak serta merta demikian, tergantung dari apa yang akan mereka lakukan dengan jabatan yang mereka peroleh tersebut.
Dimana ada politik, disanalah bisnis kekuasaan itu terjadi. Menjadi hal yang lumrah jika tawar-menawar terjadi disana. Indonesia telah berubah menjadi pasar kekuasaan, dimana disana ada orang yang berperan sebagai penjual, pembeli, perantara, bahkan preman kekuasaan. Lantas bagaimana kita mengidentifikasi mereka, yaitu mana yang berperan sebagai pedagang, pembeli, perantara, serta preman kekuasaan? Sepertinya tidak begitu sulit membedakannya dimana salah satu caranya adalah dengan melihat raut muka mereka. Nah... dengan melihat raut muka para pejabat kita terkait dengan reshuffle KIB tahap II, kita akan bisa melihat termasuk kedalam golongan manakah mereka, apakah pedagang, pembeli, makelar, ataukah preman kekuasaan. Wallahua’lam.

posted by ENDONISEA @ 22:54,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home