“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Republik permisif

Kemarin pagi sesaat setelah turun dari kereta api jurusan Solo-Bandung, sembari menunggu seorang rekan, saya berdiskusi ringan dengan seorang sopir taksi di stasiun. Awal mula dari perkenalan basa-basi, akhirnya kami terlibat obrolan pinggir jalan yang hangat di sela-sela dinginnya suasana pagi di Bandung. Secara sepihak, saya ulas kembali intisari perbincangan kami tersebut.
Siapa yang tidak setuju dengan wacana “Hidup di republik ini semakin hari semakin susah”. Sepertinya, tetap saja ada pihak yang tidak setuju, yaitu mereka segelintir orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Tetapi bagi mayoritas penduduk kita yang riilnya tidak memiliki kekuasaan dan materi yang cukup untuk sekedar menyambung hidup, rasanya sangat tidak realistis jika kita mengatakan semakin hari kehidupan bangsa kita semakin sejahtera. Mungkin hanya wacana-wacana motivasi saja yang mampu membuat mereka tersenyum, namun di kemudian hari, ternyata mereka mendapati wacana-wacana tersebut hanyalah janji-janji kosong belaka. Secara kebijakan, sepertinya tidak ada yang menyakitkan hati rakyat. Namun kenyataannya di lapangan, masyarakat tidak mendapatkan pelayanan seindah janji-janji yang ditebarkan. Sepertinya tidak susah untuk mendapatkan kenyataan tersebut. Kita lihat bagaimana munculnya kebijakan pemerintah untuk membebaskan biaya pendidikan dasar dan menengah, tetapi kenyataannya, untuk sekedar mengikuti Ujian Nasional saja, seorang anak (maaf) pemulung di ibukota “harus terpaksa rela” bergulat setiap detik untuk mendapatkan uang 500 ribu rupiah yang akan digunakan sebagai biaya pendaftaran ujian, sementara itu, waktu penyelenggaraan ujian tinggal beberapa hari lagi.
Masih terkait dengan dunia pendidikan. Di sebuah kota di tanah air, muncul kebijakan yang dinilai tolol, dimana pemerintah kota tersebut menetapkan anggaran pembiayaan untuk pendidikan sebesar 3% dari total APBD, sementara anggaran untuk organisasi kemasyarakatan yang tak lebih dari organisasi preman (yang diseragami) digelontorkan 11% dari total APBD. Bagaimana mungkin jika pemerintah mengatakan konsisten dengan pembangunan sumber daya manusia, tetapi disisi lain pemerintah tidak komitmen dengan peraturan yang telah mereka keluarkan seperti contoh diatas, anggaran pendidikan yang hanya bernilai “sepertiga kurang” dari anggaran para preman.
Dunia hukum-pun tak lebih dari sekedar melindungi kepentingan penguasa. Ketika hukum meneriakkan slogan “Keadilan bagi sesama”, tetapi konteks “sesama” tersebut kurang lebih dijabarkan menjadi “sama-sama tahu”. Bagi rakyat kecil, hukum bukanlah sebuah selimut hangat yang mampu melindungi mereka dari sengatan-sengatan kejahatan yang dapat membahayakan mereka. Kalaupun diupayakan untuk menjadi selimut hangat, maka tak jarang mereka harus merogoh kocek sebagai imbal balik atas “jasa sewa” untuk menggerakkan tangan-tangan mafia hukum, sehingga pasal-pasal mampu berpihak pada mereka. Namun bagaimana bagi yang tidak punya rupiah? Sepertinya hakikat dilindungi pun lebih diterjemahkan menjadi “dilindungi di lubang bui”, alias selalu kalah dan menjadi pesakitan. Kita bisa melihat bagaimana dengan dalih penegakkan hukum, para aparat bersemangat menggaruk para pedagang lapak, gelandangan, dan pengemis. Mereka hancurkan gerobak-gerobak tua para pedagang lapak tersebut. Seringkali pukulan dan tendangan mereka lancarkan untuk sekedar melancarkan upaya mereka dalam penegakkan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban. Kita masih ingat bagaimana seorang oknum trantib ibukota yang menggunduli kepala seorang ibu joki three in one di “jalan para pejabat” M.H. Thamrin, Jakarta. Atau di kisah lain mata kita menyaksikan para gelandangan dan pengemis yang setiap harinya hanya mengumpulkan recehan perak untuk makan diseret sedemikian rupa untuk dinaikkan ke sebuah truk, sementara di sisi lain seorang koruptor yang telah menelan miliaran bahkan triliunan uang rakyat diberi kesempatan jumpa pers dengan wartawan, diperiksa di ruang ber-AC, serta mendapatkan fasilitas elit di ruang tahanan. Bahkan, dengan dalih “keadilan hukum” juga, mereka bisa melenggang bebas seolah pengadilan hanyalah sebuah sandiwara untuk membalik logika salah menjadi benar dan benar menjadi salah. Aparat hukum bukanlah melindungi dan melayani, tetapi sudah menipu dan mendzalimi. Bagaimana tidak seperti itu jikalau mereka dengan tegas meminta uang jaminan untuk pembebasan seorang tersangka tabrak lari sementara permasalahan sudah selesai dengan ditekennya surat pernyataan kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Hukum adalah sarana untuk memeras rakyat, bukan untuk menegur yang khilaf serta melindungi yang benar. Seperti halnya undang-undang lalu lintas. Dimata oknum Polisi, undang-undang tersebut digunakan untuk memeras masyarakat dari kesalahan yang mereka lakukan, bukan menegur kesalahan untuk kemudian masyarakat memahami yang salah serta di kemudian hari tidak akan mengulanginya lagi. Tidak ada lagi kepercayaan publik terkait dengan kinerja aparat pemerintah. Mereka tak lebih sebagai pengepul-pengepul pajak yang setiap bulan menunggu “belas kasihan” rakyat dari “iuran terpaksa” yang berlabel pajak.
Kurang lebihnya, hasil dari kondisi diatas adalah munculnya masyarakat-masyarakat permisif. Rakyat sudah pesimis dengan permasalahan yang mereka alami saat ini, sehingga yang terjadi adalah logika permisif-apatis yang hanya mementingkan kepentingan pribadi mereka sendiri. Bagi rakyat kecil, permisif diartikan sebagai, “Mau kanan atau kiri terserah, yang penting mah saya dan keluarga bisa makan. Titik!”. Tidak ada perhatian antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Semetara, para pejabat pun juga tak lepas dari permisivitas ideologi, dimana pemahaman mereka, “Mau negara miskin, rakyat miskin, yang penting saya bisa berkuasa dan dapat gaji kelas kakap, alias korupsi”. Tidak ada lagi moral politik yang mereka miliki. Logika-logika jabatan pun beralih menjadi logika kekuasaan, dimana dalam logika kekuasaan ada pihak yang berkuasa, serta ada pihak yang dikuasai.
Kapankah republik permisif ini merdeka? Setidaknya 17 Agustus 1945 hanyalah sebuah kecelakaan sejarah, dimana Soekarno-Hatta dinisbatkan menjadi orang yang “beruntung” untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tetapi kenyataannya, yang namanya kecelakaan pastilah ada pihak-pihak yang celaka dan menderita. Dan yang menderita siapa lagi kalau bukan rakyatnya.
Memang kita sudah merdeka diatas kertas melalui selembar teks kemerdekaan. Tetapi dengan selembar teks itulah segerombolan penjajah baru datang dengan dalih pembangunan. Ya.. pembangunan kastil-kastil baru dimana di sebuah sudutnya dibangun menara penyiksaan, serta disisi lain dibangunlah taman kota sebagai fatamorgana yang menyejukkan bagi rakyat yang semakin lama semakin rabun matanya.
Republik permisif bukanlah republik mimpi. Inilah kenyataannya bagi sekalian rakyat yang mengerti.

posted by ENDONISEA @ 06:52,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home