“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Dilematika sistem pendidikan nasional

Pendidikan adalah hak segala bangsa. Sepertinya slogan diatas telah menjadi jargon formal setiap negara, termasuk negara kita Indonesia, terkait dengan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa alias pendidikan. Namun kenyataannya, jargon tersebut hanyalah pemanis bibir yang realitanya jauh dari apa yang tertulis didepan. Bahkan tidak hanya tertulis saja, melainkan juga ‘terpahat’ pada lembaran dasar konstitusi negara kita.

Terkait dengan dunia pendidikan yang hari ini, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, saya hanya dapat melihat bahwa pemerintah ternyata terlalu formalis dalam melihat sebuah bidang yang kemudian disebut dengan proses mendidik anak bangsa. Kita semua tahu bahwasanya tujuan pendidikan nasional kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, ketika kita lihat kondisi pendidikan saat ini, sudahkah hasil pencerdasan tersebut terwujud? Mungkin diantara kita ada yang tidak sependapat dengan pertanyaan yang saya lontarkan didepan dengan alasan bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Namun bukannya dalam terminologi proses, ada semacam susunan/tahapan yang kemudian pada masing-masing tahap tersebut dapat kita evaluasi? Kalaupun logika tersebut masuk dalam kerangka pikir kita, maka tidaklah salah ketika saya lontarkan pertanyaan, “Sudah sejauh manakah proses pendidikan kita mampu mencerdaskan kehidupan bangsa?”. Mungkin pertanyaan saya diatas termasuk pertanyaan bodoh bin retoris, tetapi apakah pertanyaan tersebut tidak memenuhi kaidah logis yang dapat diberikan jawaban yang obyektif?
Hemat saya pribadi, tidak ada logika pendidikan nasional yang kita miliki saat ini yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksud tidak ada diatas bukanlah berarti tidak ada sama sekali, melainkan pernah ada namun hanya saja saat ini kita telah kehilangan ruh, semangat, serta orientasi pendidikan nasional kita. Dapat saya sampaikan jikalau Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara, sempat memberikan arahan bahwa mainstream dari pendidikan adalah olah rasa, karsa, dan karya. Artinya, pendidikan adalah sebuah proses yang mengantarkan manusia untuk menemukan jati diri kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana pendidikan itu bermuara pada pembentukan manusia (anak didik) yang mampu memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan tidak benar, hakiki dan tidak hakiki (rasa); memiliki kesadaran untuk bertindak melakukan perbaikan (karsa); serta mampu mengaktualisasikan peran-peran sinergis yang mampu mewujudkan tatanan sosial-kemanusiaan yang dapat mengangkat harkat, derajat, serta kehormatan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah (karya). Sementara realitanya saat ini, pendidikan disusun sedemikian sistematis, namun dari sistematika yang ada ternyata tidak memberikan peluang bagi anak didik untuk mampu mengerti apa yang dipelajarinya yang kemudian muncul fungsionalisasi peran yang dapat dimainkan sebagai bentuk ekspektasi pembelajaran yang mereka lakukan. Atau dengan kata lain, sistem pendidikan kita saat ini telah membakukan prosedur keberhasilan proses pendidikan yang hanya diukur dari nilai serta kadar intelektualitas anak didik yang kemudian hasilnya ditujukan kepada pragmatisasi kualitas intelektual. Secara kasar dapat saya katakan bahwa pendidikan kita saat ini hanyalah sebatas mesin yang menciptakan robot-robot pintar yang ditujukan sebagai pelayan-pelayan industri di era globalisasi. Industri tersebut bisa berupa sistematika mesin-mesin politik yang disana menghasilkan para politisi busuk yang korup, mesin-mesin ekonomi yang senantiasa mengeluarkan produk neo-kolonialisme melalui konsep kapitalisasi modal dan pekerja, mesin-mesin agama yang menelurkan ideologi-ideologi sembrono yang sesat dan dangkal, mesin-mesin pendidikan yang tak jauh dari sekedar menghasilkan mur dan baut sebagai pengunci tiang-tiang materialisme era global.
Isu hari pendidikan yang dari tahun ke tahun mengusung tema yang sama, yaitu : Bahwa dengan Hari Pendidikan Nasional Kita Tingkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Tetapi bagaimana mau ditingkatkan jika kemudian kita senantiasa melanggengkan ideologi serta kultur yang ‘sesat’ terkait dengan dunia pendidikan kita. Saat ini, pendidikan di Indonesia tak lebih dari sekedar meluluskan siswa yang pintar, dan mendepak (baca: DO) siswa yang bodoh. Sistem pendidikan kita sampai saat ini hanya membangun disparitas sosial-intelektual yang terwujud dalam standar peringkat berparameter baku, seperti yang terlihat dalam konteks Ujian Akhir Nasional yang ternyata juga inkonstitusional.
Apa yang diharapkan dari pendidikan kita? Jika saat ini kita masih berpandangan bahwa pendidikan adalah untuk menyeragamkan tingkat intelektualita anak bangsa, maka tidaklah lebih buruk kalau saya katakan bahwa pendidikan kita hanyalah menghasilkan barbie-barbie dalam negeri berbaju asing. Mereka tidak memiliki sebuah pemahaman yang mendalam terkait dengan peran serta eksistensi mereka terkait dengan kondisi yang saat ini terjadi pada bangsa kita yang terkait dengan apa yang terjadi serta bagaimana cara kita membangun bangsa. Kalaupun hasil pembelajaran pendidikan nasional kita masih terus-terusan diukur dengan sesuatu yang normatif diatas kertas, maka tak salah jika saya katakan bahwa kita tidak akan pernah melukis sejarah selain dari mencorat-coret kertas sejarah kita yang artinya tak lebih dari penodaan lembar sejarah keterhormatan bangsa kita sebagai bangsa yang mulia.
Silakan dimuliakan saja proses pendidikan nasional yang mengajarkan para anak didik untuk, “Think locally, act gombal-ly”. Atau dengan kata lain, sebuah proses pendidikan yang membonsai paradigma anak didik yang kemudian tidak pernah menghasilkan sebuah kontribusi majemuk selain dari sebuah sistematika penonjolan peran-peran individu yang menimbulkan drama pertengkaran sosial, ekonomi, politik yang menjelma dalam baju kehormatan, kemakmuran, dan kekuasaan.
Wallahua’lam.

posted by ENDONISEA @ 22:51,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home