“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Potret yang terbuang

Namanya Teh Eti. Umurnya baru sekitar 30 tahun. Ibu dari 2 anak tersebut saat ini tinggal di kampung tetangga yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah dimana saat ini saya tinggal. Namun saat ini beliau tidak bisa beraktivitas sebagaimana mestinya karena sudah sekitar 4 bulan ini menderita sakit. Menurut diagnosa dokter, beliau mengidap Gastropati. Akibat dari sakit yang dideritanya tersebut, tubuhnya saat ini kurus kering. Suaminya hanyalah seorang buruh serabutan yang penghasilannya tidak seberapa. Namanya juga buruh. Jika tidak ada orang yang memberinya pekerjaan, suami Teh Eti biasanya pergi mencari cacing di sepanjang selokan untuk dijual kepada pengepul demi menyambung hidup mereka walaupun hanya cukup untuk sehari. Kelelahan dari mencari cacing tersebut tergantikan dengan uang sekitar 5 ribu rupiah. Ya.. uang 5 ribu yang bisa digunakan untuk makan berempat serta membayar kontrakan bulanan.
Apakah layak kiranya jika kemudian uang 5 ribu tersebut dibandingkan dengan pengeluaran rekan-rekan saya sesama mahasiswa yang untuk makan selama sehari saja menghabiskan sekitar 15 ribu rupiah? Itu pun hanya untuk satu orang saja. Sementara bagi keluarga Teh Eti, 5 ribu dibagi untuk selaksa kebutuhan rumah tangga.
Keluarga Teh Eti tinggal di sebuah kamar kontrakan yang menurut saya tidak cukup layak untuk dihuni. Dengan harga sewa sebesar 70 puluh ribu per bulan, mereka bertahan di kamar gubuk tersebut untuk sekedar berlindung dari dinginnya malam dan panasnya sengatan matahari. Tidak ada televisi, tidak ada kursi tamu, tidak pula ada meja makan. Cukup selembar tikar pandan tua lusuh multifungsi.
Dalam keseharian mereka, nasi yang dicampur jagung adalah menu yang lebih dari cukup untuk dapat terhidang sebagai menu santapan harian. Jangankan ada hidangan pembuka dan penutup, ada lauk yang bisa menemani nasi jagung mereka saja sudah syukur. Pernah selama beberapa hari, bakul nasi mereka tidak terisi satu butir nasipun karena tak ada uang untuk membeli beras ataupun jagung.
Di tengah gemerlapnya kehidupan kota Bandung, ternyata ada selembar potret kehidupan manusia yang mungkin kita sendiri pun belum pernah terlintas sama sekali dalam benak kita. Tetapi itu adalah realita. Bagi mereka, jangankan untuk memberi uang jajan kepada anak-anak mereka, untuk bisa mengganjal perut dikala pagi menjelang serta tenggelamnya ufuk saja masih belum ada jaminan.
Reshuffle kabinet menurut mereka mungkin bahasa asing yang datang entah dari planet mana. Tidak ada istilah retorika politik dalam keseharian mereka kecuali nyaringnya instrumen perut yang setiap hari digelar dikala menunggu sang kepala keluarga pulang membawa bekal yang bisa mereka makan walaupun hanya sepiring nasi dan sebungkil jagung untuk satu ayah, satu ibu, serta dua anak mereka.
Ya Allah. permudahkan segalanya.. berilah kekuatan kepada mereka yang memerlukan kekuatan-Mu..

posted by ENDONISEA @ 22:52,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home