“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Marjinalisasi buruh = Marjinalisasi bangsa

Mayday yang jatuh pada hari ini merupakan puncak aktivitas perjuangan kaum buruh dalam memperjuangkan hak-haknya. Seringkali hak-hak mereka dipecundangi oleh kaum pengusaha yang notabene adalah para pemilik modal. Hak untuk mendapatkan gaji layak, hak untuk berserikat, hak untuk jaminan keselamatan, adalah contoh kecil dari hak-hak kaum beruh yang sudah selayaknya dijamin serta dilindungi, baik oleh para pengusaha sebagai pemilik modal, maupun pemerintah sebagai regulator. Namun realitanya tidaklah demikian. Di negeri kita, sudah tidak menjadi rahasia lagi jika para pengusaha bermain mata dengan pemerintah. Contoh kecil saja,

ketika penyusunan UU 13 tahun 2003 yang mengatur tentang perburuhan, komposisi stakeholder perburuhan ternyata diartikulasikan menjadi 50 % pemerintah, 25 % pengusaha, serta 25 % buruh. Sehingga boleh dikatakan, buruh hanya memiliki tingkat keterwakilan 1 orang jika kemudian tim tersebut terdiri dari 4 orang. Nah, jika kemudian pengusaha yang juga memiliki keterwakilan 25 % mampu menyuap serta membeli suara pemerintah yang 50 %, maka dapat dipastikan nasib kaum buruh di Indonesia akan semakin tidak terjamin lagi. Apalagi kita mengetahui bahwa banyaknya gerakan buruh yang saat ini ada ternyata tidak lepas dari skandal politik penguasa yang dilakukan bersama para kaum pemodal. Kalaupun keterwakilan 1 suara kaum buruh diatas ternyata diwakili oleh antek-antek pemerintah dan pemodal, maka dapat dikatakan bahwa produk dari tim penyusun UU 13 tahun 2003 tersebut bukanlah RUU ketenagakerjaan, melainkan sebuah aturan yang melegalkan penjajahan buruh dengan cara pemerasan tenaga mereka untuk menghasilkan kekayaan, baik kekayaan penguasa maupun pengusaha yang dimodifikasi dalam angka-angka kemajuan sektor industri dimana tidak ada kompensasi apapun bagi kaum buruh selain upah dibawah UMR serta tiadanya jaminan nasib mereka sama sekali.
Apa hasilnya? Banyak sekali kasus kepailitan perusahaan yang kemudian tidak serta merta mengutamakan hak pekerja, melainkan perampasan aset usaha yang ternyata hasilnya dinikmati oleh para pemain undang-undang alias penguasa, serta kaum pemodal yang senantiasa mengklaim bahwa aset usaha adalah milik mereka. Padahal tidak seperti itu. Usaha yang telah mereka bangun setidaknya telah terbasahi oleh keringat kaum buruh yang disana akan senantiasa tertulis tindakan pecundangan yang berkedok aturan main dagang yang ternyata tangan panjang dari kapitalisasi pengusaha dan penguasa, serta marjinalisasi kaum buruh yang ternyata mereka tidak lain adalah anak bangsa. 8 dari 10 orang Indonesia adalah kaum pekerja, sementara 9 dari 10 pengusaha di Indonesia adalah pengusaha asing. Jika kondisi empiriknya seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa modal yang saat ini bergulir di Indonesia dikuasai oleh modal asing. Kalau kenyataannya pemerintah saat ini lebih berpihak pada kepentingan pengusaha, maka dengan keyakinan yang mendalam dapat kita katakan bahwa penjajahan buruh yang saat ini terjadi direstui oleh pemerintah. Perselingkuhan antara pemerintah dan pengusaha telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan buruh sehingga masuk dalam kotak kehidupan yang tidak manusiawi. Seringkali perjuangan harus mereka tempuh dengan mendekam di balik terali besi yang kemudian hanya beberapa orang saja yang mengetahui bahwa sel-sel itu ternyata telah disewa oleh pengusaha untuk mengintimidasi perjuangan kaum buruh. Tidak ada kaum buruh demokrat, tidak ada kaum buruh ektrimis. Sementara yang ada adalah kaum buruh sejati yang senantiasa memperjuangkan hak-haknya serta kaum buruh inlandeer yang telah menerima amplop dari para penjajah. Keyakinan perbaikan nasib kaum buruh masihlah diatas awang-awang, walaupun kemudian kita mengatakan pemerintah memiliki tangan khusus untuk mengurusinya lewat Depnakertrans. Tapi apalah arti seorang Jacob Nuwawea, Jumhur Hidayat, dan lain sebagainya, yang ketika masih belum memiliki kursi mereka berteriak dengan air ludah kaum buruh, namun ketika kursi empuk telah mereka dapatkan, air ludah itu serasa kering di tenggorokan.
Kita tidak ingin kaum buruh terpolitisasi, terpecah dalam kancah politik praktis. Namun kenyataannya hal itu telah menjadi realita zaman masa kini. Mereka diiming-imingi oleh partai politik tertentu, namun ternyata tidak semua partai politik concern memperjuangkan hak mereka. Hanya partai tertentu saja yang saat ini masih getol dalam usaha membantu perjuangan memperbaiki kaum buruh, sedangkan mayoritas yang lainnya hanya merampas suaranya saja untuk mendulang perolehan kursi kekuasaan.
Lantas kira-kira apa yang saat ini bisa kita harapkan dengan perjuangan kaum buruh serta manuver pemerintah yang cenderung abu-abu dalam hal perbaikan nasib kaum pinggiran tersebut? Sampai kapankah perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha tersebut terjadi? Perjuangan kaum buruh ternyata harus mereka tebus dengan serangkaian intimidasi, baik intimidasi fisik maupun intimidasi politik. Kalaupun sampai saat ini pemerintah tidak memiliki kesungguhan dalam memperbaiki kondisi serta hak kaum buruh, maka setidaknya penjajahan atas mereka akan senantiasa berlangsung di depan mata anak bangsa. Sementara, penjajahan kaum buruh ternyata sama saja dengan penjajahan Bangsa Indonesia. Kenapa? Karena mayoritas bangsa kita adalah kaum pekerja. Jika saja kemudian 1 Mei ini kaum buruh mampu mencapai kemerdekaan haknya, maka tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan 17 Agustus bukanlah kemerdekaan bangsa kita lagi. 17 Agustus telah beralih ke 1 Mei, itulah yang akan menjadi tonggak saksi sejarah. Tetapi saya tidak yakin para penguasa kita akan memiliki nurani yang tulus untuk mewujudkannya. Mei dibenak mereka tak lebih dari sekedar Maybe Yes, Maybe No...!!!
Wallahua’lam.

posted by ENDONISEA @ 12:57,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home