“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Salah sistem, salah siapa?

Dunia pendidikan tanah air kembali tercoreng dimana salah satu lembaga pendidikannya meminta korban jiwa sebagai akibat dari rangkaian proses pembinaan yang berlangsung di lembaga pendidikan tersebut. Sudah menjadi fitrahnya, bahwa lembaga pendidikan bertugas untuk mendidik dan mengarahkan anak didiknya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar, serta dari liar menjadi bijaksana. Namun kenyataannya, lembaga pendidikan tersebut malah mewajarkan hilangnya nyawa (beberapa) anak didiknya. Mungkin masih menjadi hal yang wajar jika hilangnya nyawa tersebut dikarenakan kelengahan anak didik untuk tidak mengikuti prosedur standar pendidikan. Akan tetapi, kematian tersebut terjadi karena faktor premanisme yang berlangsung secara legal di kampus tersebut, dimana sistem yang ada memberikan justifikasi kepada para anak didiknya untuk membangun sebuah benteng penyiksaan para senior kepada yuniornya. Terlebih lagi, manajemen lembaga pendidikan tersebut berupaya untuk menutupi dan membalik fakta sehingga seolah-olah tidak ada keganjilan atas semua yang terjadi di balik pagar kampus tersebut. Sekali lagi, kita menemukan dengan jelas bagaimana sebuah intitusi pendidikan melakukan tindakan arogansi intelektual, dimana kebenaran mereka tutupi untuk menjaga nama baik lembaga tersebut dan para pejabatnya yang sepertinya memang tak layak untuk mengelola sebuah lembaga pendidikan. Mereka tidak mencerminkan jiwa pendidik karena tak lebih dari sekedar menjadi komprador-komprador kekuasaan. Itulah sekilas peristiwa yang saat ini sedang terjadi di lingkungan pendidikan kita.
Menurut saya, sedari awal sistem pendidikan kita memang salah kaprah. Orientasi pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata saat ini beralih haluan tak lebih sebagai lembaga penghasil uang semata. Sistem pendidikan kita yang dibangun saat ini bukanlah menuju ke arah pencerdasan bangsa, namun sebagai proses yang memberikan akreditasi tingkat kecerdasan seseorang. Secara praktis yang terjadi di lapangan, bahwa lembaga pendidikan kita secara ektrim tugasnya hanya tiga, yaitu meluluskan siswa pandai, mengeluarkan (baca: DO) siswa bodoh, serta menarik iuran pendidikan yang semakin hari mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Sehingga kalau boleh disimpulkan terkait dengan dunia pendidikan kita, untuk sekolah itu tidak hanya membutuhkan uang yang tidak sedikit, tetapi juga kepandaian tertentu. Maka dari itu, sepertinya tepat juga kalau ungkapan orang miskin dan atau orang bodoh dilarang sekolah. Khusus untuk kasus IPDN, bagi calon mahasiswa yang masih sayang dengan nyawanya dilarang masuk. Sepertinya itulah image branding yang tepat.
Saya sangat tidak sepakat ketika lambaga pendidikan kita dikatakan telah berhasil mencetak orang-orang yang mampu memimpin bangsa ini. Memang benar, bahwa para pemimpin negeri ini adalah mereka yang lulus dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Namun ternyata, hasil dari proses pendidikan yang mereka jalani tak lebih dari sekedar kemampuan menerjemahkan konteks jabatan sebagai alat untuk menguasai, bukan melayani. Sehingga, rangkaian dari proses pendidikan kita bukannya mengantarkan anak didik untuk mampu mengenali jati dirinya, mampu mengenali peran-peran, tugas dan kewajibannya, namun yang terjadi tak labih dari upaya bonsainisasi paradigma pikir.
Tingkat keberhasilan pendidikan kita hanya terwujud dalam selembar kertas dan sederet gelar, bukan sedalam pemahaman akan peran-peran strategis yang mampu membedakan antara manusia bernilai guna dan manusia yang tak punya nilai sama sekali, walaupun mereka memiliki sederet jabatan dan posisi.
Sudah saatnya dunia pendidikan kita harus direkonstruksi, yaitu mengembalikan lembaga pendidikan sebagai lembaga yang mampu mengarahkan anak didik untuk memahami eksistensi mereka, peran-peran mereka, hak serta kewajiban mereka. Kapitalisasi pendidikan menurut saya termasuk bagian dari kejahatan kemanusiaan, dimana disana terdapat ketidakadilan terkait dengan persamaan hak untuk memperoleh pendidikan. Dunia pendidikan adalah investasi masa depan. Namun bagaimana pendidikan bisa menjadi investasi jika kemudian sistem pendidikan sebagai ajang doktrinasi pemikiran yang muaranya pragmatisasi pemikiran dan premanisme peran.
Sudah negaranya bobrok, kadernya bobrok pula. Sudah bodoh, apes lagi.
Kapan bisa majunya? Tanya siapa? Tanyakan sama burung Garuda.

posted by ENDONISEA @ 17:25,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home