“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Menuju kemerdekaan intelektual

Ketika berdiskusi dengan beberapa rekan (yang mengaku) aktivis mahasiswa, ada satu hal yang membuat saya tersenyum, yaitu terkait dengan orientasi mereka untuk bergabung di sebuah organisasi dimana mereka saat ini berada. Ketika saya tanyakan orientasi mereka bergabung di dunia kemahasiswaan, ternyata 99% jawaban yang saya dapatkan adalah sama dan seragam, dimana 1% yang lain bukan karena adanya perbedaan jawaban, tetapi 1% itu berupa jawaban yang abstrak dan tidak jelas. Realitas itu berupa orientasi mereka bergabung di dunia organisasi kemahasiswaan yang ternyata dunia organisasi hanya dijadikan sebagai sarana untuk belajar dan mencari pengalaman saja. Sekarang kalau boleh kita kaji secara mendalam, kira-kira apakah ada yang salah dengan jawaban tersebut?
Sebelum pertanyaan diatas, perlu saya sampaikan bahwa terlebih dahulu bahwa saya pun awalnya juga memiliki persepsi yang sama terkait dengan dunia organisasi dan kemahasiswaan. Jadi, sekiranya jawaban tersebut diutarakan oleh seorang aktivis junior, maka boleh dikatakan bahwa jawaban tersebut masih tergolong lumrah dan tidak masalah. Namun, sekali lagi, jika kita lihat secara lebih komprehensif, maka kalau boleh saya katakan, jawaban diatas adalah jawaban yang diutarakan oleh (aktivis) mahasiswa yang memiliki keterkungkungan paradigma berpikir, atau dengan kata lain, masih terdapatnya penjajahan atas intelektualitas mereka sebagai manusia merdeka. Kenapa demikian?
Pertama, menurut saya, dunia kemahasiswaan adalah dunia yang memiliki keluasan peran. Banyak hal yang mampu dilakukan ketika kita menyandang status sebagai seorang mahasiswa, apalagi aktivis mahasiswa. Lantas, jika kita ternyata hanya memahami dunia aktivis kemahasiswaan sebagai sarana untuk mencari pengalaman dan pembelajaran, maka saya kira itulah sosok aktivis mahasiswa yang tidak pernah memiliki jiwa-jiwa kepeloporan. Saya mendefinisikan mereka sebagai aktivis-aktivis yang pasivis. Artinya, sosok aktivis yang hanya menunggu kesempatan dan tidak pernah menciptakan kesempatan. Dalam paradigma mereka, pengalaman organisasi yang saat ini mereka cari tidak lebih dari sekedar bekal yang akan mampu mengantarkan mereka untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik ketika mereka berada di dunia kerja nantinya.
Kedua, dunia kemahasiswaan adalah wahana bagi kita untuk menguji kadar kepeloporan kita. Oleh karena itu, sedini mungkin (aktivis) mahasiswa sebagai calon pemimpin generasi masa yang akan datang setidaknya senantiasa mengasah kemampuan kepeloporan mereka dalam menciptakan, bukan sekedar meneruskan apa yang telah terbangun sebelumnya. Kemampuan menciptakan disini maksud saya adalah bagaimana dunia kemahasiswaan menjadi ajang bagi para (aktivis) mahasiswa untuk berlomba-lomba menciptakan karya dan sejarah. Sehingga, setiap peran yang dimainkan oleh para (aktivis) mahasiswa akan memiliki nilai guna dan membawa perubahan yang cukup berarti, baik bagi mahasiswanya sendiri, maupun bagi objek yang lebih luas lagi cakupannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk memahami kedua hal diatas, maka menjadi prasyarat mutlak bagi kita saat ini untuk segera mengikis paradigma-paradigma sempit kita terkait dengan peran-peran kemahasiswaan. Usaha bersama untuk menuju kemerdekaan umat manusia yang hakiki setidaknya dimulai dari kemerdekaan intektual masing-masing personal, khususnya bagi mereka para motor perubahan untuk perbaikan. Kalau bukan mahasiswa, siapa lagi... (bukan berarti menafikkan yang lain lho..!!!)
Wallahua’lam

posted by ENDONISEA @ 08:53,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home