“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Mega miskin bangsa kami

Siapa yang tak kenal Indonesia? Sebuah negara besar dan kaya potensi mulai dari sumber daya manusia hingga sumber daya alam, namun hingga saat ini negara tersebut masih belum mampu meloloskan dari sederet lilitan permasalahan yang menderanya. Pergantian pemimpin negara setiap lima tahun sepertinya hanya sekedar rutinitas ganti sopir, sedangkan pergantian arah kepemimpinan belum pernah terjadi, sehingga sampai saat ini pun perubahan yang terjadi sebagai ekspektasi dari pergantian kepemimpinan belumlah mencapai hasil yang signifikan, khususnya perubahan kondisi kehidupan rakyat yang sepertinya semakin hari, semakin saja susah untuk sekedar tidur nyenyak tanpa beban pikiran, apakah besok masih bisa makan atau tidak.

Hipotesis tersebut setidaknya mendekati kebenaran, dimana saat ini kita melihat sebagian besar dari masyarakat kita hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data dari Bank Dunia tahun 2007, disebutkan bahwa 1 dari 3 orang Indonesia masuk dalam kategori orang miskin. Itupun orang miskin, belum orang yang terancam miskin. Tingkat pengangguran pun semakin hari semakin tidak terkontrol. Terus terang, pemerintah sampai saat ini tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mengendalikan laju pengangguran yang semakin hari semakin dilematis saja. Lebih dari 10 juta orang Indonesia menganggur. Dengan tingkat pendapatan per kapita kurang dari US$ 2 per hari, maka Indonesia masih tergolong di deretan negara miskin dunia. Kekritisan kondisi negara kita semakin menyedihkan ketika kita membandingkannya dengan negara-negara yang ada di sekitar kita. Janganlah membandingkan dengan negara-negara maju, untuk level Asia saja, saat ini negara kita sudah tidak memiliki taring lagi, sedangkan mungkin kita pernah mendengar ketika dulu negara kita bersama dengan Cina dijuluki sebagai macan Asia. Tahun kemarin, pendapatan perkapita negara kita baru sekitar US$ 800, sedangakn Singapura saja ketika tahun 1959 sudah memiliki pendapatan per kapita sekira US$ 400, dimana 30 tahun kemudian yang ditandai dengan lengsernya Lee Kuan Yew sebagai Perdana Menteri, Singapura tingkat pendapatan per kapita-nya naik 6000%. Tahun 2006, peringkat Indonesia sebagai negara yang bebas korupsi berada pada posisi 130 dari 167 negara di dunia. Bagaimana dengan negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara? Filipina yang dahulu lebih miskin dari Indonesia, di tahun 2006 berada pada posisi 121. Malaysia ketika medio tahun 60-an mengimpor guru dari negara kita, tahun 2006 berada pada peringkat 44, sedangkan Singapura sebuah titik kecil di peta dunia menduduki posisi 5 dunia. Barangkali kondisi tersebut belumlah mengejutkan. Namun bagi saya, keterkejutan tersebut timbul ketika mendengar negara ‘bekas’ kekuasaan negara kita, Timor Leste, yang menduduki peringkat 111, dimana jarak antara 130 dengan 111 cukuplah terbentang jauh. Negara kita sudah 61 tahun merdeka, sedangkan Timor Leste barulah seumur biji jagung, tapi apa daya.
Ada sebuah fakta yang cukup menarik. Pada tahun 1995, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 104 dunia, dimana Vietnam saat itu berada pada peringkat 120. Sepuluh tahun kemudian apa yang terjadi? Ternyata, peringkat Indonesia ‘hanya merosot’ 6 angka dari peringkat di tahun 1995, yaitu 110. Namun bagaimana dengan Vietnam? Ternyata didapatkan kondisi yang berkebalikan. Vietnam menyodok kita dengan posisi 108, dimana posisi tersebut berarti Vietnam menduduki tingkat dua level di atas kita, padahal kita tahu bagaimana kondisi Vietnam yang identik dengan kekerasan dan kemiskinan. Kalau begitu, saat ini kondisi negara kita selain lebih rapuh adalah lebih miskin dan lebih keras.
Budaya kekerasan memang tidak bisa dilepaskan dari Indonesia. Kekerasan yang terjadi mulai dari lingkungan rumah tangga, kekerasan antar-etnis, hingga kekerasan politik yang membuat negara kita berada pada bayang-bayang hitam. Kita tahu sejauh mana dunia kekerasan menempel erat pada label ‘Indonesia’, setidaknya tidak salah kalau saya menyodorkan istilah ‘Nasionalisme Kekerasan’, dimana kecintaan bangsa kita akan kekerasan sangatlah tinggi. Apa buktinya? Berbagai kejadian seharusnya mampu membuka mata kita. Kekerasan yang senantiasa menyertai pemilihan para pejabat kita, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden, dimana kita hampir tidak melihat tiadanya budaya kekerasan dan intimidasi yang menyertai proses pesta demokrasi tersebut. Lebih ironis lagi, budaya kekerasan juga menghampiri dunia yang seharusnya tidak mengandalkan otot, namun otak yang seharusnya diutamakan, yaitu dunia pendidikan. Kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan telah menjadikan kader generasi penerus kepemimpinan bangsa ini dipertanyakan. Bagaimana contoh kekerasan yang terjadi di salah satu perguruan tinggi kedinasan yang telah membuat geram mayoritas masyarakat kita. Atau juga, kekerasan yang menyertai konflik kepentingan atas kepemilikan salah satu organisasi yang bergerak di bidang ‘bisnis’ pendidikan di Sumatera Utara baru-baru ini.
Kekerasan dan kemiskinan adalah dua sejoli yang senantiasa ‘rela’ dan ‘setia’ menyertai perjuangan bangsa kita hingga saat ini, dan itulah musuh kita yang harus segera diatasi agar negara ini semakin mudah untuk kembali bangkit lagi. Mahatma Gandhi pernah mengatakan, “Kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk”. Saya kira, tidak berlebihan kiranya jika saya meng-kiaskan bahwa negara kita adalah sebuah bentuk republik yang paling buruk, dimana saat ini negara kita tidaklah saja kaya akan potensi, namun juga kaya akan kemiskinan dan kekerasan.
Mega-miskin bangsa kita telah terbuka lebar, namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak orang-orang kita yang belum peduli akan kondisi yang semakin mengenaskan tersebut. Kepedihan itu semakin terasa, ketika sayatan demi sayatan kemiskinan telah mencabik-cabik nasib rakyat kita yang berada ‘diantara’ dan ‘dibawah’ garis kemiskinan.
Wallahua’lam

posted by ENDONISEA @ 06:13,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home