“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Anekdot Kebebasan

Anekdot Kebebasan
Menyikapi Kontroversialisme Rencana Penerbitan Majalah Playboy dan UU APP

TW Yunianto*

I think the biggest asset of a nation is its highest ideology. If there is an effort to wipe it out , so.. it woud be a collapse nation.

Saya kira tidaklah keliru jika pernyataan saya di atas adalah setengah dari fakta. Bukan sekedar opini pribadi yang muncul karena emosi nurani yang saat ini tergopoh - gopoh menyimak pertarungan yang amat sengit antara penerbitan the controversial magazine, Playboy dengan pengesahan RUU APP (Anti-Pornografi dan Pornoaksi). Sungguh nama besar Indonesia saat ini sedang diuji, bukan hanya karena sebagai masyarakat timur yang terkenal dengan keluhuran budi, namun juga gejolak konflik internal interest yang mengancam integritas negeri yang membujur dari Sabang sampai Merauke ini.

60 tahun ternyata belum menjadi waktu yang cukup bagi negeri ini untuk duduk langgeng dengan segala kandungan kekayaannya. Bertahun – tahun kehidupan republik ini layaknya sebuah kapal yang sedang terguncang ombak hebat. Di dalamnya sesak penumpang dengan seorang nakhoda muda yang belum cukup pengalaman dalam membawa kapalnya ke sebuah samudera kehidupan. Dalam setiap persinggahan, ternyata seringkali diwarnai rasa marah dan kekecewaan penumpang akibat ketidakprofesionalan nakhoda, juga recik – recik perkelahian preman pelabuhan serta perompak laut yang membuat para penumpang meratapi keselamatan perjalanannya.

Sekarang, kapal itu sedang berlabuh di sebuah negeri baru yang terkenal dengan budaya pluralnya. Akankah kapal itu harus mengubah haluan ? Atau akankah para penumpang tadi harus mengubah identitas diri mereka ? Haruskah mereka menerimanya ? Itu adalah serangkaian pertanyaan – pertanyaan sebagai bahan pemikiran bagi kita semua.

Beberapa waktu terakhir ini, kita diberikan suguhan perdebatan the Playboy episode mulai dari kaca mata politik, sosial, sampai hukum dan ekonomi. Seperti beberapa pertanyaan yang saya sampaikan di atas. Apa yang harus kita lakukan ? Apalagi saat ini perdebatan itu sudah sampai ke arah akar rumput, bahkan ibu – ibu di dapur pun sambil menggoreng tempe sudah mulai memberikan opini – opini pedas mereka, dan tentunya itu bukan opini dapur yang lebih dari sekedar hangat sesaat.

Panasnya pembicaraan politik di Senayan tentang perlu atau tidaknya RUU APP ternyata disambut dengan antusiasme para ibu – ibu dan kaum hawa di sebuah negeri yang terkenal dengan Indonesia on the City Island, Bali. Bahkan tak tanggung – tanggung, aksi tersebut dinamakan dengan aksi budaya sebagai bentuk protes keras terhadap rencana penerbitan UU APP. Baru kali ini, kita dihadapkan pada sebuah romantika sosial yang lengkap dengan tokoh angle dan demon-nya. Benar – benar dibutuhkan suatu kebijaksanaan pemerintah yang untuk bertindak tepat dan cermat karena menurut beberapa tokoh permasalahan ini sudah masuk ke dalam ranah privat. Sampai – sampai ada yang berkelakar, “Wah.. mau mandi saja nanti bakal susah. Ha..ha..“.

Menurut hemat penulis, saat ini paling tidak dibutuhkan beberapa pendekatan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Yakni terkait dengan pendefinisian tentang pornoaksi dan pornografi, serta ruang lingkupnya, karena saat ini pemerintah masih berkutat pada satu makna, yakni sensualitas. Kita tidak bisa memberikan sebuah penafsiran yang mengambang, apalagi hal ini terkait dengan sebuah sistem perundangan. Kalaupun langkah ini sudah ada, maka pendekatan yang sifatnya kultural lebih intens lagi untuk dilakukan. Masyarakat tidak semuanya mengerti bahasa politik dan hukum. Mereka lebih mengerti tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan mereka memahami semua itu melalui retorika budaya. Jakarta boleh panas dengan bahasa – bahasa yang penuh dengan konsideran. Namun, rakyat di Bali, Papua, Dayak, belum tentu mengerti itu semua. Ketika urusan kebudayaan yang mereka anggap sebagai tata nilai lokal yang harus mereka hormati, apalagi menyentuh aspek kepercayaan, maka dapat dipastikan mereka akan menolaknya dengan mentah – mentah. Idealnya memang masyarakat harusnya lebih memahami perbedaan antara memakai kemben dalam budaya Jawa sebagai salah satu ritual budaya dengan goyang ngebor yang dialibikan sebagai kebebasan berekspresi pribadi. Namun kenyataanya, masyarakat belum memahami itu semua.

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya permasalahan perlu tidaknya UU APP merupakan permasalahan yang memiliki partisi tipis. Berbagai resistensi yang muncul sebagai buah rencana RUU APP merupakan wacana kontrol publik. Namun, seringkali pemerintah mengabaikan hal itu. Kita tidak berharap perdebatan sengit RUU APP ini berujung pada lepasnya Bali, Kalimantan, Papua, dan wilayah – wilayah lain yang saat ini terkenal vokal dalam menyuarakan penolakan RUU tersebut hanya dikarenakan mengancam nilai – nilai budaya mereka. Kalaupun boleh dikatakan, negeri ini memang butuh perbaikan. Krisis multi-dimensional yang melanda negeri ini memang dibutuhkan suatu treatment sosial yang berupa reformasi moral, dan salah satu upaya yang dibutuhkan adalah minimalisasi celah yang mengarah pada terbentuknya amoral society. Negeri kita adalah negeri ber-Bhinneka, dan Bhinneka sendiri merupakan ideologi moral. Pornoaksi dan pornografi tak lain dari selangkah pemerkosaan nilai – nilai moral. Untuk itu, sebagai masyarakat yang ber-Bhinneka, maka kita membutuhkan tools sebagai upaya perlindungan terhadap serangakaian upaya pemerosotan moral. Sejauh mana kita memahami, dan sejauh mana pemerintah mengerti ? Haruskah Playboy diterima ? Bagaimana dengan majalah porno yang lain ? Lantas, apakah moral hanya urusan pribadi ?! Saya kira tidak..... !!!!

*) Presiden BEM KBM STT Telkom

posted by ENDONISEA @ 16:17,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home