“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Disorientasi peran kepemudaan

Hasil data sensus penduduk tahun 2000 ternyata didapatkan angka 40 % dari total penduduk Indonesia (sekitar 201 juta jiwa) adalah para pemuda. Sehingga boleh dikatakan Indonesia memiliki lebih dari 80 juta pemuda yang saat ini mendiami wilayah dari Sabang sampai Merauke. Di sisi lain, tahun 2003 Depnakertrans RI mengeluarkan data bahwa jumlah penganggur di Indonesia berada pada angka 38 juta jiwa dengan tingkat kenaikan 2,5 juta per tahun, sementara jumlah penduduk usia kerja sekira 170 juta jiwa. Dari data diatas, secara logika dapat kita pastikan bahwa yang menguasai penduduk usia kerja (termasuk juga jumlah penduduk yang menganggur) adalah para pemuda. Sehingga menjadi suatu hal yang ironis ketika kita mendapatkan sebuah kesimpulan akan realita hari ini bahwa kontribusi pemuda yang paling besar terhadap negara kita adalah prestasi di bidang peningkatan pengangguran dengan angka progresivitas sekitar 1.47 % per tahun.
Saya kira begitulah kondisi bangsa kita saat ini. Di tengah kondisi bangsa yang sedang carut marut dengan berbagai musibah dan segala macam ke-apes-an (baca: kesialan) di bidang politik, hukum, keamanan, pendidikan, dan berbagai macam sektor lainnya; ternyata pemuda kita juga ikut bersumbangsih ria dengan ‘kemiskinan peran’, sehingga yang menjadi pertanyaan adalah kira-kira apa yang menyebabkan pemuda-pemuda kita memiliki ‘kemiskinan peran’?
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, alangkah lebih baik ketika kita menjabarkan terminologi ‘kemiskinan peran’. Menurut saya, yang dimaksud dengan ‘kemiskinan peran’ adalah ketiadaan peran-peran pemuda yang mampu memunculkan kesadaran kolektif dalam membangun bangsa. Sementara yang ada saat ini adalah semangat individualisme dalam rangka memakmurkan kepentingan-kepentingan pribadi, serta ketiadaan empati terhadap realitas permasalahan bangsa. Mungkin perasaan-perasaan terhadap kondisi sosial bangsa ada, namun hal itu hanya sebatas simpati yang tidak diikuti dengan signifikansi kontribusi peran. Walaupun terdapat ‘kemiskinan peran’, tetapi kita melihat bahwa terdapat intelektual-intelektual muda, para sarjana, para ‘pemikir’, namun mereka kebanyakan hanyalah manusia yang memikirkan masa depan dirinya sendiri, bukan memikirkan masa depan umat dan bangsanya.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Kira-kira, apa yang menyebabkan terjadinya ‘kemiskinan peran’ kepemudaan?
Sampai saat ini, satu-satunya penyebab yang ada di benak saya adalah karena ‘tidak benarnya’ sistem pendidikan nasional yang kita miliki. Dapat saya katakan, sekali lagi ini persepsi pribadi, bahwa sistem pendidikan nasional kita bukanlah sistem pendidikan barat yang identik dengan kapitalisnya, bukan sistem pendidikan sosialis, bahkan juga bukan sistem pendidikan Pancasila. Sistem pendidikan nasional bangsa kita adalah (maaf) sistem pendidikan sesat. Kenapa terjadi demikian? Secara logika, jika kita mengatakan sistem pendidikan kita menganut pada logika Pancasila, maka seharusnya output dari pendidikan kita akan menghasilkan orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga akan menghasilkan orang-orang yang memiliki kesadaran untuk berperan untuk menjadi manusia yang bermanfaat, baik bagi dirinya, manusia yang lain, juga bagi umat dan bangsanya. Tetapi realitanya tidaklah semanis yang kita katakan diatas. Hasil dari pendidikan nasional kita adalah para koruptor di dunia politik, para penganjur ‘perbudakan’ di dunia pendidik, serta para elit kapitalis di dunia bisnis. Lantas apa dan siapa yang salah? Saya kira tidak tepat jika kita mengatakan yang salah adalah guru kita. Menurut saya juga sebuah alibi murahan ketika kita mengatakan yang salah adalah sistem pendidikan kita, bahkan ketika kita mengatakan yang salah adalah penjajah kita, saya kira itu juga bukanlah sebuah alasan yang cerdas. Saya menyodorkan sebuah alternatif jawaban, bahwa menurut saya yang salah adalah bangsa kita karena kita bukan sebagai bangsa yang suka berpikir. Dari dulu, kita adalah bangsa yang senang dengan wacana budaya adi luhung yang menurut saya identik dengan klenik dan pertumpahan darah dalam memperebutkan harta, tahta, dan wanita. Di sisi lain, kita juga sebagai bangsa yang hobi mengimpor berbagai paham yang membuat bangsa kita tergolong sebagai bangsa-bangsa kelas dua dengan ‘rumah’ negara dunia ketiga, alias bangsa yang bodoh yang mendiami negara miskin. Apakah ini sebagai sebuah ke-apes-an nasib kita, ataukah karena kebodohan kita, atau juga karena orang lain yang lebih pintar?
Negara kita memang banyak menghasilkan kaum-kaum intelektual, sehingga berapa ribu penduduk kita yang bergelar sarjana, bahkan master, doktor, serta profesor. Akan tetapi, kenapa orang-orang intelektual tadi belum mampu memberikan perubahan yang signifikan terkait dengan permasalahan bangsa kita saat ini. Menurut saya, jawabannya adalah masih terdapatnya sedikit para intelektual tersebut yang bersedia ikut memikirkan permasalahan bangsa kita sekarang. Dari sedikit orang tersebut, ternyata masih harus dibagi-bagi lagi, karena disana ternyata masih ada orang-orang hipokrit yang ikut memikirkan bangsa tetapi orientasi mereka ternyata bermuara pada jabatan dan kekuasaan. Kenyataan lain adalah bangsa kita juga terdapat banyak orang salih. Akan tetapi, ternyata kesalihan tadi hanya dimanfaatkan untuk ajang bisnis dan profesi, sehingga muncullah para da’i dan ustadz selebriti.
Kesimpulannya adalah, pemuda kita hari ini terdapat gejala disorientasi peran kepemudaan. Oleh karena itu, dibutuhkan semacam pemahaman-pemahaman khusus untuk menumbuhkan peran-peran kepemudaan yang mampu mengembalikan kemuliaan umat serta bangsa kita untuk bangkit dari segala keterpurukannya, baik moral maupun sosial. Kita membutuhkan para intelektual-intelektual muda yang selain memiliki kecakapan intelektual, juga memiliki kesalihan-kesalihan mental-spiritual yang selanjutnya akan mampu menghasilkan peran-peran kolektif yang dapat mengembalikan kemuliaan umat serta bangsa kita kedepan.
Sesungguhnya, nasib umat dan bangsa ini ada di tangan kita. Walaupun peran-peran tadi adalah pilihan, namun hanya orang-orang yang sadar dan paham saja yang memahami bahwa peran-peran tersebut ternyata sebuah kewajiban. Akhirnya, ketika kita telah memahami akan hakikat peran-peran diatas, maka kegelisahan hati dan pemikiran sebenarnya masih berada dalam taraf menyembunyikan kebenaran bukanlah sebuah peran kepahlawanan pemuda, sampai akhirnya kita wujudkan kegelisahan hati dan pemikiran kita dalam kerja dan usaha untuk membangkitkan kesadaran kolektif bangsa untuk kemudian konsep keadilan dan kemuliaan adalah hak segala manusia, segala umat, dan segala bangsa, termasuk bangsa kita saat ini.

Wallahua’lam

posted by ENDONISEA @ 09:15,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home