“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Bangsa yang tidak punya identitas

Semalam bersama seorang rekan, saya terlibat diskusi personal dengan Profesor Tubagus Zulriska (Dekan Fak. Psikologi Unpad) tentang kondisi bangsa kontemporer. Berawal dari evaluasi laptop DPR, hingga akhirnya kita masuk dalam wilayah kajian sosio-historis bangsa Indonesia.
Sejak awal republik ini berdiri, memang bangsa kita telah melakukan kesalahan. Sehingga suatu hal yang salah jika kita mengatakan bahwa kerusakan bangsa ini bermula dari tangan rezim orde baru. Sejak zaman Soekarno menjabat sebagai penguasa negeri ini sampai rezim ‘demokratis’ yang berkuasa saat ini, kesalahan senantiasa terjadi dan berulang kembali seiring dengan estafet kepemimpinan bangsa. Memang, kesalahan utama yang dibuat oleh para penguasa kita yaitu adanya disorientasi kekuasaan. Sehingga ketika mereka berada pada posisi puncak kekuasaan, yang muncul adalah terdapatnya disfungsionalitas peran. Oleh karena itu, yang kita dapatkan saat ini seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta berbagai macam ‘kebejatan moral politik’ penguasa kita adalah sebagai wujud dari adanya disorientasi serta disfungsionalitas kekuasaan. Hampir dapat dipastikan bahwa yang mereka bangun bukanlah sebuah soliditas sistem yang mengacu pada penguatan pilar-pilar berbangsa dan bernegara, melainkan yang dibangun tak lain hanya bertujuan untuk penyelamatan kepentingan politik dan kekuasaan. Kita bisa melihat bagaimana mundurnya Hatta terkait dengan konflik yang terjadi antara dirinya dengan Soekarno. Kita pun juga melihat bagaimana manuver Soeharto dalam menata ‘bidak-bidak’ kekuasaannya sehingga mampu melanggengkan tahta kekuasaannya hingga 32 tahun. Sehingga kalaupun boleh dikatakan, bahwa sebenarnya kemerdekaan Indonesia 1945 bukanlah sebuah momentum terlepasnya kita dari belenggu penjajahan total, karena ternyata penjajahan tetaplah ada yang secara halus mereposisi menjadi sebuah bentuk penjajahan ideologi. Keterkungkungan bangsa kita menurut saya sebenarnya bukanlah representasi dari kesialan nasib bangsa. Keterkungkungan kita tak lain sebagai akibat dari terdapatnya gejala bangsa yang introvert, adanya sebuah ketidakpercayaan diri untuk mampu bangkit dari keterpurukan.
Kembali terkait dengan disorientasi kekuasaan. Ketika yang dibangun adalah kelanggengan kekuasaan, maka kemudian ada satu hal yang tidak diperhatikan dalam menyusun pilar-pilar berbangsa dan bernegara, yaitu ketiadaan peran dalam merumuskan identitas bangsa kita sebagai bangsa yang berdaulat. Sehingga, ketika identitas bangsa tidak ter-rumuskan, maka yang terjadi adalah tidak adanya arah yang jelas dalam menyusun orientasi pembangunan manusia Indonesia, padahal dapat kita katakan bahwa sumber daya manusia adalah unsur potensi bangsa yang paling vital dan strategis karena terkait dengan investasi kepemimpinan bangsa masa depan. Kita tidak melihat adanya sebuah proses pembentukan karakter bangsa yang kuat, sehingga yang dihasilkan adalah bukannya bangsa yang pembelajar dan mau berpikir, tetapi menjadi bangsa yang malas untuk membuat perubahan-perubahan. Memang sejarah bangsa telah dibelokkan sedemikian rupa oleh segolongan elit untuk kepentingan mereka. Tetapi bagi saya, janganlah kita terlalu memusingkan diri terkait dengan ulah mereka. Sejarah tidaklah cukup untuk diulang, melainkan sejarah adalah untuk diciptakan dimana peran masing-masing kepemimpinanlah yang nanti akan bertanggung jawab dalam menciptakan sejarah peradaban-peradaban bangsa, termasuk bangsa kita.
Dengan tiadanya identitas bangsa tersebut, selain kondisi potensi SDM bangsa yang hancur, kanal lain yang ikut terlibas adalah tidak adanya strategi pembangunan yang terstruktur dan konvergen. Saat ini, pembangunan lebih dimanfaatkan oleh para pejabat sebagai lahan untuk memperkaya diri dan mengembalikan ‘modal’ kekuasaan, sehingga yang terjadi adalah adanya kesesatan identitas kehidupan berbangsa. Orde Lama menafsirkan identitas bangsa dengan Politik Mercusuar, sehingga yang muncul adalah Poros Jakarta-Peking. Sedangkan Orde Baru mencoba menjabarkan identitas bangsa kedalam P4 yang tak lain sebagai representasi dari tangan besi Soeharto. Yang lebih menarik lagi, Orde Baru tak hanya P4, melainkan juga poros Cendana yang menghasilkan orang kaya baru serta menciptakan poros Jakarta-Washington yang hasilnya adalah komplotan konglomerasi kapitalis perusak bangsa.
Akhirnya, saat ini ketika kita mengatakan kondisi bangsa yang carut marut, saya kira ya inilah realitanya. Semua ini tak lain sebagai efek kompleksitas kerusakan bangsa yang tak punya identitas, atau kalaupun punya maka dapat dikatakan kita sebagai bangsa yang menderita kesesatan identitas. Secara logika, untuk membangun kembali bangsa ini sepertinya dibutuhkan semacam reorientasi gerakan dalam menyusun paradigma-paradigma serta sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Menjadi hal yang cukup mustahil ketika kita mencoba mengakselerasi pembangunan akan tetapi kita tidak meluruskan orientasi pembangunan bangsa. Sehingga dapat dipastikan sampai kapanpun jika orientasinya masih salah, saya kira kita akan menjadi bangsa yang tersalahkan, baik oleh pendiri bangsa kita dulu, maupun anak cucu kita nantinya.
Masing-masing kita bukanlah pewaris dosa dan kesalahan. Akan tetapi, ketika kita tidak mau menyadari akan hal ini serta kita tidak mau berusaha untuk memperbaikinya, maka itulah sebuah langkah awal dari adanya investasi dosa dan kesalahan sehingga yang kemungkinan terwujud nantinya adalah hancurnya peradaban bangsa sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, hanya saja kita tidak mau berpikir besar sehingga belum pernah ada prestasi-prestasi besar bagi kemaslahatan umat manusia.
Wallahua’lam

posted by ENDONISEA @ 06:34,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home