“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Kepemimpinan transformasional vs Revolusi sampai mati

Ada hal yang menarik yang sedang saya kaji terkait dengan kepemimpinan bangsa yang saat ini mengalami stagnasi. Kenapa demikian?
Saya melihat bahwa kepemimpinan yang terjadi sejak awal republik ini berdiri mengalami sebuah kesalahan fatal, dimana orientasi yang diusung oleh masing-masing pemimpin bukanlah common orientation, melainkan orientasi-orientasi semu yang hanya ditujukan untuk melanggengkan kursi kekuasaannya saja. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah egoisme politik masing-masing pemimpin bangsa yang belum mampu mengharmonisasikan arah gerak pembangunan bangsa ini menuju satu titik. Sehingga kalaupun boleh dikatakan, sebenarnya segala permasalahan yang saat ini terjadi di tanah air mulai dari OPM di Irian Jaya, Fretilin di Timor Timur, GAM di Aceh, serta pertempuran etnis di Poso adalah sebagian dampak, baik langsung maupun tidak langsung, dari egoisme politik masing-masing penguasa saat itu dimana yang menjadi penyebab praktis di lapangan adalah ketiadaan perhatian yang serius atas friksi-friksi yang terjadi yang kemudian berkembang menjadi menjadi permasalahan yang mengancam kepentingan nasional.
Sehingga, ada sebuah hipotesis yang saya dapatkan bahwa kepemimpinan nasional kita sampai saat ini masih sebatas kepemimpinan parsial. Kepemimpinan yang hanya terdiri dari logika “elu-gua”, dimana jika dijabarkan lanjut menjadi “urusan saya ya urusan saya, sedangkan urusan anda ya selesaikan sendiri”. Tidak ada kedewasaan politik yang mampu menyentuh atsar kepentingan bangsa. Semua merupakan pseudopolitics yang menggembar-gemborkan kepentingan nasional, sedangkan dibalik semua itu ternyata hanya ambisi kekuasaan.

Era kepemimpinan transformasional
Lantas apa yang menjadi solusi?
Sudah selaiknya bahwa kemerdekaan atas penjajahan yang kita klaim sejak tahun 1945 haruslah menjadi kemerdekaan bangsa seutuhnya. Sehingga, hakikat dari kemerdekaan tersebut haruslah diterjemahkan kedalam strategi-strategi pembangunan bangsa secara komprehensif, konvergen serta berkelanjutan. Tongkat kepemimpinan nasional pun hendaknya mulai dijaga dan dibersihkan dari segala macam ambisi politik kekuasaan, walaupun saya yakin hal itu masih sebuah khayalan. Pemahaman yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin bangsa kedepan adalah bagaimana upaya-upaya pewarisan kepemimpinan yang mana di masing-masing masa akan terdapat nilai-nilai sejarah kepahlawanan pemimpin. Oleh karena itu, pilihannya sekarang tidak lagi kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan semu yang berbatas periode, melainkan kepemimpinan yang berbasiskan pelayanan total dengan satu tujuan. Sehingga, seharusnya logika yang ada sekarang bukanlah lagi logika politik kekuasaan, melainkan politik kerakyatan yang mana kepentingan rakyat senantiasa diutamakan.
Kepemimpinan transformasional membutuhkan kedewasaan politik. Artinya, setiap peran politik yang dimiliki oleh masing-masing pemimpin ditujukan bukan untuk kelanggengan kursi kekuasaan, melainkan menyusun struktur-struktur pembangunan nasional. Ketika hal itu mulai dipahami oleh para pemimpin kita, saya yakin kedepan tidak ada lagi reorientasi-reorientasi pembangunan nasional. Tidak ada lagi penggadaian kepentingan nasional kita dengan hutang yang malah membebani anak cucu kita kedepan.
Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menciptakan setiap orang menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Kepemimpinan transformasional tidaklah terbatas pada subjek orang, melainkan kepemimpinan yang lebih holistik lagi karena terkait dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. Kepemimpinan transformasional senantiasa menyusun pilar-pilar regenerasi kepemimpinan sebagai upaya menuju tercapainya kepentingan bangsa, bukan golongan.

Bagaimana dengan wacana revolusi?
Identitas Soekarno senantiasa erat dengan wacana revolusi, sehingga predikat panglima besar disandangnya. Saat ini, sebagian dari masyarakat kita menuntut digulirkannya revolusi nasional. Saya kira wacana revolusi hanyalah wacana pragmatis dan dangkal. Kenapa? Pemahaman saya mengatakan bahwa konsep revolusi adalah konsep yang tidak teruji alias trial and error. Pilar revolusi bukanlah pilar yang matang sehingga bagi sebuah negara yang sebesar (dan selemah) ini, saya kira jika wacana revolusi direalisasikan, maka harus dibayar dengan political-cost yang tidaklah kecil diamana konteks negara kesatuan akan menjadi taruhan selain korban nyawa rakyat yang senantiasa menjadi tumbal. Bagi saya, revolusi bukanlah kedewasaan dalam langkah politik. Tidak masalah jika revolusi digunakan sebagai opini shock-therapy untuk mengakselerasi perubahan. Tetapi saya kira, revolusi yang saat ini kita lontarkan hanya sebatas wacana-wacana pragmatis, sehingga revolusi sampai mati menjadi trend dalam setiap pergerakan. Hasilnya, revolusi sampai mati ternyata tidak menghasilkan perubahan yang cukup berarti, karena sebelum revolusi berhasil kita sudah mati duluan. Ya.. slogan revolusi sampai mati tidak akan pernah menuntaskan langkah-langkah revolusioner kita karena kita sudah mati terlebih dahulu sedangkan revolusi masih berlangsung (katanya).
Wallahua’lam bishshowwab.

posted by ENDONISEA @ 07:18,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home