“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Pejabat rusuh, negara kisruh

Akhir-akhir ini, terdengar banyak sekali kericuhan-kericuhan yang dibuat oleh para pejabat kita, mulai dari tragedi YZ-ME, PP 37, laptop, hingga para pejabat yang sibuk ngurusin partainya. Sepertinya, kalaulah negeri ini dibikin sinetron, maka saya yakin akan banyak episode yang tersusun.
Tadi pagi saya diskusi dengan seorang teman terkait dengan isu laptop anggota dewan. Beliau nyeletuk, “Sepertinya untuk jadi pelawak memang syaratnya harus punya laptop, termasuk ‘pelawak-pelawak’ kita di Senayan”.
Saya lantas berpikir, sepertinya benar juga apa yang dikatakan oleh teman saya barusan. Memang kebanyakan para pejabat kita itu layaknya artis sinetron, hanya sedikit yang memang benar-benar berniat untuk mengabdi kepada rakyat. Kenapa hal itu bisa terjadi? Saya berpendapat bahwa mayoritas para pejabat kita terlalu sibuk bukan karena menyelesaikan pekerjaannya, melainkan mereka sibuk dalam mempertahankan kursi kekuasaannya. Masing-masing tersibukkan dengan agenda menjaga image, baik image kepada rakyatnya sendiri maupun image terhadap penguasa asing, sehingga agenda-agenda untuk melayani rakyat bukan saja terabaikan, tetapi dengan ‘sangat terpaksa’ ditunda hingga anggaran tahun depan (baca: mending gua korupsi dulu anggaran tahun ini, toh tahun depan juga bisa dijadwalkan ulang kok!!!). Selain layaknya seorang artis yang suka menjaga image, para pejabat kita kebanyakan juga tak ubahya para pelawak yang menghibur para penonton dengan lawakan-lawakan murahannya. Bagaimana tidak kalau misalnya mereka hanya bisa mengumbar ‘lawakan’ janji belaka yang tiada realisasi. Kecelakaan Porong misalnya, sudah hampir satu tahun, bahkan dibentuk tim nasional (timnas), akan tetapi hasilnya tak lebih dari meluapnya janji-janji seiring dengan meluapnya lumpur panas. Atau BRR-gate yang ternyata menjadikan Aceh sebagai ‘lumbung padi’ para ‘tikus birokrat’. Malah lebih parah lagi, Jakarta seolah damai ketika Aceh saat ini telah berubah menjadi Republik LSM saking banyaknya LSM-LSM asing yang ada disana.
Saatnya jadi pejabat, saatnya rebutan kue kekuasaan. Hal ini dapat kita lihat di arena Pilkada DKI Jakarta misalnya. Saat itu, tim sukses salah satu bakal calon gubernur yang berinisial FB menggelar sebuah acara di Jakarta. Disana, Wakil Presiden kita mengumbar strategi yang harus ditempuh untuk memenangkan Pilkada Gubernur. Saya kira hal tersebut bukanlah suatu etika politik seorang pejabat publik. Sebenarnya hal tersebut tidak masalah jika disampaikan di sebuah forum internal yang tertutup, tetapi kalau disampaikan di sebuah forum resmi saya kira hal tersebut tidak mencerminkan etika politik pejabat walaupun yang bersangkutan juga tercatat sebagai seorang pengurus partai politik yang mengusung si bakal calon untuk menjadi gubernur. Dari catatan-catatan tersebut, kita bisa melihat bagaimana sosok pribadi-pribadi pejabat kita yang ternyata tak mampu menempatkan dirinya atau dengan kata lain tidak profesional, maka dari itu, sepertinya bagi mereka bukanlah suatu masalah jika korupsi masih tumbuh subur di sekeliling mereka, “Lha gimana lagi, bukannya anggaran negara juga anggaran pribadi”. Ya.. mereka tidak bisa membedakan lagi apa yang ‘pantas’ untuk dirinya dan apa yang ‘harus’ untuk bangsanya. Semuanya telah terbalik menjadi apa yang ‘harus’ untuk dirinya, dan apa yang ‘pantas’ untuk bangsanya.
Kerusuhan ternyata tidak hanya terjadi pada aparat kita yang hobi bentrok hanya karena urusan cewek atau daerah kekuasaan (baca: wilayah bekingan), tetapi juga menjangkiti para pejabat kita yang berang ketika banyak sekolah di negeri kita dibilang seperti kandang ayam, sedangkan rumah dinas mereka bak istana kaisar. Ketika rakyat miskin bertambah sengsara karena tak mampu membeli beras aking, tetapi rekening pribadi pejabat kita melonjak empat kali lipat selama dua tahun menjabat. Luar biasa!!!
Maka saya kira, sepertinya kita harus kembali ke laptop bahwa republik ini didirikan bukan sebagai sasana penindasan. Republik ini didirikan dengan lumuran darah para pahlawan, maka janganlah kotori republik ini dengan darah-darah rakyat yang tertindas.
Demokrasi tak lain hanyalah sebuah konsensus penindasan rakyat berjamaah yang berlindung dibalik sayap Pancasila. Ya itulah negeri kita, negeri para preman, ketika mereka rusuh, pasar pun kisruh. Demikian pula republik ini, ketika para pejabat rusuh, negara pun kisruh, akhirnya bangsa kita menjadi bangsa yang kumuh, dimana sampah demokrasi telah memenuhi alam semesta republik kita, Indonesia.

Wallahua’lam.

posted by ENDONISEA @ 08:11,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home