“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Hilangnya kolektivitas kebangsaan

Selama beberapa hari terakhir, media massa baik cetak maupun elektronik gencar menyiarkan kabar tentang interpelasi ‘pejabat Senayan’ terhadap ‘kaisar Medan Merdeka’. Kembali para wakil rakyat berusaha menegakkan taringnya dengan memanggil presiden SBY untuk ‘dipaksa’ datang dalam perhelatan interpelasi atas dukungan Presiden RI yang mengatasnamakan rakyat Indonesia terhadap resolusi DK PBB 1747 dalam rangka ‘mempecundangi’ nuklir damai Iran. Sebenarnya interpelasi adalah hal yang wajar dalam konteks demokrasi, termasuk negara kita.
Akan tetapi, fase transisi demokrasi ternyata telah mewarnai tata kehidupan politik negeri kita, dimana kekacauan menjadi ciri khas yang tak tertampikkan. Euforia transisi demokrasi, dimana masing-masing pihak (eksekutif, legislatif, yudikatif) menunjukkan taring-taring kekuasaannya, sehingga sesuatu yang sebenarnya hal yang biasa pada akhirnya harus dirasakan sebagai sesuatu yang ‘diluarkebiasaan’, namun perlu dicatat, bahwa ‘diluarkebiasaan’ tersebut bukanlah menunjuk pada konteks luar biasa, namun kondisi abnormal yang sarat dengan rekayasa.
Kepanikan-kepanikan politik yang muncul belakangan ini, sepertinya bukanlah sesuatu yang bersifat emergency, namun lebih mengarah kepada keinginan yang tak lagi terbendung untuk pamer otot kekuasaan. Masing-masing pihak ingin menunjukkan diri mereka di muka rakyat, bahwa pihaknya-lah yang lebih berkuasa atas republik ini, bukan yang lainnya. Ironisnya, rakyat didudukkan pada hierarki yang terluar, yang berarti bahwa tidak ada satu pun dari apa yang mereka kerjakan mampu terasa untuk rakyat, namun ternyata rakyatlah yang senantiasa dijadikan objek marjinal atas ulah mereka.
Romatika kekuasaan itu selalu saja terjadi seolah tak ada lagi episode baru yang memberikan efek impresif bagi 270 juta ‘penonton’ ini. Masing-masing ‘aktor’ yang seharusnya berperan sesuai arahan ‘sutradara’, akan tetapi realitanya hanyalah sesuatu di atas kertas, dimana kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing pihak terjebak dalam konflik egosektoral. Mereka hanya bersitegang dibalik baju kepentingannya sementara untuk menonton pertunjukan itu, rakyat diminta mengeluarkan uang yang tidak cukup sedikit untuk membeli ‘tiket’ yang terkadang harus dilalui dengan ‘berdesakan’ tanpa mendapat ‘hidangan’ yang memuaskan. Impian akan lakon yang berujung pada kemenangan sang pahlawan ternyata hanyalah menyisakan pilu dan trauma, dimana efek kejut tak hanya berada pada pihak yang kalah, namun juga para penonton yang tak tahu skenario apa-apa.
Kontrak yang terjabar diatas legal konstitusi telah mereka coret dengan ‘tinta merah’ konflik kepentingan berkepanjangan. Seraya menoleh sejenak ke belakang, bahwa ternyata ‘tinta emas’ hanyalah sejarah yang berlaku di era revolusi saja. Sedangkan awal mula orde 66 berkuasa yang mengandung banyak harapan, ternyata rakyat hanya diajak untuk bermimpi ria membayangkan negeri ini berada diatas tampuk kehormatan dan kekuatan. Sementara, para ‘bandit-bandit tua nakal’ yang tak lain adalah komplotan mereka mulai mengerjakan proyek underground-nya dengan merusak pasak-pasak yang menyangga kegagahan ‘kapal’ republik ini. Tak kuasa menahan derasnya ombak, 32 tahun kemudian ‘nakhoda’-nya pun harus diganti paksa. Namun siapa sangka kalau penggantinya adalah seorang ksatria layaknya Popeye yang senantiasa ikhlas dan siap sedia walaupun hanya dengan sekaleng bayam dan sebatang pipa rokok. Akan tetapi hal itu tidak berlaku di kapal Indonesia. ‘Nakhoda’ kita bukanlah Popeye dan tak cukup dengan bayam atau sigaret saja. Bagi mereka, kalaupun Indonesia adalah negeri agraris yang menghijau, tetapi apatah hanya cukup dengan korupsi bayam saja mampu memberikan jaminan bagi mereka untuk sampai pada singgasana emas kekuasaan? Ternyata tidak!
Saya kembali teringat akan kisah Jenderal Jack yang selalu saja ceroboh ketika dilanda kekalahan akibat ulah Satria Baja Hitam. Jenderal Jack selalu merasa panik atas semua drama kekalahannya. Kalaupun saat ini kita melihat para pemimpin kita terjerat dalam kuatnya rantai kepanikan, maka apakah hal itu semua sebagai representasi dari ketakutan mereka akan hilangnya kekuasaan? Ataukah kita kembalikan pada rasa kemanusiaan kita, dimana pikiran positif kita senantiasa diajukan, bahwa kepanikan mereka adalah demi menyelamatkan ‘kapal rakyat’ yang hampir karam? Semoga saja terjal-terjal gelombang dan kuatnya badai yang menghempas ‘buritan kapal’ ini mampu menyadarkan mereka semua, bahwa mereka telah kehilangan kolektivitas kebangsaan, dimana jebakan-jebakan kepentingan hanyalah akan menyisakan tangisan-tangisan rakyat yang selama ini tak tahu-menahu apa yang mereka skenariokan dalam sebuah melodrama yang tak jelas alurnya dan tak tahu kapan akan berakhir. ‘Penumpang’ hanyalah berharap bahwa mereka menginginkan agar kapal bisa bersandar di pelabuhan dengan selamat, seolah aktor pahlawan yang telah kembali dari pertempuran dengan sambutan gelaran karpet merah kehormatan dan tabuhan genderang kemenangan. Semoga saja!
Wallahua’lam.

posted by ENDONISEA @ 10:21,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home