“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Kalaupun hukum bisa dibeli oleh rakyat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di negeri kita kekuasaan bisa dibeli dengan uang. Namun ternyata, saat ini tidak hanya kekuasaan saja yang bisa dibeli. Lebih dari itu, ternyata hukum pun bisa dibeli di negeri kita. Tentunya yang sanggup membeli hukum tersebut adalah mereka orang-orang yang punya basis kekuatan uang dan kekuasaan.
Lusa kemarin, saya diberikan kesempatan untuk bisa menghadiri undangan ‘perjuangan’ dan memberikan orasi pada ‘pertunjukan jalanan’ mantan kolega ‘jalanan’ saya yang bertajuk ‘Mengutuk Inkonsistensi Penegakan Hukum’. Rekan-rekan saya yang tergabung dalam Serikat Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (SP-FKK PT. DI) ‘terpaksa’ harus turun kembali ke jalan menyuarakan aspirasi mereka terkait dengan nasib mereka yang sejak empat tahun yang lalu terpaksa ‘didepak’ dari perusahaan mereka akibat isu efisiensi yang digulirkan oleh pihak manajemen (nama lain dari pemerintah) saat itu.

Sebenarnya, secara hukum kasus tersebut sudah final, apalagi ketika pertemuan terakhir dengan SBY di Sari Sunda Cafe dimana SBY berjanji akan mengabulkan tuntutan mantan buruh PT. DI, seperti pembayaran pesangon yang saat itu sengaja ‘dikatung-katung’, serta memproses hukum kasus pemecatan mereka yang terindikasi adanya penyimpangan terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hasilnya, tuntutan pembayaran pesangon dikabulkan (walaupun ditengah ketidakpastian), serta Dirut PT. DI saat itu, Edwin Soedarmo, dijatuhi vonis 2 tahun penjara. Namun vonis tersebut seakan hanya menjadi timangan palsu untuk rekan-rekan buruh karena sampai saat ini yang bersangkutan belum sedikitpun menyentuh terali besi, apalagi mendekam didalamnya.
Keanehan baru kembali muncul ketika beberapa waktu yang lalu Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang meminta Pengadilan Negeri Bandung meninjau ulang keputusan hukum Edwin Soedarmo dengan alasan Edwin mengajukan kasasi ke MA. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah kurang apalagi bukti yang harus ditunjukkan kepada pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum sehingga kasus tersebut segera dieksekusi? Pengadilan Tinggi Jabar menguatkan keputusan PN Bandung, namun secara tidak terduga MA mengeluarkan keputusan yang cukup membuat terkejut banyak pihak.
Memang sudah menjadi hal yang wajar jikalau berbagai kejadian ‘aneh’ seringkali terjadi di ‘pabrik hukum’ tersebut. Kita bisa melihat bagaimana kasus INKUD yang melibatkan seorang pengusaha besar & ternama ternyata bisa lolos dengan begitu mudah, dan tentunya tangan MA yang bermain. Kasus Bulog I & II yang melibatkan pejabat tinggi republik ini juga ‘diselamatkan’ oleh MA, serta berbagai kasus besar lain baik yang ‘di atas kertas’ maupun yang ‘di bawah kertas’ yang juga ‘diselamatkan’ oleh Mahkamah Agung. Sehingga tak salah jika kita mengatakan bahwa saat ini MA seolah menjadi malaikat penyelamat kaum penguasa dan pengusaha yang ‘berselingkuh’ untuk memuaskan kepentingan-kepentingan mereka, sementara rakyat kecil yang tak lain sebagai pewaris sah republik ini tidak terurus dan ditelantarkan akibat skandal perselingkuhan mereka. Bahkan tak hanya sekedar ditelantarkan, seringkali mereka dimanfaatkan sebagai tumbal demi menyelamatkan ‘permainan mata’ pejabat dan pengusaha.
Menjadi perhatian bagi kita, bahkan anak SD pun tahu, bahwa republik ini adalah milik rakyat, hukum juga milik rakyat. Namun kenapa sampai saat ini keadilan yang seharusnya menjadi buah dari hukum tak juga dinikmati oleh rakyat? Apa yang salah? Siapa yang salah? Bukankah agama demokrasi yang saat ini dianut oleh bangsa kita mendudukkan rakyat sebagai penentu nasib bangsa? Namun kenapa sampai saat ini nasib rakyat hanya ditentukan oleh segelintir orang yang sebenarnya tidak memiliki ‘sertifikat’ untuk menguasai dan mengendalikan republik ini? Secara tidak langsung, kepemilikan mereka atas republik ini adalah sesuatu yang inkonstitusional, yaitu adanya pembangkangan hukum yang dilakukan secara struktural yang akhirnya menghasilkan penindasan rakyat struktural. Kalaupun mereka menjual hukum dan keadilan, maka sesungguhnya berapa rupiah yang harus rakyat keluarkan sehingga keadilan itu kembali menaungi republik ini? Harmonisme kehidupan bangsa yang berdaulat dan berkeadilan kembali diharapkan oleh rakyat, dimana mereka tak lain adalah pemegang saham utama republik ini, bukan para ‘perompak’ yang sengaja menunggangi kapal republik dan mengklaim serta mengatakan kepada dunia bahwa kapal itu milik mereka, padahal bukan dan tidak sama sekali !!!
Wallahua’lam

posted by ENDONISEA @ 03:15,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home