“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Siapa yang bodoh sebenarnya?


Akhir-akhir ini, spekulasi yang muncul di tingkat elit terkait dengan tragedi Lapangan Merdeka, dimana SBY yang saat itu ‘disuguhi’ tarian RMS, mulai mengemuka. Beberapa pengamat menyatakan bahwa tragedi tersebut disinyalir karena lemahnya kekuatan intelijen kita. Namun statement tersebut dibantah keras oleh Syamsir Siregar yang menyatakan bahwa BIN sudah mencium gelagat RMS, namun aparat yang ada di lapangan (TNI dan Polri) ternyata tidak mampu menangkap sinyal tersebut. Drama tersebut semakin menarik ketika pucuk pimpinan TNI dan BIN saling tuding dan berlepas tanggung jawab, sementara Polisi sebagai penguasa tertib sipil menjadi kambing hitam. Bahkan beberapa waktu yang lalu, sesepuh intelijen, Soeripto, lewat komentarnya yang tajam sempat mengatakan bahwa tragedi Lapangan Merdeka adalah wujud dari kebodohan intelijen, khususnya Polri selaku penguasa tertib sipil.

Sore tadi saya sempat mendiskusikan masalah tersebut dengan seorang rekan mantan aktivis 1966. Saya sangat tertarik dengan apa yang beliau utarakan, bahwa politik di tingkat elit adalah politik kepentingan. Oleh karena itu, tidak terlepas kemungkinan bahwa tragedi Lapangan Merdeka adalah wujud dari adanya konflik kepentingan. Siapa yang menang dan siapa yang kalah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditebak. Namun setidaknya, rakyat yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa pastilah yang menjadi korbannya.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi terkait dengan peristiwa Jum’at lalu tersebut. Yang pertama, bahwa dalam dunia intelijen, informasi senantiasa bersifat privat. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh sejauh mana tingkat kepentingan yang ada. Kita kembali teringat ketika John F. Kennedy yang tewas ditembak pada tahun 1963? Ternyata pelaku utama pembunuhan tersebut adalah CIA yang tak lain intelijen negara yang dipimpinnya. Sekalipun presiden, namun apabila tidak ada keberpihakan kepentingan disana, maka akan sangat dimungkinkan seorang presiden tersebut tertutup kemungkinannya untuk bisa mengakses informasi intelijen. Artinya, bisa jadi bahwa tragedi Lapangan Merdeka adalah konspirasi intelijen untuk mendiskreditkan SBY. Sampai saat ini kita tahu, bahwa penguasa BIN tak lain adalah ‘orang-orang hijau’ (baca: militer). Walaupun SBY adalah seorang militer, namun dikalangan keluarga besar ABRI (baca: TNI) SBY adalah sosok militer yang lemah dan cenderung ‘demokratis’ (baca: plin-plan). Sehingga, beberapa waktu yang lalu sempat muncul gerakan nurani bangsa yang digalang oleh para jenderal ‘reformis’ yang bertujuan untuk ‘mengakselerasi’ demokratisasi di negeri ini. Tak kalah dari manuver tersebut, beberapa waktu yang lalu komisi I DPR RI juga didatangi oleh beberapa mantan jenderal yang intinya menyatakan ketidakpuasaannya atas kepemimpinan SBY selama ini. Bagi saya hal itu cukup merepresentasikan pihak yang merasa intoleran lagi atas keberadaan ‘tentara demokrat’ untuk memimpin negeri ini.
Yang kedua, tragedi Lapangan Merdeka bisa jadi adalah rekayasa SBY bersama intelijennya. Kedatangan SBY di Maluku yang seharusnya sudah diketahui oleh aparat kita (baca: intelijen), seharusnya sudah mampu tergambar dalam peta keamanan, apalagi untuk standar pengamanan kepala negara yang memungkinkan membahayakan keselamatannya. Namun ternyata tragedi tersebut berlangsung secara bebas hambatan, yang berarti besar kemungkinannya ada pihak ‘sponsor’ yang membuat para penari tersebut dengan mudahnya masuk tanpa halangan, bahkan sampai mengibarkan bendera di depan SBY. Oleh karena itu, jika kemungkinan ini benar, berarti permainan SBY dan intelijen tersebut adalah sebagai langkah pengalihan wacana, apalagi dalam waktu dekat akan dilangsungkan interpelasi nuklir Iran dan lumpur Lapindo. Permainan tersebut semakin menghangat ketika elit partai tertentu masuk serta ikut berperan dalam mendorong ‘suksesnya’ parodi tersebut.
Yang ketiga, memang benar bahwa aparat kita adalah aparat yang cukup lemah, baik ditinjau dari sisi ideologi, moralitas, sampai tingkat kesejahteraannya. Tidak ada lagi kemurnian ideologi, sementara yang tersisa adalah kemurnian kepentingan. Moralitas hanyalah formalitas belaka, yang dengan sekejap hilang tertimbun uang dan kursi kekuasaan. Tidak ada yang tidak mungkin akan adanya birokrat, baik sipil maupun militer, yang memiliki tujuan tertentu dibalik tragedi tersebut.
Yang keempat, tragedi Lapangan Merdeka kemungkinan menjadi ajang yustifikasi keberadaan kelompok separatis, sehingga membuka kemungkinan digelarnya darurat sipil, atau bahkan darurat militer seperti yang pernah diterapkan di Aceh karena adanya gerakan separatis merdeka. Dengan adanya hal tersebut, akan sangat memudahkan bagi elit kekuasaan untuk membuat ‘perhitungan politik’ dalam rangka menyelamatkan bangsa, walaupun secara pribadi saya tidak begitu sepakat dengan konteks tersebut, bahwa realitanya yang ada adalah penyelamatan kepentingan. Logika tersebut muncul dari simpulan ‘keberhasilan’ penuntasan GAM Aceh yang mendudukkan SBY menjadi pahlawan, sampai akhirnya menjadi bakal calon penerima nobel perdamaian. Dengan adanya komoditas RMS, akan sangat terbuka sekali munculnya pahlawan baru yang mampu menuntaskan separatis RMS dengan cara sedemokratis mungkin. Bahkan bisa jadi SBY yang akan menjadi pahlawannya, mengingat pamor SBY semakin hari semakin menurun. Yustifikasi adanya kelompok separatis di satu sisi memunculkan emosi tersendiri di kalangan masyarakat, namun disisi lain merupakan komoditas yang sangat menguntungkan bagi elit untuk menjadi pahlawan-pahlawan baru yang akhirnya tujuannya hanyalah kekuasaan belaka.
Apapun kemungkinan-kemungkinan yang ada, setidaknya ada satu hal yang harus kita yakini, bahwa saat ini di negeri kita sedang dilanda krisis etika politik. Ryaas Rasyid sempat mengungkapkan, bahwa selayaknya negeri kita memiliki Uundang-undang khusus yang mengatur tentang etika politik. Kegagapan yang terjadi bukanlah karena negeri ini masih muda jika dilihat dari tingkat usia, namun kegagapan yang terjadi tak lain disebabkan oleh adanya latah politik yang dijadikan madzhab oleh kebanyakan elit politisi kita. Sudah selayaknya dominasi elit politik yang kebanyakan diambil oleh generasi tua untuk segera diserahkan kepada kaum muda, atau dengan kata lain, kerusakan ideologi dan moral politik bangsa harus segera kita akhiri dengan kedewasaan untuk memilih dan sadar, dimana yang tua memilih untuk segera turun dan bertobat, serta rakyat segera menyadari akan haknya untuk dipimpin oleh pemimpin yang amanah, bukan hanya karena kekuasaan semata. Semoga kebodohan tidak menjangkiti rakyat kita. Allahua’lam.

posted by ENDONISEA @ 08:55,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home