“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Detik terakhir....

Bismillah...

Malam begitu larut.
Hanya cahya malam yang menginspirasi.

Ketika semua berlalu,
maka kenangan adalah sesuatu yang indah.
Terkenang, sepanjang usia....

Dan aku pun mengalaminya,
hidup yang seakan rajutan demi rajutan makna.

Ini adalah malam-malam terakhir diriku di istana tercinta.
Memang, sebentar lagi insya Allah akan ada pengganti.
Hari yang memang kutunggu.
Namun, seringkali kubertanya, apakah langkah yang jauh ini telah memberikan manfaat untuk sesama?

Diriku kadang takut, ketika sampai saat ini diriku tidak amanah.
Rasanya, sanjungan itu ingin kuubah menjadi cercaan.
Tapi, enggan rasanya untuk mencerna cercaan sebagai bentuk kemenangan diri.

Inilah diri yang lemah.
Yang senantiasa terburu nafsu.
Keinginan yang selalu mendahului ketetapan.

Namun, inilah yang kumiliki,
ternyata waktu yang ada adalah hari ini.
Bukan kejayaan hari kemarin,
dan bukan juga impian esok hari.

Get the best.. Be the best...


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 02:04, ,




Kembalikan Generasi Pembaharu Kami

Kembalikan Generasi Pembaharu Kami*
Refleksi Akhir Pengantar Pergantian Generasi Kampus
TW Yunianto**

Potret Negeri
Indonesia, tanah ribuan pulau saat ini terkungkung dalam tragisnya euforia sosial. Negeri dengan 230 juta penduduk ini terkenal dengan surganya dunia. Mulai dari potensi penduduk yang memberikan peringkat keempat pada kategori negara terpadat di dunia, serta kekayaan alamnya yang membentang dari ujung Sabang sampai Merauke. Namun realitanya adalah, 63 juta penduduk Indonesia saat ini masuk dalam kategori miskin dan hampir miskin. Di tengah ramainya hiruk pikuk kemewahan ibu kota, namun di sisi lain jutaan rakyat Indonesia kelaparan, ribuan bayi busung lapar menanti sesuap nasi. Indonesia, salah negeri yang menjadi pusat budaya di Asia Tenggara di era pertengahan abad 20, saat ini berada pada posisi yang terbalik. Kegagalan pemerintah di bidang pendidikan menempatkan Indonesia menjadi 5 besar negeri terkorup di dunia. Apalagi, saat ini pemerintah masih belum mampu menempatkan pembangunan sektor pendidikan sebagai suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Hal ini dapat kita lihat dari alokasi pembagian belanja negara yang tertuang dalam APBN 2006 yang masih menitikberatkan pada pembayaran bunga hutang negara. Hal ini diperparah lagi dengan adanya 55,54% penduduk usia sekolah tidak terlayani oleh pendidikan formal. Lebih dari 40 juta orang menganggur di negara kita. Penduduk negeri ini mempunyai kualitas SDM nomor 117 dari 175 negara di dunia. Jumlah penganggur saat ini semakin naik dari tahun ke tahun dengan distribusi sekitar 11,6 juta dari total angkatan kerja 106,9 juta, atau sekitar 10,84 % orang Indonesia menganggur (data Oktober 2005). Dilihat dari pendapatan per kapita yang masih berada di bawah $US 1.000, mendudukkan negeri kita sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Itulah potret dari negeri yang kita cintai ini. Indonesia, salah satu negara yang mampu mendapatkan kemerdekaannya tanpa diberi oleh penjajah, melainkan melalui sebuah perjalanan panjang yang sarat dengan perjuangan dan pengorbanan.
Sumpah Pemuda 1928 menginspirasikan kepada kita bahwasanya semangat perjuangan itu masih ada dan terpatri di dalam setiap dada para pemuda saat itu. Sekarang usia Sumpah Pemuda hampir mendekati 8 dasawarsa. Akankah semangat - semangat serta idealisme itu masih membara hingga saat ini ? Sebuah pertanyaan besar bagi kita para pemuda yang seringkali dikatakan sebagai tulang punggung bangsa. Di tengah kemelut konflik dan terpaan krisis yang saat ini menempa negeri Indonesia Raya ini, masih adakah para pemuda yang terpanggil nuraninya untuk kembali bangkit, persembahkan segala potensi, akal, pikiran, dan tenaganya untuk masa depan bangsa ? Sumpah Pemuda yang memberikan titik acu kemerdekaan bangsa di era 1945, ternyata mampu menggerakkan semangat serta semua kekuatan para pemuda untuk bangkit dan berjuang melawan penindasan kolonialisme yang membawa bangsa ke arah keterpurukan. Namun, sekali lagi, dimanakah semangat para pemuda saat ini ? Apakah semangat mereka hanya habis terkikis oleh euforia - euforia zaman yang serba edan ini ? Sepertinya tak salah kalau mantan Ketua MPR kita, Prof. Amien Rais menyindir sikap pemuda yang terjadi saat ini dengan istilah imbas-imbis, sebuah inkonsistensi sikap yang membawa kemunduran dan degradasi di segala bidang.

Apa peran yang dapat kita lakukan ?

Setiap bangsa pasti memiliki gambaran tentang masa depannya. Tidak satupun bangsa yang ada di dunia ini yang tidak memiliki arah pembangunan, sebuah visi masa depan yang mengantarkan sebuah bangsa menemukan jati dirinya. Visi masa depan bangsa tidaklah dapat populis dan tercipta, ketika tidak ada generasi - generasi yang mampu mendobrak paradigma mereka akan suatu masa depan yang cerah, yang berlandaskan kekuatan jiwa dan keyakinan, dan itu bukanlah sekedar rentetan mimpi - mimpi indah sepanjang masa.
Sejarah telah membuktikan, bahwa generasi yang mampu menggelar kekuatan untuk mewujudkan perubahan adalah para pemuda. Kita lihat berbagai peristiwa yang saat ini mampu menggoncangkan peradaban manusia, dengan kiprah pemuda sebagai episode sentralnya. Proses perebutan kemerdekaan negeri kita, dipelopori oleh pemuda. Revolusi perjuangan di Hongaria dengan tragedi Petrofi-nya, pergulatan Che Guevara yang terkenal dengan Hot Blood Countries di Amerika Latin, serta yang tak kalah heroiknya adalah harumnya tragedi reformasi yang mengantarkan enam nama pemuda sebagai pahlawan reformasi. Kalaupun di pikiran kita masih terngiang-ngiang kepahlawanan para pemuda melawan penjajah yang berakhir dengan kemerdekaan 1945, maka tak salah jika kita saat ini berdiri, bangkit untuk meraih kemerdekaan kita yang kedua dalam mengentaskan negeri ini dari segala keterpurukan. Cukup sudah mereka menghancurkan bangsa ini. Saatnya bagi kita untuk sadar, lari mengambil peran, dan menunjukkan semangat serta kiprah nyata kita sebagai seorang architect of change, director of change, agent of change, serta intellectual of change.
Kita renungi sejenak sebuah kalimat yang pernah keluar dari mulut seorang tokoh pemuda, pendidik, serta pelantun semangat perjuangan yang sampai saat ini masih terdengar di telinga kita, Hasan Al Banna :
“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air.. ”

Saatnya pemuda berkiprah, raih kembali semangatnya, salurkan potensi demi kejayaan almamater kita, serta Indonesia Raya !!!

*) Tulisan Pengantar Release Seminar The First STT Telkom Seminar di Seputar Indonesia, STT Telkom Bandung 2006
**) Presiden Mahasiswa BEM-KBM STT Telkom, Bandung


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 00:55, ,




Pemilu Raya, Wacana Perbaikan, dan Kepercayaan Publik

Pemilu Raya, Wacana Perbaikan, dan Kepercayaan Publik
TW Yunianto*

Dalam sejarah peradaban demokrasi, maka Yunani-lah yang pertama kali mendemonstrasikan peran publik terhadap perumusan kebijakan pemerintahan. Melalui pemilihan langsung, masyarakat diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam proses penentuan kebijakan pemerintahan. Hal ini direpresentasikan dengan adanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengusulkan nama – nama yang dianggap layak untuk menjadi pemimpin mereka. Sehingga partisipasi masyarakat saat itu ikut menentukan kebijakan pemerintahan secara langsung. Apalagi penduduk Yunani sedikit jumlahnya, sehingga masyarakat dapat secara langsung menyampaikan aspirasinya kepada penguasa.
Beberapa hari terakhir, kampus kita cukup ramai dengan beragam wacana yang memberikan penekanan terhadap proses demokrasi yang ada di kampus. Masa suksesi kekuasaan yang didahului dengan adanya proses pemilihan langsung (pemilu) menjadi sebuah babak awal yang akan menentukan arah kebijakan pemerintahan mahasiswa di kampus ini, khususnya pemerintahan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) yang nota bene menaungi segenap kepentingan serta aspirasi mahasiswa secara umum. Ada sebuah realitas yang menarik ketika kita membicarakan mengenai suksesi kepemimpinan. Yakni munculnya beberapa mahasiswa pemberani yang mau membangun kampus dengan menjadi anggota parlemen yang tergabung dalam dewan perwakilan mahasiswa maupun pemimpin elemen eksekutif, baik di tingkat KBM (BEM dan DPM), maupun di tingkat Himpunan. Namun ada sebuah realitas yang menarik juga yang senantiasa menyertai proses seremonial demokrasi ini, yaitu tingkat partisipasi publik untuk ikut berperan serta dalam realisasi hajatan demokrasi tahunan ini.
Beberapa kali penulis melakukan benchmark tentang partisipasi mahasiswa terhadap adanya pemilu di kampus – kampus lain, maka ternyata juga didapatkan hasil yang sama. Yaitu minimnya tingkat partisipasi mahasiswa dalam upaya mengantar prosesi demokrasi yang terwujud melalui pemilu raya. Hal itu semakin terlihat ketika proses pencalonan yang hanya diikuti oleh beberapa orang saja. Lantas kemanakah mahasiswa yang lainnya ?
Ketika kita berbicara mengenai demokrasi, sekali lagi kita tidak bisa memisahkan antara kebijakan pemerintahan dengan partisipasi masyarakat. Kalaupun boleh kita mengamati kenyataan yang ada, maka kita dapat menyimpulkan bahwasanya saat ini masyarakat telah kehilangan kepercayaannya terhadap elemen pemerintahan yang umumnya identik dengan individu – individu yang memangku jabatan. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi. Yang pertama adalah tingkat popularitas calon yang menentukan akseptabilitas calon terhadap publik, yang kedua adalah phobianisme masyarakat terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya, dan yang ketiga adalah ketiadaan isu yang mengakibatkan masyarakat terjadi sebuah stagnasi sosial.
Ketika kita membicarakan opini yang pertama yaitu relevansi kepopulisan seorang calon terhadap akseptansi publik, maka kita mendapatkan suatu hipotesa tentang sejauh manakah masyarakat mengenal dengan baik para calon yang ada. Ketika publik mengenal sosok dan kiprah seorang calon dengan baik, maka akan dapat dipastikan setengah dari kepercayaan telah terbangun, apalagi diikuti oleh pengalaman serta track record sang calon sehingga memberikan daya bius tersendiri kepada publik. Popularitas seorang calon selain dipengaruhi oleh track record, maka disana ternyata ada sebuah elemen vital yang ikut serta membangun atau mendongkrak kepopuleran seseorang. Faktor tersebut tak lain adalah visi misi yang selanjutnya dianggap sebagai jargon kampanye. Hal ini dapat dibuktikan dengan sejauh mana sinergisitas visi misi caln terhadap aspirasi masyarakat. Sang calon dapat melakukan studi konvergensi dengan menganalisa realita sosial yang berkembang di masyarakat. Untuk mempelajari apa yang menjadi keinginan dari masyarakat, maka ada suatu langkah yang harus diperhatikan, yaitu faktor internal masyarakat yang meliputi kultur budaya dan tingkat intelektualitas yang kesemuanya akan memberikan rasionalitas strategi mobilisasi dalam upaya pewacanaan politik kepada masyarakat luas.
Ketakutan akan demokrasi, khususnya pemilu, maka kita dapat melihat melalui sejauh manakah pemerintahan sebelumnya mengakomodir segenap aspirasi dari masyarakat. Ketika publik menganggap adanya semacam kegagalan strategi yang berujung pada kekecewaan publik, maka dapat dipastikan masyarakat akan melakukan penolakan secara parsial atas kebijakan tersebut. Masih untung jika hanya kebijakan yang ditolak. Jika sudah terjadi akumulasi kekecewaan massa, maka dapat dipastikan penolakan terjadi tidak hanya di level kebijakan, melainkan mencakup semua strata pemerintahan yang berujung pada revolusi birokrasi, alias pergantian semua sistem dan aparat yang terlibat didalamnya. Upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik jika sudah terjadi kekecewaan tidaklah mudah. Saat ini kita dapat melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat kita. Pemerintah terkesan sangat sulit dalam melakukan transformasi kebijakan dari sebuah bahasa politik menjadi bahasa sosial kemasyarakatan. Tidak sedikit masyarakat yang dapat dikatakan sebagai masyarakat pembangkang (baca:kritis). Hal ini dapat kita amati ketika adanya reaksi penolakan publik terhadap kebijakan pemerintah yang diterbitkan, khususnya kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat. Semua adalah sunnatullah dalam proses legitimasi pemerintahan. Namun, ketika terjadi sebuah yustifikasi formal akan semua kebijakan pemerintahan, maka disitulah diperlukan treatment demokrasi dengan memunculkan sosok amanah yang diikuti dengan pembentukan lembaga – lembaga pemerintahan yang amanah dan kredibel. Karena sebenarnya unsur yang paling penting adalah mengembalikan kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan, bukan mengembalikan kepercayaan terhadap sosok individu yang akan menduduki kekuasaan.
Latar belakang situasi dan kondisi yang terangkum dalam isu – isu sosial merupakan faktor penting yang ikut menentukan partisipasi publik dalam sebuah rekayasa demokrasi. Ketika masyarakat tidak merasa memiliki permasalahan khususnya yang berkaitan dengan permasalahan sosial, maka dimungkinkan ada semacam keengganan tersendiri yang diwakili oleh semacam monotonisasi suara – suara kritis masyarakat. Kita dapat melihat kebelakang ketika era orde baru berkuasa. Kita dapat mengatakan bahwasanya orde baru terlampau pandai dalam meredam segala gejolak sosial. Sehingga ketika terjadi momentum suksesi, tidak ada suatu resistensi apapun yang memberikan wacana bagi masyarakat untuk mengatakan MENOLAK. Ketenangan semu yang terjadi kala itu merupakan hasil dari terlampau kuatnya sistem birokrasi yang berujung pada suatu soliditas kepemimpinan kharismatik. Sehingga situasi yang muncul adalah tidak adanya gejolak sosial sebagai langkah penyikapan terhadap krisis sosial yang terjadi. Apalagi didukung oleh terbelinya suara rakyat yang terwujud melalui adanya suara mayoritas disemua lini pemerintahan, apakah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Saat ini sebuah negeri yang bernama Keluarga Besar Mahasiswa akan menyelenggarakan sebuah seremonial demokrasi, yaitu pemilu raya. Nah.. Ada semacam retorika yang harus kita jawab, yaitu sejauh manakah mahasiswa berperan dalam merealisasikan hak memilih dan hak dipilih mereka ? Satu hal yang harus menjadi pedoman, yaitu akseptansi calon akan berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan mahasiswa. Sekarang saatnya membuktikan bagi para kandidat – kandidat pemimpin kampus untuk menjual (baca:melakukan transformasi visi) diri mereka sehingga kepercayaan publik akan terbeli. Selain itu, perlunya kesadaran dari mahasiswa terhadap wacana perubahan. Yaitu, partisipasi aktif mereka merupakan mata rantai yang tidak akan terputus terhadap langkah perbaikan yang saat ini sedang kita upayakan bersama. Generasi abu – abu adalah generasi yang tidak memberikan kontribusi konkret, namun senantiasa meminta hasil atas sesuatu yang tidak pernah mereka sumbangkan sebelumnya. Sudah saatnya kita bermain statistik mengenai representasi calon pemimpin terhadap jumlah individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Masih layakkah satu orang mewakili seratus orang. Sangat kasihan sekali jika satu kepala harus memikirkan seratus kepala yang lainnya, apalagi masing – masing kepala memiliki karakteristiknya sendiri - sendiri. Kita tidak bisa berlepas diri dari segala permasalahan yang ada, karena permasalahan tersebut ternyata memiliki lingkup yang sama terhadap eksistensi kita di kampus ini. Yang harus kita lakukan adalah sederhanakan dan cari jalan pemecahannya. Namun seringkali kita terjebak dalam sebuah silogisme langkah awal. Apakah berani untuk kalah, atau merasa menang dalam perjuangan yang tidak pernah kita lakukan sama sekali
Salah satu penyebab terperangkapnya manusia dalam penyederhanaan itu bisa jadi karena ketidakmampuannya dalam mengoptimalkan fungsi akal yang telah dianugerahkan oleh Allah swt kepadanya. [Abu Ridha, 2002]
Mari Kita berjuang sukseskan Pemilu Raya KBM STT Telkom 2006...!!!

*) Presiden Mahasiswa, BEM-KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:00, ,