“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Disorientasi peran kepemudaan

Hasil data sensus penduduk tahun 2000 ternyata didapatkan angka 40 % dari total penduduk Indonesia (sekitar 201 juta jiwa) adalah para pemuda. Sehingga boleh dikatakan Indonesia memiliki lebih dari 80 juta pemuda yang saat ini mendiami wilayah dari Sabang sampai Merauke. Di sisi lain, tahun 2003 Depnakertrans RI mengeluarkan data bahwa jumlah penganggur di Indonesia berada pada angka 38 juta jiwa dengan tingkat kenaikan 2,5 juta per tahun, sementara jumlah penduduk usia kerja sekira 170 juta jiwa. Dari data diatas, secara logika dapat kita pastikan bahwa yang menguasai penduduk usia kerja (termasuk juga jumlah penduduk yang menganggur) adalah para pemuda. Sehingga menjadi suatu hal yang ironis ketika kita mendapatkan sebuah kesimpulan akan realita hari ini bahwa kontribusi pemuda yang paling besar terhadap negara kita adalah prestasi di bidang peningkatan pengangguran dengan angka progresivitas sekitar 1.47 % per tahun.
Saya kira begitulah kondisi bangsa kita saat ini. Di tengah kondisi bangsa yang sedang carut marut dengan berbagai musibah dan segala macam ke-apes-an (baca: kesialan) di bidang politik, hukum, keamanan, pendidikan, dan berbagai macam sektor lainnya; ternyata pemuda kita juga ikut bersumbangsih ria dengan ‘kemiskinan peran’, sehingga yang menjadi pertanyaan adalah kira-kira apa yang menyebabkan pemuda-pemuda kita memiliki ‘kemiskinan peran’?
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, alangkah lebih baik ketika kita menjabarkan terminologi ‘kemiskinan peran’. Menurut saya, yang dimaksud dengan ‘kemiskinan peran’ adalah ketiadaan peran-peran pemuda yang mampu memunculkan kesadaran kolektif dalam membangun bangsa. Sementara yang ada saat ini adalah semangat individualisme dalam rangka memakmurkan kepentingan-kepentingan pribadi, serta ketiadaan empati terhadap realitas permasalahan bangsa. Mungkin perasaan-perasaan terhadap kondisi sosial bangsa ada, namun hal itu hanya sebatas simpati yang tidak diikuti dengan signifikansi kontribusi peran. Walaupun terdapat ‘kemiskinan peran’, tetapi kita melihat bahwa terdapat intelektual-intelektual muda, para sarjana, para ‘pemikir’, namun mereka kebanyakan hanyalah manusia yang memikirkan masa depan dirinya sendiri, bukan memikirkan masa depan umat dan bangsanya.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Kira-kira, apa yang menyebabkan terjadinya ‘kemiskinan peran’ kepemudaan?
Sampai saat ini, satu-satunya penyebab yang ada di benak saya adalah karena ‘tidak benarnya’ sistem pendidikan nasional yang kita miliki. Dapat saya katakan, sekali lagi ini persepsi pribadi, bahwa sistem pendidikan nasional kita bukanlah sistem pendidikan barat yang identik dengan kapitalisnya, bukan sistem pendidikan sosialis, bahkan juga bukan sistem pendidikan Pancasila. Sistem pendidikan nasional bangsa kita adalah (maaf) sistem pendidikan sesat. Kenapa terjadi demikian? Secara logika, jika kita mengatakan sistem pendidikan kita menganut pada logika Pancasila, maka seharusnya output dari pendidikan kita akan menghasilkan orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga akan menghasilkan orang-orang yang memiliki kesadaran untuk berperan untuk menjadi manusia yang bermanfaat, baik bagi dirinya, manusia yang lain, juga bagi umat dan bangsanya. Tetapi realitanya tidaklah semanis yang kita katakan diatas. Hasil dari pendidikan nasional kita adalah para koruptor di dunia politik, para penganjur ‘perbudakan’ di dunia pendidik, serta para elit kapitalis di dunia bisnis. Lantas apa dan siapa yang salah? Saya kira tidak tepat jika kita mengatakan yang salah adalah guru kita. Menurut saya juga sebuah alibi murahan ketika kita mengatakan yang salah adalah sistem pendidikan kita, bahkan ketika kita mengatakan yang salah adalah penjajah kita, saya kira itu juga bukanlah sebuah alasan yang cerdas. Saya menyodorkan sebuah alternatif jawaban, bahwa menurut saya yang salah adalah bangsa kita karena kita bukan sebagai bangsa yang suka berpikir. Dari dulu, kita adalah bangsa yang senang dengan wacana budaya adi luhung yang menurut saya identik dengan klenik dan pertumpahan darah dalam memperebutkan harta, tahta, dan wanita. Di sisi lain, kita juga sebagai bangsa yang hobi mengimpor berbagai paham yang membuat bangsa kita tergolong sebagai bangsa-bangsa kelas dua dengan ‘rumah’ negara dunia ketiga, alias bangsa yang bodoh yang mendiami negara miskin. Apakah ini sebagai sebuah ke-apes-an nasib kita, ataukah karena kebodohan kita, atau juga karena orang lain yang lebih pintar?
Negara kita memang banyak menghasilkan kaum-kaum intelektual, sehingga berapa ribu penduduk kita yang bergelar sarjana, bahkan master, doktor, serta profesor. Akan tetapi, kenapa orang-orang intelektual tadi belum mampu memberikan perubahan yang signifikan terkait dengan permasalahan bangsa kita saat ini. Menurut saya, jawabannya adalah masih terdapatnya sedikit para intelektual tersebut yang bersedia ikut memikirkan permasalahan bangsa kita sekarang. Dari sedikit orang tersebut, ternyata masih harus dibagi-bagi lagi, karena disana ternyata masih ada orang-orang hipokrit yang ikut memikirkan bangsa tetapi orientasi mereka ternyata bermuara pada jabatan dan kekuasaan. Kenyataan lain adalah bangsa kita juga terdapat banyak orang salih. Akan tetapi, ternyata kesalihan tadi hanya dimanfaatkan untuk ajang bisnis dan profesi, sehingga muncullah para da’i dan ustadz selebriti.
Kesimpulannya adalah, pemuda kita hari ini terdapat gejala disorientasi peran kepemudaan. Oleh karena itu, dibutuhkan semacam pemahaman-pemahaman khusus untuk menumbuhkan peran-peran kepemudaan yang mampu mengembalikan kemuliaan umat serta bangsa kita untuk bangkit dari segala keterpurukannya, baik moral maupun sosial. Kita membutuhkan para intelektual-intelektual muda yang selain memiliki kecakapan intelektual, juga memiliki kesalihan-kesalihan mental-spiritual yang selanjutnya akan mampu menghasilkan peran-peran kolektif yang dapat mengembalikan kemuliaan umat serta bangsa kita kedepan.
Sesungguhnya, nasib umat dan bangsa ini ada di tangan kita. Walaupun peran-peran tadi adalah pilihan, namun hanya orang-orang yang sadar dan paham saja yang memahami bahwa peran-peran tersebut ternyata sebuah kewajiban. Akhirnya, ketika kita telah memahami akan hakikat peran-peran diatas, maka kegelisahan hati dan pemikiran sebenarnya masih berada dalam taraf menyembunyikan kebenaran bukanlah sebuah peran kepahlawanan pemuda, sampai akhirnya kita wujudkan kegelisahan hati dan pemikiran kita dalam kerja dan usaha untuk membangkitkan kesadaran kolektif bangsa untuk kemudian konsep keadilan dan kemuliaan adalah hak segala manusia, segala umat, dan segala bangsa, termasuk bangsa kita saat ini.

Wallahua’lam


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 09:15, ,




Semua dimulai dari kampus

Dalam sebuah diskusi tentang studi gerakan mahasiswa, saya pernah ditanya oleh salah seorang peserta diskusi tentang harus dimulai dari mana upaya untuk mengatasi krisis multidimensi yang saat ini melanda negeri kita.
Memang sangat kompleks jika kita merunut satu demi satu permasalahan yang saat ini terjadi di negeri yang kaya akan potensi ini. Sehingga menyitir perkataan Hendarman Supanji (Plt. Jampidsus Kejagung), negeri kita adalah negeri para mafia. Bagaimana tidak, saat ini hampir semua lini yang ada dalam sistem pemerintahan kita telah dikuasai oleh para mafia, mulai dari mafia politik, mafia pendidikan, mafia ekonomi, hingga mafia hukum. Semua telah terjalin rapi dalam sebuah jalinan lingkaran setan yang tak terpisah satu sama lain. Itulah negeri kita.
Kompleksnya permasalahan yang saat ini mendera negeri kita menimbulkan multi-intepretasi. Sehingga, ada segolongan orang yang berkecenderungan kepada permisivisme, alias memberikan yustifikasi bahwa permasalahan yang saat ini terjadi tak lain karena takdir Tuhan. Ada juga golongan yang apatis yang lebih bersikap terserah atas segala sesuatu yang akan terjadi. Mau baik silakan, mau buruk ya tak masalah. Ada juga golongan orang-orang pesimis yang saat ini mulai berpandangan negatif terkait dengan permasalahan yang ada. Golongan ini terdiri dari orang-orang yang sudah muak dan jengkel dengan segenap permasalahan yang terjadi. Namun demikian mereka menyerah dikarenakan sudah merasa jenuh dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk perbaikan bagi negeri ini.
Memang permasalahan kita cukup kompleks, namun bukan berarti tak dapat diselesaikan. Di tengah gelombang kapitalisme yang digaungkan Amerika yang cukup mempengaruhi kondisi internal negeri kita, juga ditambah lagi berbagai bencana dan sederet kasus ‘kejahatan politik’ yang dirasa tak mampu lagi untuk ditangani dengan tangan sendiri. Akan tetapi kita tidak bisa menyerah dengan kondisi. Seburuk apapun negeri kita, ya inilah negeri kita, Indonesia. Memang boleh kita mengatakan bahwa kerusakan ini setidaknya juga akibat ulah bangsa kita sendiri, khususnya para pemimpin-pemimpin kita yang korup. Namun jika kita masih berdebat pada lingkaran permasalahan, maka dapat dipastikan kita tidak akan pernah mendapatkan solusi yang tepat untuk keluar dari segenap masalah yang saat ini ada.
Maka dari itu, ketika ada sebuah pertanyaan seperti diawal tulisan ini terkait dengan dari mana kita akan memulai memperbaiki keterpurukan kondisi bangsa kita, maka jawabannya adalah dimulai dari kampus. Kenapa demikian? Setidaknya ada dua opini yang dapat saya berikan atas tesis saya tersebut. Yang pertama, bahwa kampus adalah wadah masyarakat intelektual, khususnya mahasiswa. Seorang Indonesianis, Ben Anderson mengatakan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah para pemudanya. Memang sejarah telah mencatat bahwa hampir dalam setiap proses perubahan yang terjadi di negeri kita selalu tak pernah lepas akan peran dari para pemuda/mahasiswa. Oleh karena itu, ketika kita bicara masalah kampus, setidaknya dari sinilah diharapkan muncul peran-peran perubahan yang mampu dimainkan oleh para kaum intelektual tersebut yaitu mahasiswa terkait dengan adanya kejenuhan sosial yang saat ini terjadi. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi motor dan inspirator perubahan, yang selanjutnya akan mampu mengakselerasinya ketika bola perubahan yang digelindingkan mampu menjadi isu bersama, isu mahasiswa, pemuda, dan masyarakat pada umumnya. Yang kedua, bahwa mahasiswa adalah investasi jangka panjang. Harus kita pahami bersama bahwa eksistensi pemuda adalah sebagai iron stock kepemimpinan bangsa masa depan. Oleh karena itu, dibutuhkan semacam pemahaman dan pembekalan kualitatif terkait dengan fungsi-fungsi dan peran-peran kepemudaan. Menjadi hal yang sangat merugikan jika para pemuda dan mahasiswa yang terdapat dalam suatu negara tidak memiliki sebuah pemahaman akan peran dan fungsi mereka, sehingga keberadaan mereka tak ubahnya sebagai beban sosial yang hanya mampu menaikkan angka pengangguran dan kemiskinan, sementara di masa depannya mereka tidak memiliki gambaran akan visi dan aksi untuk membangun kembali peradaban bangsa yang mulia, yang menjunjung tinggi keadilan dan hakikat kemanusiaan.
Kita harapkan dari kampus, sebuah miniatur peradaban, perubahan itu akan terwujud. Namun hanya bagi para pemuda/mahasiswa yang memiliki kesadaran dan semangat kepeloporan saja yang akan membuat sejarah mencatat kembali kiprah-kiprah mereka dalam mempersembahkan karya-karya bagi kemaslahatan umat manusia.
Perubahan tidaklah turun dari langit, melainkan goresan-goresan tinta perjuangan kita di atas lembar sejarah umat manusia.

Wallahua’lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 21:32, ,




Rekayasa sosial

Sore tadi saya terlibat diskusi yang cukup menarik tentang rekayasa sosial dengan para dosen serta beberapa rekan aktivis mahasiswa. Kajian rutin yang diselenggarakan oleh rekan-rekan dari Bandung Raya Institute (BRAIN) sore tadi cukup menarik dan dinamis yang dihadiri oleh tiga orang dosen senior, yaitu Hadi Suwastio, Ir., MPhil., PhD.; Wiyono, Ir., MT.; serta Mahmud Imrona, Ir., MT.

Dari diskusi disepakati bahwa tahap awal dari sebuah upaya rekayasa sosial dimulai dari rekayasa pemikiran/intelektual. Hal ini disebabkan karena sisi pemikiran merupakan cikal bakal terbentuknya ideologi, dimana ideologi nantinya akan berfungsi sebagai prinsip kerja/gerakan. Rekayasa pemikiran menjadi satu hal sangat penting karena disinilah fondasi gerakan berawal. Tanpa adanya rekayasa pemikiran, maka niscaya rekayasa sosial hanyalah menjadi wacana murahan saja. Output dari rekayasa pemikiran inilah yang nantinya akan menimbulkan keresahan ideologi yang ujungnya memunculkan tanggung jawab akan adanya kompleksitas permasalahan yang ada.

Sejarah telah membuktikan bahwa proses rekayasa sosial dimulai dari tahapan pembentukan wacana dan pola pikir. Kita semua pun juga menyadari bahwa konsistensi sebuah gerakan akan tergantung dari kekuatan ideologi dimana gerakan itu berakar. Kekuatan ideologi itulah yang nantinya akan membangun sebuah kolektivitas gerakan yang massif dimana setiap unsur yang tergabung dalam gerbong gerakan tersebut memiliki peran masing-masing.

Salah satu poin penting dalam sebuah rekayasa sosial adalah terjadinya rekayasa individu yang nantinya akan mengatur arah gerak perubahan. Dalam setiap proses, apapun bentuknya, dapat dipastikan membutuhkan motor atau inisiator, begitu pula dalam sebuah kaidah pergerakan atau rekayasa sosial. Untuk itu, rekayasa sosial ternyata tidak hanya membuat orang untuk tersadar dari kondisi ‘kecenderungan untuk aman’, tetapi juga membuat orang untuk mampu merekayasa diri pribadinya masing-masing untuk menjadi motor perubahan.

Setidaknya ada satu kesimpulan yang dapat diambil dari perdebatan-perdebatan yang kita lontarkan, bahwa bagian yang terpenting dari rekayasa sosial adalah membuat masing-masing diri kita untuk mampu merekayasa diri menjadi pemimpin-pemimpin di zaman kita. Rekayasa sosial bukanlah sebuah tren pergerakan, namun lebih dari itu, bahwa rekayasa sosial adalah sebuah proses yang mengantarkan setiap manusia untuk mampu mengambil peran dalam rangka mewujudkan perubahan, dan tentunya perubahan tersebut adalah perubahan ke arah perbaikan. Bukan sebaliknya.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:47, ,




Kepemimpinan. Antara kedewasaan dan kepahlawanan

Setiap orang memiliki potensi yang luar biasa. Namun tidak setiap orang memiliki visi luar biasa. Sehingga dalam hidupnya-pun tidak pernah menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dalam sejarah umat manusia, masing-masing periode kepemimpinan memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Sehingga itulah yang sering disebut dengan corak kepemimpinan. Memang kita sering mengatakan bahwa itu semua tergantung dengan kondisi lingkungan dimana seorang pemimpin tersebut berada. Sebagai contoh yaitu cerita kepemimpinan yang terjadi pada masa perjuangan yang penuh dengan pengorbanan, heroisme, serta cerita-cerita yang penuh dengan kemenangan demi kemenangan dalam berbagai pertempuran. Sebaliknya, kepemimpinan yang terjadi di zaman ‘merdeka’ seperti kondisi di negeri kita sekarang ini, kepemimpinan identik dengan jabatan, kekuasaan, kehormatan, bahkan materi serta berbagai penyakit ‘penyimpangan moral politik’ yang amat sangat menyedihkan.

Sehingga patut untuk kita pertanyakan terkait dengan dua hal tersebut, apakah posisi mereka berbeda? Sekali lagi kita akan mengatakannya ‘TIDAK’. Namun jika kita telaah untuk kita renungi, setidaknya akan terdapat perbedaan peran yang mereka lakukan, yaitu sesuatu yang terkait dengan kedewasaan kepemimpinan yang mereka perankan.

Sering menjadi wacana di tengah kita, bahwa konteks kepemimpinan akan selalu identik dengan visi. Memang benar. Tetapi menurut saya, tidak hanya sekedar visi yang nantinya akan menuntun seorang pemimpin untuk memiliki sebuah kedewasaan kepemimpinan. Hal lain yang menurut saya berpengaruh adalah, pertama, sikap kesiapan yang menunjukkan kemauan seseorang untuk memiliki jiwa kepemimpinan. Kemauan disini merupakan representasi dari niat yang akan memberikannya orientasi dalam rangka mengemban amanah kepemimpinan. Untuk selanjutnya, orientasi tersebut akan menuntunnya menuju sikap kejujuran dan keikhlasan yang setidaknya menjadi kunci utama bagi seorang pemimpin dalam membuka pintu keberkahan. Mungkin saja seorang pemimpin dianggap sukses di era kepemimpinannya, tetapi satu hal yang patut untuk dipertanyakan juga adalah apakah kepemimpinan yang dijalankannya mampu membawa keberkahan bagi dirinya dan bagi orang yang dipimpinnya atau tidak? Sehingga untuk kasus yang satu ini, hanya yang bersangkutan dan Sang Penciptanya-lah yang mampu mengetahuinya.

Kedua, selain kemauan, setidaknya ada semacam prinsip yang harus dia pegang teguh. Dengan prinsip tersebut diharapkan seorang pemimpin akan memiliki komitmen dalam menjalankan kepemimpinannya. Komitmen adalah sesuatu yang berat dimana hal ini akan sangat menguji ketahanan jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Ingat, bahwasanya bagi seorang pemimpin, adanya masalah adalah sebuah berkah dan tantangan. Kenapa? Karena dari hal inilah kekuatan kepemimpinan akan diuji. Masalah bukanlah sesuatu yang harus dihindari bagi seorang pemimpin. Sehingga, masalah adalah menjadi semacam makanan yang harus dicari, dinikmati, diambil, serta dipecahkan. Itulah yang nantinya disebut sebagai prestasi kepemimpinan.

Seorang pemimpin yang hanya punya kemauan, kemampuan, visi, serta konsistensi, ternyata belum mampu memberikan jaminan bagi sang pemimpin tersebut untuk bisa merasakan kenikmatan dalam kepemimpinannya. Sehingga formulasi ketiga dalam teori kepemimpinan adalah adanya inovasi yang akan mengantarkan seorang pemimpin dalam rangka membuat sesuatu karya yang berbeda dan bernilai guna. Sehingga dari inovasi tersebut akan melahirkan kepemimpinan pahlawan, dimana dia mampu menghasilkan karya-karya yang akan menjadi ciri khas dimasa kepemimpinannya. Kepahlawanan dalam kepemimpinan amat sangat diperlukan sebagai catatan sejarah yang akan mampu membangkitkan motivasi kerja yang bersumber dari warisan kepemimpinan masa sebelumnya. Menjadi pemimpin pahlawan bukanlah sebuah orientasi yang ditujukan hanya untuk dikenang serta dielu-elukan namanya sebagai seorang pemimpin besar, namun lebih dari itu, kisah kepahlawanan dalam kepemimpinan adalah sebuah prestasi besar yang akan kita persembahkan sebagai hadiah dalam perjamuan antara kita dengan Rabb kita nanti, Sang Rahman Rahiim yang senantiasa tidak pernah lengah dalam menjaga segenap macam-ragam ciptaan-Nya.

Akhirnya, setiap kita adalah para pemimpin peradaban yang diberikan amanah untuk merekonstruksi peradaban agung yang pernah berdiri tersebut. Sehingga, kesempatan untuk menjadi pemimpin pahlawan sangatlah terbuka bagi kita, manusia yang telah diberi akal, hati, dan jasad, sebagai potensi besar untuk menciptakan karya-karya besar bagi peradaban manusia serta kemaslahatan alam semesta ini.

Wallahua’lam


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 02:05, ,




Para perindu surga

Beberapa saat yang lalu, sewaktu membuka sebuah pesan e-mail, ada seorang teman yang menanyakan kepada saya terkait dengan sebuah istilah yang sering disebut dengan ‘Aktivis Dakwah Kampus’. Mungkin bagi beliau istilah tersebut adalah sesuatu yang asing, atau mungkin juga beliau hanya ingin sekedar ingin tahu istilah tersebut dari seseorang yang biasa, yang tidak begitu tahu-menahu mengenai apa yang dimaksud dengan aktivis dakwah.
Menurut saya, sekali lagi ini perspektif pribadi, aktivis dakwah adalah seseorang yang tidak pernah merasa nyaman dengan kondisi keimanannya saat ini. Aktivis dakwah bukanlah sosok malaikat yang tidak pernah salah, bertugas menyampaikan wahyu dan risalah. Tetapi aktivis dakwah adalah manusia biasa yang tidak pernah rela ketika dunia ini dikuasai oleh kebathilan.
Jangan pernah menganggap diri kita menjadi sosok aktivis dakwah hanya karena menjadi pengurus organisasi keislaman. Saya kira aktivis dakwah bukanlah status, pangkat, dan jabatan; tetapi lebih dari itu, aktivis dakwah adalah amanah fithrah kita sebagai makhluk yang lemah, dimana kita tiada daya tanpa pertolongan Allah, dan hanya kepada-Nya kita akan kembali.
Cukuplah satu menjadi pegangan, bahwa iman bukanlah suatu perkara yang selesai ketika kita sembunyikan dalam hati kita saja, namun suatu harta yang harus kita tunjukkan bahwa disanalah Allah akan senantiasa bersama kita. Dakwah yang konkret adalah ketika kita mencoba dan mencoba untuk selalu memiliki iman sehingga iman tersebut akan senantiasa terwujud dalam pikiran kita, perkataan kita, serta sikap dan perbuatan kita.
Ketika aktivis dakwah dijadikan sebuah gelar, maka dimata Allah-lah segala kemudharatan itu kembali, dan Allah juga tidak butuh kemudharatan-kemudharatan tersebut dari tangan kita. Saya kira, janganlah kita sampai menjebakkan diri dalam lingkaran status dan kedudukan.
Ketika para sahabat yang mulia nantinya ketika dihisab oleh Allah akan datang dengan menunjukkan segala prestasi amal salihnya dalam membangun peradaban umat ini, maka ketika kita dihisab oleh Allah, setidaknya kita juga akan mampu membawa amal-amal kita, prestasi-prestasi kita sewaktu hidup di dunia; walaupun amal itu hanya sedikit, namun dari amal yang sedikit itulah yang akan dapat meninggikan kedudukan kita di mata Allah untuk bisa disandingkan dengan para Rasul, Nabi, Sahabat, serta orang salih lainnya. Itulah amal shalih, dimana keimanan menjadi urusan kita dengan Allah, sedangkan amal salih adalah urusan kita dengan umat yang berarti usaha kita dalam mewujudkan kemaslahatan bagi umat ini.
Kapan amal salih itu menjadi karya? Saya kira, ketika dakwah menjadi risalah yang kita junjung tinggi, pahami, amalkan, dan tegakkan.
Dakwah bukanlah status, simbol, pangkat, pekerjaan, dan lain sebagainya. Akan tetapi dakwah adalah amanah. Aktivis dakwah bukanlah sosok malaikat, tetapi dia hanyalah manusia biasa, ketika salah segera sadar dan bertaubat, sedangkan dalam serangkaian hidupnya senantiasa diisi dengan kerja-kerja sebagai rangkaian sarana investasi kebaikan pembuka kunci surga. Aktivis dakwah pun juga bukanlah manusia-manusia asing yang hanya mau berinteraksi dengan manusia asing lainnya. Aktivis dakwah adalah manusia biasa yang senantiasa mau membuka diri dan berkomunikasi dengan sesama, apakah itu manusia yang istimewa atau manusia yang hina dina, manusia yang beradab atau bahkan manusia yang biadab sekalipun. Mereka tidak memilah-milah saudara, karena orientasi mereka hanyalah menunjukkan kebenaran dan kebaikan, untuk selanjutnya, Allah-lah tempat segala sesuatu itu berasal.
Mungkin kita tidak pernah mendapat gelar 'aktivis dakwah', tetapi niscaya Allah tidak akan pernah lalai mencatat amal salih dari setiap hamba-Nya, walaupun amal itu hanyalah menyingkirkan duri dari jalanan yang lebar dan panjang, dimana kecilnya duri terlihat bias oleh mata.

Seringkali niat baik tidak dinilai oleh orang lain sebagai sebuah kebaikan.
Semoga kita senantiasa memahami, menyadari, dan bersegera untuk mengambil peran-peran yang mulia itu....

Akhukum fillah,

twyunianto


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 00:59, ,




Ambivalensi ideologi kepemimpinan

Bagi saya, eksistensi mahasiswa sekarang tak lebih dari sekedar status kaum elit intelektual. Mengapa? Menurut saya, mereka tak lebih dari manusia-manusia muda yang terkurung normativitas intelektual, sehingga menurut saya mereka hanya sebatas ‘buruh-buruh intelektual’. Memang mereka memiliki potensi yang besar, namun mereka seringkali tidak menyadari akan adanya potensi-potensi itu. Mereka sering mengatakan sebagai pemuda-pemuda pemimpin masa depan. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran rasa dan hanya cenderung sebagai pengetahuan belaka yang bersumber dari logika-logika akal dan pemikiran.
Peran pemuda menurut saya bukanlah peran-peran pembelajaran saja. Akan tetapi sebuah peran yang disana terdapat kerja-kerja besar yang akan menuntun manusia menuju kemuliaan peradaban. Kelompok pemuda yang seharusnya identik dengan arus-arus perubahan, namun sekarang mereka tak lebih sebagai kaum manja yang harus dibangunkan dan disadarkan.
Kepemimpinan yang mereka pahami hanyalah sebatas anugerah dan status, bukan merupakan hakikat kepeloporan yang identik dengan inisiatif dalam mengambil peran. Mereka lebih senang untuk menunggu daripada memulai. Sehingga, ketika kepemimpinan yang terbentuk dari ideologi menunggu tadi hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin karbitan.
Pengertian kepemimpinan yang sebatas status menjadikan mereka hanya mengejar nilai dan kedudukan saja, untuk selanjutnya peran-peran kepemimpinan tidak pernah terlintas di benak mereka. Hasilnya, mereka lebih menyukai kepemimpinan sebagai prestasi yang akan membawa mereka kepada posisi yang terhormat, bukan merupakan pemahaman untuk berkontribusi dan kemampuan menciptakan.
Kedewasaan berpikir mereka bukanlah merupakan kesadaran dalam mengambil peran. Namun kesadaran yang menuntun mereka untuk berlomba-lomba dalam merebut kursi dan kekuasaan. Peran yang mereka pahami hanya sebatas status, bukan kontribusi. Pemikiran yang ada di benak mereka bukanlah pemikiran yang mendewasakan, namun hanyalah pemikiran yang mengedepankan logika tanpa rasa dan kesadaran.
Memang mereka memahami status mereka sebagai masyarakat terdidik. Akan tetapi, pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran untuk mengambil peran. Mereka memahami kondisi tersebut hanya sebatas pengetahuan. Keyakinan-keyakinan yang mereka miliki bukanlah keyakinan yang akan membawa perbaikan kolektif bagi kondisi sosialnya, namun hanya sekedar perbaikan bagi dirinya pribadi.
Mereka mengumpulkan ilmu sebagai usaha dalam meraih status, bukan dalam kerangka menyusun kesadaran yang akan menuntun mereka untuk mengambil peran-peran perubahan. Agent of change hanyalah sebuah wacana murahan, dimana hal itu dipahami sebagai sebuah slogan yang tidak diikuti dengan upaya untuk mewujudkan. Memang, ilmu demi ilmu telah banyak yang mereka kuasai, namun hal itu tidak lebih dari sekedar menumpuk barang baru di sebuah gudang tua sehingga tak lebih dari kesia-siaan.
Mereka memahami setiap diri mereka sebagai pemimpin-pemimpin masa depan. Namun ketika mereka hanya memahami peran-peran kepemimpinan tersebut hanya sekedar kepemimpinan pribadi dan sebatas status, saya kira itu bukanlah ideologi kepemimpinan, tetapi itu adalah nafsu untuk menjadi pemimpin-penguasa.
Masihkah kita menyadari akan adanya ambivalensi ideologi kepemimpinan yang ada di benak kita? Ketika kita sadar, mari kita mulai memahami bahwa kepemimpinan adalah serangkaian dari kepeloporan, bukanlah status yang akan membawa kita kepada sebuah kehormatan pribadi sehingga hasilnya adalah adanya disparitas antara pemimpin dan pelayan.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 09:05, ,




Egoisme suami-istri

Beberapa hari yang lalu, ada seorang kawan yang meminta saran terkait dengan konflik yang saat ini berlangsung di keluarganya, dimana terjadi pertengkaran diantara kedua orang tuanya. Beliau menyampaikan bahwa pertikaian itu berawal dari masalah sepele, hanya berawal dari segelas teh manis. Namun ternyata hal tersebut malah berujung dengan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibunya, sehingga sudah dua pekan kedua orang tuanya pisah rumah.

Fenomena konflik sepertinya memang menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi dalam sebuah rumah tangga. Apakah itu antara suami dengan istri atau antara anak dengan orang tuanya. Biasanya, konflik dalam rumah tangga berawal dari hal-hal yang tidak esensial, namun hal itu menjadi meradang karena tidak adanya pemahaman antara kedua-belah pihak yang berseteru.

Terkait dengan kasus di atas, menurut saya dibutuhkan sikap bijaksana yang harus dimiliki oleh masing-masing pihak, yaitu antara suami dan istri. Namun kenyataannya, seringkali antara kedua belah pihak yang bertikai tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar. Jika hal ini masih menjadi pegangan, maka dimungkinkan sekali konflik yang terjadi tidak akan pernah selesai.

Komunikasi yang efektif dan empatif sangat mutlak dibutuhkan dalam sebuah rumah tangga untuk menciptakan suasana yang harmonis. Bersatunya anak manusia dalam kerangka rumah tangga adalah untuk menciptakan keterpaduan sehingga menghasilkan keharmonisan keluarga. Memang setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hidup bersama dalam rumah tangga sejatinya adalah untuk menyatukan kelebihan dan melengkapi kekurangan antar-pasangan dan komponen yang ada di dalamnya, bukan malah mencari pembenaran sikap masing-masing pihak.

Satu hal yang menurut saya harus dihindari dalam rumah tangga yaitu perceraian. Jika memang secara syar’i permasalahan rumah tangga tidak masuk dalam kategori fatal, maka saya kira tidak ada alasan bagi setiap pasangan untuk berpisah, apalagi bagi mereka yang sudah dikaruniai anak. Ingat, bahwasanya orang tua adalah cerminan teladan bagi anak-anaknya. Jika orang tua tidak bisa memberikan contoh, biasanya tercermin dari masih kentalnya egoisme masing-masing pihak, maka saya kira hal itu akan menjadi preseden buruk yang bisa menghancurkan bangunan harmonisme sebuah rumah tangga. Setiap perilaku dan sikap yang tercermin dalam diri orang tua akan senantiasa terekam dengan jelas oleh memori buah hatinya. Jika orang tua tidak bisa memberikan contoh, memaksakan ego-nya masing-masing, maka kemudian dapat dipastikan anak-anaknya juga akan terseret kedalam lingkaran konflik yang tidak saja akan berdampak ketidakpercayaan mereka terhadap orang tua, tetapi secara psikologis juga akan mampu menyebabkan trauma yang berkepanjangan, sebagai contoh adalah ketidakpercayaan sang anak terhadap institusi rumah tangga, takut untuk menjadi seorang suami/istri, takut untuk menjadi orang tua, serta takut untuk membangun rumah tangga hanya karena pengalaman pahit yang berawal dari keretakan hubungan yang terjadi diantara kedua orangtuanya.

Maka kemudian, sepertinya harus dipikirkan berkali-kali bagi setiap pasangan, apalagi yang sudah dikaruniai keturunan, dalam menyikapi sebuah konflik yang terjadi. Jangan terlalu mudah untuk menyatakan cerai. Yang perlu untuk diingat adalah ketika perceraian akan menjadi pilihan, maka perlu dipertimbangkan kembali terkait dengan bagaimana nasib anak-anak mereka nantinya? Siapa yang akan mengasuhnya? Akankah anak-anak masih menaruh kepercayaan terhadap kedua orang tuanya? Jika nantinya anak-anak tidak lagi menaruh kepercayaan kepada orang tuanya, maka bukankah anak-anak adalah investasi surga? Jika kita tidak mampu mengelolanya, maka kemudian dipastikan kita akan menjadi orang yang merugi. Perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan, namun sangat dibenci oleh Allah.

Terakhir, keputusan cerai mungkin sangat mudah untuk dikatakan. Sebuah keputusan yang sarat konflik, spekulatif, serta mengandung banyak resiko. Tetapi menurut saya, resiko atau akibat yang akan ditanggung tidak sebanding dengan alasan atau sebab yang menjadikan perceraian sebagai sebuah pilihan. Apakah kita mau menggadaikan surga kita hanya karena konflik beberapa menit saja? Bilakah kita pertimbangkan kebahagiaan surga yang tersingkir hanya karena segelas teh manis? Sekali lagi, saya kira itu bukanlah sesuatu yang proporsional untuk masuk ke dalam logika kita, apalagi kita sebagai seorang yang cukup dewasa yang seharusnya sudah mampu menganalisis segenap masalah yang terjadi dalam hidup kita.

Sebuah kekeliruan yang terjadi di lingkungan sosial kita, yaitu ketika perceraian dianggap sebagai sebuah trend dan mode. Gonta-ganti pasangan sebagai sebuah gaya hidup. Nambah pasangan menurut saya bukanlah sebuah masalah asal sesuai dengan koridor syar’i, tetapi jika gonta-ganti pasangan, saya kira itu menjadi sebuah permasalahan yang menyedihkan.

Nafa’ni wa iyyakum.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:59, ,




Keresahan ideologi

Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan seorang teman. Ada sebuah istilah yang saat itu keluar di tengah-tengah diskusi kami. Keresahan ideologi. Pada intinya, maksud dari keresahan ideologi yang menjadi point dari diskusi kami lebih bermakna adanya sebuah ganjalan perasaan terkait dengan kondisi sosial kontemporer, dimana terdapat kesenjangan sosial yang berujung pada disharmonisasi perikehidupan masyarakat. Memang, jika kita lihat secara etimologis keresahan ideologi akan bermakna lain. Akan tetapi, jika kita lihat dari sudut pandang definisi rasa, setidaknya terdapat kedekatan makna.

Kebanyakan orang saat ini dapat dikatakan merasa nyaman dengan kondisinya masing-masing. Yang kaya, nyaman dengan hartanya, sementara yang miskin nyaman dengan jaminan untuk dapat makan hari ini, sementara esok hari ya dipikir esok hari. Sehingga dapat dikatakan, jarang orang kaya merasa tidak nyaman ketika melihat orang lain tidak bisa makan karena memang orang kaya tersebut tidak pernah merasakannya, kalaupun mereka sempat merasakannya, hal itu dianggap sebagai kesuraman masa lalu saja. Di lain sisi, orang miskin pun juga tidak merasa risau melihat saudaranya yang lain tidak bisa makan karena mereka hanya memikirkan perut mereka sendiri. Salah sendiri punya perut nggak diurusin. Emang gua pikirin...!

Hasil dari adanya kondisi apatisme masyarakat tadi adalah semakin lebarnya kesenjangan sosial yang terjadi. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Sementara bagi kaum intelektual, yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh. Sehingga ada semacam anekdot orang miskin dilarang mikirin negara, karena kalau mikirin negara, mereka akan berpikir hanya untuk perut. Sementara, ada juga stigma orang pintar dilarang mikirin negara, karena kalau mereka mikirin negara, mereka akan mudah dipolitisasi oleh penguasa, sehingga ujung-ujungnya seperti nasib anggota KPU yang saat ini mendekam di penjara. Lantas, siapa yang boleh mikirin negara?

Ujung-ujungnya ditengah kegalauan kesadaran nalar bangsa, maka koruptorlah yang saat ini dianggap paling pinter ngurus bangsa. Sementara, ideologi rakyat dibuat permisif dan apatis. Mereka dibuai dengan rasa kenyamanan dan keamanan. Asal harga beras murah, harga bensin murah walaupun semua itu disubsidi dengan hutang, maka rakyat akan menjadi diam. Itulah kenyamanan ideologi yang sementara ini dialami oleh sebagian bangsa kita.

Demikian juga para kaum-kaum intelektual. Mereka pun juga dibuat merasa nyaman dengan luasnya lapangan kerja, pendidikan murah walaupun tidak bermutu. Tetapi sementara untuk bangsa kita, kaum intelektual disuap dengan metodologi pendidikan yang bertujuan untuk membuat mereka memiliki ketinggian harkat secara materi. Dan itulah kebanyakan orientasi pendidikan kita yang hanya membuat manusia pintar, tetapi tidak cerdas. Mereka memang golongan kaum pemikir, tetapi mereka sarat dengan kerapuhan nurani. Mereka bisa membedakan antara keniscayaan dan kemustahilan, tetapi tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. Semua teori dipelajarinya, sementara mereka tidak mengerti landasan filosofis dari segala macam ragam teori yang mereka hafalkan.

Terakhir, untuk membangun bangsa ini tidak dibutuhkan gelar sarjana saja, tetapi juga kecerdasan nurani yang membawa kita mampu merasakan segenap permasalahan yang terjadi di lingkungan kita. Banyak orang pandai tetapi egonya luar biasa. Namun hanya sedikit para dermawan sederhana yang mau berbagi dengan sesama. Intinya, keresahan ideologi-lah yang awalnya memberikan jalan bagi para pendiri republik ini sehingga kemerdekaan dapat dicapai dengan gemilangnya. Kalaupun kita ingin kembali membangun negeri ini, maka marilah kita bersama-sama menikmati hidangan keresahan ideologi. Selamat menikmati !!!


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 07:31, ,




Dasar mahasiswa autis

Pagi tadi ketika saya sedang ngobrol dengan seorang tukang parkir kampus, tiba-tiba datang seorang mahasiswa yang ingin mengambil motornya. Awalnya, saya menganggap peristiwa tersebut adalah hal yang biasa saja. Namun alangkah kagetnya ketika melihat sikap sang mahasiswa yang terlihat angkuh sewaktu menyerahkan kartu parkir kendaraan bermotor. Terbayang di benak saya, apakah menurut dia tukang parkir itu robot sehingga layak untuk diacuhkan begitu saja? Memang dia hanya tukang parkir, tetapi paling tidak dia juga manusia yang mempunyai hak itu dihormati. Memang secara status sosial mereka (maaf) tergolong rendah, tetapi bukan berarti mereka dapat seenaknya saja diperlakukan begitu saja karena mereka masih punya harga diri. Mayat saja masih punya kehormatan sehingga harus kita jaga aibnya, apalagi manusia yang secara fisik masih bergerak dan bernyawa!!

Beberapa peristiwa sejenis juga saya dapatkan di berbagai kesempatan. Seringkali orang merasa tinggi dan terhormat, sehingga mereka melihat orang lain dengan sebelah mata. Akan tetapi, jika mereka para kaum intelektual (baca: mahasiswa) melakukan hal yang serupa, saya kira itu sebuah (maaf) ketololan. Saya sepakat jika mahasiswa adalah golongan elit karena terpelajar. Tetapi saya tidak sepakat jika dengan statusnya tersebut, mahasiswa dapat berlaku dan berbuat seenaknya tanpa melihat nilai dan norma. Di tengah arus permisivitas kaum mahasiswa terhadap segala bentuk tribulasi moral dan sosial, ternyata diperparah lagi dengan adanya sikap autisme yang mencerminkan mereka sebagai ‘manusia-manusia aneh’ yang sepertinya tidak layak untuk hidup sebagai makhluk sosial. Kalaupun mereka sebagai kaum intelektual, maka sudah seharusnya mereka mampu menganalisis segala macam kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebagai ekspektasi dari berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Artinya, saya kira mereka pun juga tidak mau menjadi orang yang tidak dihormati, tetapi kenyataannya mereka tidak mau menghormati orang lain.

Subjektif saya, kultur mahasiswa saat ini lebih cenderung mementingkan ego-nya masing-masing. Tidak ada kepekaan sosial yang selanjutnya akan dapat terejawantah dalam sebuah pranata sosial yang harmonis. Saya tidak yakin jika mahasiswa-mahasiswa tersebut, yang notabene berada pada golongan kaum elit intelektual, untuk kedepannya mampu membuat arus perubahan ke arah perbaikan. Boro-boro membuat perubahan sosial, merubah dirinya sendiri saja tidak bisa apalagi membuat perubahan sosial yang konteksnya lebih luas dan massif.

Saya jadi berkesimpulan, mungkin saja kerusakan tata sosial yang terjadi saat ini akibat dari adanya sikap autisme kita sebagai mahasiswa terhadap lingkungan sosial kita, sehingga memunculkan paham apatisme terhadap segala macam permasalahan sosial yang terjadi. Maka, saya pun dapat mengatakan bahwa terkait dengan kasus ini, ada atau tidak ada mereka, sepertinya tidak akan ada pengaruh bagi dunia ini. Daripada membebani dunia ini dengan perilaku mereka yang semakin hari menunjukkan disharmonisasi kehidupan sosial, maka lebih baik enyah saja mereka dari kehidupan ini!


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 17:12, ,




Membangun kolektivitas gerakan

Kemarin saya terlibat sebuah diskusi yang cukup menarik dengan rekan-rekan (mantan) aktivis gerakan mahasiswa ’77, ’98, serta beberapa aktivis mahasiswa era 2000-an dimana saya termasuk didalamnya. Memang dialog lintas-generasi tersebut baru pertama kali terjadi, dimana sebelum-sebelumnya hanya terjadi melalui pertemuan-pertemuan sporadis saja. Suasana terkesan sangat akrab dan hangat, meskipun beberapa diantara kami ada yang sudah bergelar doktor serta ada pula yang masih (terpaksa) menyandang gelar sarjana (muda) (termasuk saya!!!) dan masuk dalam wilayah politik praktis.

Awalnya kita memang mencoba concern untuk membicarakan tentang permasalahan mendasar Polhukkam Jawa Barat, tetapi kemudian diskusi kami berlangsung mengalir sehingga dinamisitas diskusi sangat kami rasakan. Disitu kami menikmati menu logika-logika bantahan bermutu yang mengalir sangat naratif.

Kajian polhukkam menjadi kajian rekayasa gerakan yang kemudian kami sepakati sebagai awal dari adanya sebuah proses perubahan. Dinamika politik yang terjadi di negeri kita seolah tak lebih dari sekedar sandiwara politik yang semuanya dimainkan oleh para aktor-aktor bayaran yang dikendalikan di bawah sutradara politik yang jahat, temperamentif untuk mencoba membelokkan alur menjadi sesuatu yang dinilai indah oleh penikmat sajian sandiwara, walaupun semuanya itu adalah tipuan palsu yang sarat dengan strategi pembodohan publik.

Kebekuan realitas politik membawa kami untuk kembali merumuskan sebuah ideologi yang mampu menginspirasi kesadaran kolektif bangsa. Memang saat ini kita tidak memiliki massa yang banyak, tetapi paling tidak kita masih memiliki modal dasar kekuatan intelektual yang akan menjadi mesin untuk melakukan marketing-isasi isu global yang telah kita rumuskan.

Demokrasi saat ini telah menjadi dewa baru yang dianggap mampu menolong segala permasalahan bangsa. Sedangkan hukum adalah sarana efektif untuk melegalisasi segala macam taktik politik busuk yang menjerumuskan bangsa ini ke lembah kenistaan. Kenyataanya, saat ini semua itu telah terbukti, yaitu ketika demokrasi menjadi ajang baru untuk melakukan penindasan berjama’ah, serta hukum secara disengaja dimanfaatkan untuk mengafiliasi kepada kepentingan elit yang saat ini menjadi penguasa.

Wacana-wacana perubahan memang senantiasa menjadi patron dalam setiap periode pergerakan. Namun, hanya sedikit dari wacana perubahan tersebut yang mampu diwujudkan menjadi sebuah realitas sosial. Sehingga, saya pun juga merasakan bahwa wacana pergerakan hanyalah menjadi wacana murahan saja ketika tidak diikuti dengan strategi untuk mendobrak kejenuhan yang saat ini sedang terjadi. Akan tetapi hal itu bukanlah sebuah persoalan yang mudah. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam setiap tragedi pergerakan, disana pasti terdapat ongkos politik yang tidaklah murah dengan rakyat menjadi sasaran utama. Tetapi paling tidak, hal itu tidaklah menjadi sebuah hambatan yang berarti ketika kita mencoba untuk memberikan sebuah pendidikan politik untuk mendapatkan kesadaran kolektif rakyat bahwa ketika perubahan itu menjadi milik rakyat, maka setidaknya mereka pun akan masuk ke dalam lingkaran-lingkaran pelaku perubahan itu. Mereka tidak akan hanyut menjadi korban perubahan, tetapi merekalah yang nantinya yang akan menjadi motor-motor perubahan. Satu hal yang perlu diingat, bahwa perubahan tidaklah mungkin tanpa didahului dengan pergerakan. Dan sejarah telah membuktikan bahwa pergerakan senantiasa dimulai dari rakyat, bukan elit penguasa.

Untuk menyukseskan perubahan, dibutuhkan sebuah metode dalam membangun kolektivitas gerakan. Sedangkan kolektivitas gerakan bukan hanya dibangun dari sisi kuantitas massa yang terlibat, namun lebih dari sekedar itu, bahwa kolektivitas gerakan disusun oleh konsistensi kita dalam membawa serta memasarkan isu-isu perubahan yang saat ini mulai membias.

Terakhir, perlu saya sampaikan bahwa kondisi kita belum terlalu aman untuk diam kawan! Dan sampai kapanpun, ketika jantung ini masih berdenyut, maka pergerakan adalah sebuah keniscayaan. Pergerakan untuk perubahan hanya berhenti ketika masing-masing kita dipanggil untuk kembali ke sebuah istana keabadian. Semoga Allah memberikan jannah-Nya kepada kita yaa muharrik...!!!


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:47, ,