“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Hanya sedikit di kamar sempit

Perubahan hampir selalu dimulai oleh sedikit orang. Kesadaran untuk bangkit dari keterpurukan kondisi yang sedang berlangsung saat itu, bukanlah menjadi sesuatu yang dikonsumsi oleh banyak orang. Namun, dari sedikitnya jumlah tersebut bukanlah menjadi penghalang untuk menghasilkan suatu perubahan kolektif yang tentunya menuju kearah yang lebih baik.

Sebagaimana sejarah telah membuktikan, bahwa disekitar abad keenam telah lahir sesosok anak manusia yang kelak ternyata harus mengemban amanah luar biasa. Muhammad, sepertinya bukanlah nama yang asing lagi di hampir seluruh telinga umat manusia yang menghuni jagad raya ini. Melalui sentuhan tangannyalah (tentunya atas izin Allah), akhirnya muncul generasi-generasi tangguh yang mampu membawa perubahan peradaban manusia yang sangat menakjubkan, yaitu perubahan kondisi dari era kegelapan (jahiliyyah) menuju era dimuliakannya manusia. Bagaimana sosok Muhammad mampu menghasilkan generasi-generasi luar biasa yang mampu menempatkan manusia pada posisi yang tepat dan sesuai dengan fitrahnya. Muhammad telah membuktikan akan kemampuannya mendidik generasi yang tak hanya agung disisi pemikiran saja, namun juga mulia disisi akhlak yang telah mengantarkan mereka pada lembaran catatan sejarah keluhuran peradaban manusia yang pernah menghuni alam semesta ini.
Sosok-sosok ­as-sabiqunal awwalun (para generasi awal), seperi Khadijah binti Khuwailid (istri Muhammad), Zaid bin Haritsah (pembantu Muhammad), Ali bin Abi Thalib (kemenakan Muhammad), Arqam bin Abil Arqam, Bilal bin Rabbah, dan lain sebagainya (bahkan ada salah seorang ulama yang menyebut para generasi awal berjumlah sekitar 140 orang), adalah sebagai contoh dari keberhasilan Muhammad dalam mencetak generasi-generasi yang memiliki kesadaran untuk bergerak bersama, berubah bersama, yang mana kesemuanya memiliki visi perubahan yang sama seperti yang dimiliki oleh Muhammad.
Hasil transformasi visi perubahan yang digalakkan oleh Muhammad bukanlah serta merta turun dari langit. Melainkan melalui sebuah proses yang tak hanya mengeluarkan sedikit tenaga dan perhatian, namun juga membutuhkan keseriusan dan pengorbanan. Waktu tiga tahun yang ditempuh Muhammad dalam mendidik para generasi awal merupakan sebuah kompensasi yang harus dikeluarkannya, sehingga dalam waktu yang terbilang singkat tersebut, Muhammad tidak hanya mampu mengajak orang-orang yang ada disekitarnya saja, namun juga mampu mentransformasikan visi perubahan yang dimilikinya.
Kegelisahan intelektual yang dirasakan oleh Muhammad saat itu, apalagi setelah turunnya wahyu kenabian, ternyata mampu memberikan kekuatan luar biasa bagi dirinya untuk senantiasa mampu menghadapi tribulasi yang ada saat itu. Namun begitu, bukan berarti Muhammad hanya mengandalkan kegelisahan intelektualnya saja yang seringkali disampaikannya kepada istrinya, Khadijah, namun lebih dari sekedar itu, Muhammad ternyata juga merancang sebuah metode transformasi/pembinaan yang efektif yang mampu memberikan pemahaman secara sistematis dan komprehensif terhadap orang-orang yang diajaknya tersebut. Melalui bilik Arqam bin Abil Arqam, Muhammad menyusun dan menjalankan sebuah kurikulum pembinaan yang terbukti mampu mentransformasikan visi perubahannya. Rumah Arqam disulapnya menjadi sebuah madrasah kecil yang mengajarkan visi-visi besar yang kemudian mampu mengubah sejarah peradaban. Dari bilik kecil inilah Muhammad mengadakan perjumpaan dengan para sahabatnya, yang kemudian para sahabat yang dibinanya tersebut digerakkannya untuk mentransformasikan visi perubahan yang telah diajarkan oleh Muhammad kepada seluruh masyarakat Arab saat itu tanpa memandang strata sosial, ekonomi, kesukuan, serta norma pembatas sosial lainnya.
Tidaklah banyak yang dibina oleh Muhammad di bilik kecil Arqam tersebut. Namun setelah 23 tahun kemudian, semua telah membuktikan atas hasil dari pembinaan dan pengajaran yang dilakukan Muhammad terhadap para sahabatnya yang hanya berawal dari bilik kecil, tetapi ternyata mampu mencetak orang-orang yang agung dan mulia yang telah mengantarkan atmosfir perubahan wajah peradaban dunia.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:51, ,




Aktivitas baru

Atas permintaan beberapa rekan terkait dengan request dibukukannya beberapa tulisan saya, insya Allah mulai saat ini saya akan memiliki satu aktivitas tambahan lagi yakni mengarang buku. Sebagai rencana, saya akan mencoba untuk bertutur tentang dunia yang sampai saat ini tidak asing lagi bagi saya, yaitu dunia pergerakan. Namun, saya ingin mencoba untuk berusaha mencitrakan proses perubahan dari sudut pandang positif, mengingat selama ini
publik menaruh resistensi yang cukup tinggi terkait dengan konteks perubahan. Perubahan identik dengan eksrimisme, perubahan identik dengan kekerasan. Sehingga jarang orang yang melihat perubahan sebagai suatu bentuk ikatan fitrah manusia yang senantiasa akan bergulir.
Perubahan adalah pola tulisan Tuhan. Namun, untuk mewujudkan pola tersebut menjadi sketsa dan lukisan yang menarik, disanalah tangan manusia harus berperan. Perubahan akan senantiasa mengalir, namun alirannya bukanlah sekedar aliran yang tanpa sebab dan arah. Perubahan ibarat aliran air yang disana terdapat riak-riak kecil yang menghiasi alirannya. Bebatuan kecil dan besar bukanlah sebuah hambatan yang harus disikapi dengan keluhan, namun disanalah motivasi kita untuk senantiasa istiqomah dalam proses mewujudkan perubahan tersebut. Keistiqomahan yang kemudian akan menjadi saksi sejarah bagi kita, bahwa ternyata kita telah ikut andil dalam menciptakan wajah kemuliaan peradaban manusia.
Kalaupun kita hanya manusia kecil, maka keyakinan akan besarnya potensi yang kita miliki, yang diikuti oleh besarnya visi dan motivasi, kelak akan menghasilkan manusia agung yang mampu melahirkan karya-karya besar, yang setidaknya karya tersebut akan menjadi saksi kita dikala semua orang tidak mampu lagi memberikan kesaksian atas kebaikan yang telah kita lakukan. Selama ruh masih bersemayam di tubuh kita yang mulia ini, itulah yang akan menjadi bekal kita untuk menghasilkan sebuah perubahan dan karya kebaikan. Baik bagi kita, maupun bagi umat manusia.
Semoga diberikan kemudahan, mengingat sesuatu yang pernah terjadi terhadap rencana buku yang pernah saya susun sebelumnya. Amin.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:27, ,




Mega miskin bangsa kami

Siapa yang tak kenal Indonesia? Sebuah negara besar dan kaya potensi mulai dari sumber daya manusia hingga sumber daya alam, namun hingga saat ini negara tersebut masih belum mampu meloloskan dari sederet lilitan permasalahan yang menderanya. Pergantian pemimpin negara setiap lima tahun sepertinya hanya sekedar rutinitas ganti sopir, sedangkan pergantian arah kepemimpinan belum pernah terjadi, sehingga sampai saat ini pun perubahan yang terjadi sebagai ekspektasi dari pergantian kepemimpinan belumlah mencapai hasil yang signifikan, khususnya perubahan kondisi kehidupan rakyat yang sepertinya semakin hari, semakin saja susah untuk sekedar tidur nyenyak tanpa beban pikiran, apakah besok masih bisa makan atau tidak.

Hipotesis tersebut setidaknya mendekati kebenaran, dimana saat ini kita melihat sebagian besar dari masyarakat kita hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data dari Bank Dunia tahun 2007, disebutkan bahwa 1 dari 3 orang Indonesia masuk dalam kategori orang miskin. Itupun orang miskin, belum orang yang terancam miskin. Tingkat pengangguran pun semakin hari semakin tidak terkontrol. Terus terang, pemerintah sampai saat ini tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mengendalikan laju pengangguran yang semakin hari semakin dilematis saja. Lebih dari 10 juta orang Indonesia menganggur. Dengan tingkat pendapatan per kapita kurang dari US$ 2 per hari, maka Indonesia masih tergolong di deretan negara miskin dunia. Kekritisan kondisi negara kita semakin menyedihkan ketika kita membandingkannya dengan negara-negara yang ada di sekitar kita. Janganlah membandingkan dengan negara-negara maju, untuk level Asia saja, saat ini negara kita sudah tidak memiliki taring lagi, sedangkan mungkin kita pernah mendengar ketika dulu negara kita bersama dengan Cina dijuluki sebagai macan Asia. Tahun kemarin, pendapatan perkapita negara kita baru sekitar US$ 800, sedangakn Singapura saja ketika tahun 1959 sudah memiliki pendapatan per kapita sekira US$ 400, dimana 30 tahun kemudian yang ditandai dengan lengsernya Lee Kuan Yew sebagai Perdana Menteri, Singapura tingkat pendapatan per kapita-nya naik 6000%. Tahun 2006, peringkat Indonesia sebagai negara yang bebas korupsi berada pada posisi 130 dari 167 negara di dunia. Bagaimana dengan negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara? Filipina yang dahulu lebih miskin dari Indonesia, di tahun 2006 berada pada posisi 121. Malaysia ketika medio tahun 60-an mengimpor guru dari negara kita, tahun 2006 berada pada peringkat 44, sedangkan Singapura sebuah titik kecil di peta dunia menduduki posisi 5 dunia. Barangkali kondisi tersebut belumlah mengejutkan. Namun bagi saya, keterkejutan tersebut timbul ketika mendengar negara ‘bekas’ kekuasaan negara kita, Timor Leste, yang menduduki peringkat 111, dimana jarak antara 130 dengan 111 cukuplah terbentang jauh. Negara kita sudah 61 tahun merdeka, sedangkan Timor Leste barulah seumur biji jagung, tapi apa daya.
Ada sebuah fakta yang cukup menarik. Pada tahun 1995, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 104 dunia, dimana Vietnam saat itu berada pada peringkat 120. Sepuluh tahun kemudian apa yang terjadi? Ternyata, peringkat Indonesia ‘hanya merosot’ 6 angka dari peringkat di tahun 1995, yaitu 110. Namun bagaimana dengan Vietnam? Ternyata didapatkan kondisi yang berkebalikan. Vietnam menyodok kita dengan posisi 108, dimana posisi tersebut berarti Vietnam menduduki tingkat dua level di atas kita, padahal kita tahu bagaimana kondisi Vietnam yang identik dengan kekerasan dan kemiskinan. Kalau begitu, saat ini kondisi negara kita selain lebih rapuh adalah lebih miskin dan lebih keras.
Budaya kekerasan memang tidak bisa dilepaskan dari Indonesia. Kekerasan yang terjadi mulai dari lingkungan rumah tangga, kekerasan antar-etnis, hingga kekerasan politik yang membuat negara kita berada pada bayang-bayang hitam. Kita tahu sejauh mana dunia kekerasan menempel erat pada label ‘Indonesia’, setidaknya tidak salah kalau saya menyodorkan istilah ‘Nasionalisme Kekerasan’, dimana kecintaan bangsa kita akan kekerasan sangatlah tinggi. Apa buktinya? Berbagai kejadian seharusnya mampu membuka mata kita. Kekerasan yang senantiasa menyertai pemilihan para pejabat kita, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden, dimana kita hampir tidak melihat tiadanya budaya kekerasan dan intimidasi yang menyertai proses pesta demokrasi tersebut. Lebih ironis lagi, budaya kekerasan juga menghampiri dunia yang seharusnya tidak mengandalkan otot, namun otak yang seharusnya diutamakan, yaitu dunia pendidikan. Kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan telah menjadikan kader generasi penerus kepemimpinan bangsa ini dipertanyakan. Bagaimana contoh kekerasan yang terjadi di salah satu perguruan tinggi kedinasan yang telah membuat geram mayoritas masyarakat kita. Atau juga, kekerasan yang menyertai konflik kepentingan atas kepemilikan salah satu organisasi yang bergerak di bidang ‘bisnis’ pendidikan di Sumatera Utara baru-baru ini.
Kekerasan dan kemiskinan adalah dua sejoli yang senantiasa ‘rela’ dan ‘setia’ menyertai perjuangan bangsa kita hingga saat ini, dan itulah musuh kita yang harus segera diatasi agar negara ini semakin mudah untuk kembali bangkit lagi. Mahatma Gandhi pernah mengatakan, “Kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk”. Saya kira, tidak berlebihan kiranya jika saya meng-kiaskan bahwa negara kita adalah sebuah bentuk republik yang paling buruk, dimana saat ini negara kita tidaklah saja kaya akan potensi, namun juga kaya akan kemiskinan dan kekerasan.
Mega-miskin bangsa kita telah terbuka lebar, namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak orang-orang kita yang belum peduli akan kondisi yang semakin mengenaskan tersebut. Kepedihan itu semakin terasa, ketika sayatan demi sayatan kemiskinan telah mencabik-cabik nasib rakyat kita yang berada ‘diantara’ dan ‘dibawah’ garis kemiskinan.
Wallahua’lam


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:13, ,




Demi bangsa dan negara

Siang tadi saya membaca sebuah berita di sebuah harian nasional yang memberitakan tentang ikut sertanya Puteri Indonesia kita, Agni Pratistha, dalam ajang pemilihan Miss Universe 2007 yang diselenggarakan di Meksiko. Diberitakan bahwa para peserta ajang kontes ratu sejagad tersebut harus mengikuti serangkaian proses seleksi, yang salah satunya adalah pengambilan foto para peserta dengan menggunakan swimsuit atau pakaian renang. Sebenarnya, ikut sertanya Puteri Indonesia dalam ajang pemilihan Miss Universe sudah sejak lama dipermasalahkan. Namun sekali lagi, sepertinya tipikal orang Indonesia yang pantang menyerah sehingga setiap tahun pula, kontroversi tersebut hanyalah sekedar kontroversi dan badai pun tetap melaju tanpa meninggalkan pesan sedikitpun. Yang membuat saya tertarik dengan berita tersebut selain dari sisi judul yang cukup provokatif adalah pernyataan diakhir berita dimana disana disebutkan ikut sertanya yang bersangkutan adalah dalam rangka mengharumkan nama bangsa dan negara.
Saking ngebetnya untuk bisa mengharumkan nama bangsa, yang bersangkutan lilo legowo saja ketika harus menjalani serangkaian prosedur seleksi, yang menurut hemat saya, mayoritas jenis seleksi yang harus dilalui tersebut tak lain sebagai bagian dari eksploitasi terstruktur atas kehormatan wanita yang seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi. Demi mengharumkan nama bangsa, sepertinya yang bersangkutan merasa tidak masalah jika kemudian disalah satu tahap seleksi harus menunjukkan (maaf), “Ini lho body orang Indonesia....”. Kepercayaan diri yang bersangkutan semakin bertambah manakala pemerintah seolah memberikan doa restu keikutsertaan yang bersangkutan. Parahnya, ketika panitia seleksi meminta setiap peserta (termasuk peserta dari Indonesia) untuk memakai bikini dalam salah satu fase pemotretan, pemerintah seolah monggo-monggo saja.
Sangat pragmatis memang, dimana saat ini cukup mudah bagi setiap orang untuk bisa membuat harum nama bangsa asal mau mengikuti apa saja, termasuk dengan cara memamerkan sesuatu yang menurut saya tidak pantas untuk menjadi barang pameran. Apakah harus dengan mengorbankan harga diri ketika kita ingin menjadi sosok pahlawan? Saya kira para pendahulu kita tidak mengajari melalui cara-cara bodoh seperti itu.
Disisi lain, ada juga sekelompok orang yang senang berteriak-teriak demi bangsa dan negara. Tapi kenyataannya, mereka adalah para penipu ulung. Bagaimana tidak, seberapa banyak politisi, birokrat, pejabat kita yang saat ini duduk dibawah payung kekuasaan yang senantiasa mengatakan ‘demi bangsa dan negara’, tetapi kemudian hasilnya tak lebih dari semakin keroposnya aset bangsa, dimana dompet rakyat tidak saja semakin menipis isinya, bahkan dompetnya saja hilang entah kemana, tetapi disisi lain, dompet pejabat semakin menebal saja. Seperti yang kita lihat baru-baru ini, dimana seorang menteri yang ‘hanya’ berkesempatan menjabat selama 2,5 tahun, namun mampu melipatgandakan kekayaan pribadinya 3 kali lipat, apalagi nilai kekayaan tersebut ber-orde sembilan digit alias bernilai miliaran rupiah.
Para pengusaha ‘bejat’ kita juga tak kalah bersaing. Seringkali mereka juga mengatakan ‘demi bangsa dan negara’. Dengan alasan membayar pajak, membuka lapangan kerja, namun kenyataannya, kaum buruh yang notabene adalah anak bangsa yang memiliki peran sebagai mitra bisnis mereka, namun malah menjadi objek yang dimarjinalkan. Termasuk juga para ‘intelektual muda’ kita saat ini. Mereka mengatakan ‘demi bangsa dan negara’, walaupun kemudian cara-cara itu diterjemahkan dengan melalui penyiksaan dan penghilangan nyawa sesama rekan.
Sekali lagi, saat ini sangat mudah bagi setiap orang untuk mengatakan ‘demi bangsa dan negara’. Namun ada satu pertanyaan yang sekiranya cukup pantas untuk kita ajukan kepada mereka, yaitu bangsa dan negara manakah yang mereka bela? Jangan-jangan mereka adalah bangsa Indonesia yang saat ini getol berjuang untuk kepentingan suatu bangsa yang tidak memiliki kepribadian sama sekali. Sehingga apapun yang dilakukan tidak masalah, asal ‘demi bangsa dan negara’. Wallahu’alam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:55, ,




Bisnis politik, bisnis kekuasaan

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) terjawab sudah. Kemarin telah diumumkan tentang nama-nama yang harus keluar dari kabinet serta nama-nama baru yang nantinya akan ikut mewarnai KIB Jilid III. Banyak harapan yang ditaruh rakyat pada momentum ‘reparasi’ mesin birokrasi tersebut. Disaat banyak harapan, banyak pula pendapat pro-kontra yang diselingi dengan persepsi optimis dan pesimis masing-masing pihak. Ada pihak yang mengatakan reshuffle ini bukti ‘kejantanan’ SBY sebagai presiden, ada pula yang mengatakan reshuffle ini tidak akan ada gunanya, bahkan lebih ekstrim lagi
reshuffle KIB tahap II tersebut tak lain dari manuver SBY terkait dengan persiapan 2009.
Terlepas dari gosip-gosip seputar reshuffle diatas, saya lebih tertarik untuk mengamati apa yang terjadi didepan layar ketika gong reshuffle benar-benar ditabuh. Adapun hal yang menjadi obyek pengamatan saya adalah muka-muka yang terlibat langsung dengan tragedi reshuffle yang tak lain adalah mereka-mereka yang harus kehilangan jabatan serta mereka yang ketiban ‘durian runtuh’ jabatan menteri dan pejabat setingkat menteri lainnya. Artinya, saya melihat roman-roman unik yang merepresentasikan perasaan mereka ketika nama mereka dipastikan masuk dalam gerbong KIB Jilid III. Sangat terlihat sekali bagaimana muka-muka sedih, kesal, dan marah ketika mereka harus kehilangan jabatan; ada muka culun bin lega terkait dengan lepasnya status menteri dari pundaknya; ada muka ‘malu-malu’ untuk mengatakan, ‘Ya.. saya yang terpilih sebagai menteri anu...’; ada juga muka senang, gembira, dan suka cita karena dirinya terpilih sebagai menteri, bahkan kegirangan tersebut sampai diwujudkan dalam bentuk sujud syukur, pesta, serta berbagai wujud apresiasi kegembiraan lainnya. Itulah mereka para pejabat kita.
Sebenarnya tidak salah ketika kita menunjukkan sesuatu yang kita rasakan kepada orang lain, apakah itu rasa duka cita atau juga rasa suka bahagia. Namun bagi saya, ada sesuatu yang mengganjal ketika melihat representasi wujud suka dan duka yang mengalir seiring dengan arus reshuffle yang baru saja berhembus, dimana seperti yang saya katakan diatas, ada wajah yang sedih dan marah ketika harus kehilangan jabatan, serta ada muka yang senang gembira ketika mendapat kepastian bahwa dirinya terpilih menjadi menteri. Setidaknya dari kedua realitas diatas sebagai benang merah dari dinamika reshuffle KIB, saya dapat menyimpulkan memang salah satu ‘budaya’ yang sedang melanda bangsa kita saat ini adalah hobi bangsa kita untuk berlomba-lomba menjadi pejabat. Karakter bangsa kita saat ini tak jauh dari kebahagiaan jika dirinya mendapat jabatan-jabatan yang terhormat, serta rasa sedih yang mendalam ketika jabatan tersebut meninggalkannya. Ibaratnya, jabatan seperti sebuah komoditas keuntungan yang kemudian jika semakin banyak keuntungan -yang terepresentasi dengan semakin tingginya kedudukan jabatan- yang diperoleh, maka wujud kegembiraan akan semakin meninggi pula. Sementara ketika kedudukan tersebut hilang, maka rasa sedih karena kehilangan semakin menjadi. Maka kemudian, jika kita kaitkan relevansi ekspresi perasaan dan jabatan diatas dengan kekuasaan dan kehormatan, maka dapat disimpulkan bahwa bangsa kita termasuk bangsa yang (maaf) gila kekuasaan dan gila kehormatan. Kekuasaan dan kehormatan sepertinya menjadi prestasi tersendiri jika mampu mereka dapatkan. Serta sebaliknya, kesialan berarti ketika status jabatan tersebut hilang dari pundaknya. Yang lebih ironis lagi, prestasi tersebut mereka persepsikan sebagai kemampuan memperoleh kesempatan untuk menjadi pejabat, bukan sebagai bentuk keberhasilan dalam menuntaskan amanah jabatan. Itulah kemudian jika boleh saya katakan bahwa menjadi sesuatu yang benar jika salah satu hobi bangsa kita saat ini adalah berlomba-lomba untuk menjadi pejabat, karena dimata mereka menjadi pejabat serasa mendapat jaminan untuk masuk surga, padahal tidak serta merta demikian, tergantung dari apa yang akan mereka lakukan dengan jabatan yang mereka peroleh tersebut.
Dimana ada politik, disanalah bisnis kekuasaan itu terjadi. Menjadi hal yang lumrah jika tawar-menawar terjadi disana. Indonesia telah berubah menjadi pasar kekuasaan, dimana disana ada orang yang berperan sebagai penjual, pembeli, perantara, bahkan preman kekuasaan. Lantas bagaimana kita mengidentifikasi mereka, yaitu mana yang berperan sebagai pedagang, pembeli, perantara, serta preman kekuasaan? Sepertinya tidak begitu sulit membedakannya dimana salah satu caranya adalah dengan melihat raut muka mereka. Nah... dengan melihat raut muka para pejabat kita terkait dengan reshuffle KIB tahap II, kita akan bisa melihat termasuk kedalam golongan manakah mereka, apakah pedagang, pembeli, makelar, ataukah preman kekuasaan. Wallahua’lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:54, ,




Think for a moment

Tampaknya pekan ini tidak ada lagi. TW mudik ke mertuanya. Pulang sekitar Ahad. Nanti dikabarin lagi.
Sender : Indra Kusumah
04.05.07 15:33

Sepertinya tidak ada yang salah dengan isi dari kalimat SMS konfirmasi dari seorang rekan saya diatas. Tetapi bagi saya,

ada sesuatu yang janggal terkait dengan isi berita. Ya... disana saya dikabarkan sedang pulang ke rumah mertua saya, padahal anda tahu sendiri kalaupun saya memiliki agenda pulang paling hanya dua tempat yang menjadi tujuan, pertama adalah pulang ke kostan saya dan yang kedua adalah pulang kampung untuk menjenguk ibu di rumah. Tetapi disana dikabarkan bahwa saya sedang pulang ke rumah mertua saya. Ha..ha.. Jika SMS tersebut dikirim beberapa bulan kedepan, mungkin saja ada benarnya, tetapi menjadi perkara lain karena SMS tersebut dikirim tadi sore yang menurut ‘pengamatan para ahli’ sampai detik ini saya masih dinyatakan sebagai ‘client dengan modestand-alone’ alias bujangan. Jadi, kalaupun saya dikabarkan telah memiliki mertua, maka saya kira setiap orang sudah bisa menebak bahwa berita tersebut salah. Tetapi saya yakin bahwa kesalahan yang terjadi pada pesan tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat secara sengaja oleh rekan saya.
Saya tidak ingin membahas lebih lanjut terkait dengan fantastisitas kekeliruan berita tersebut yang membuat saya juga menjadi semakin kepikiran (maklum, namanya juga manusia... J), melainkan saya ingin mencoba mengkaji secara logis terkait dengan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan kejadian-kejadian ketidaksengajaan yang mungkin seringkali kita lakukan dan berbuah kesalahan. Pertama kali perlu saya sampaikan bahwa kasus ketidaksengajaan muncul karena sesuatu yang memang tidak diupayakan untuk disengaja agar terjadi alias bermakna force-majeure. Termasuk untuk kasus diatas, saya yakin bahwa rekan saya juga tidak secara sadar telah menulis nama saya disana. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan ketidaksengajaan yang berbuah kekeliruan seperti yang dialami oleh rekan saya tersebut. Pertama, kurangnya perhatian atau konsentrasi saat kita melakukan suatu aktivitas. Hampir dapat dipastikan bahwa seluruh rangkaian aktivitas manusia berawal dari susunan logika-logika yang nantinya akan menjadi kerangka landasan dalam bertindak. Kurangnya konsentrasi saat kita melakukan suatu aktivitas biasanya akan membuat kita tidak optimal dalam menyelesaikan aktivitas tersebut. Bahkan tidak saja kurang optimal, tetapi bisa jadi kesalahan demi kesalahan yang akan kita dapatkan. Saya kira tidak masalah jika kesalahan yang terjadi tidak tergolong fatal. Namun bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Walaupun begitu, fatal ataupun tidak fatal tetap saja akan menimbulkan penyesalan karena telah terjadi sebuah kesalahan. Kedua, beratnya beban pikiran. Saya kira, tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang terbebas dari masalah. Setiap masalah otomatis akan memerlukan strategi khusus untuk memecahkannya. Mungkin saja saking beratnya beban permasalahan sehingga mampu menyita semua perhatian kita dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut yang membuat kita menghiraukan permasalahan-permasalahan yang lain yang mungkin kita anggap lebih sepele.
Walaupun begitu, rangkaian ketidaksengajaan tidak selalu membawa kesalahan yang membuat kita mendapat kesialan. Mungkin saja dari ketidaksengajaan yang kita lakukan kita mendapat suatu kebaikan, sebagai contoh mendapat teman baru, mengkaribkan persahabatan yang telah berlangsung, dan sebagainya. Meskipun ketidaksengajaan bisa membawa kita kepada kebaikan, satu hal yang harus kita sadari bahwa ketidaksengajaan yang kita lakukan merupakan suatu aktivitas yang lepas dari kontrol manusiawi kita, padahal diri kita senantiasa berharap bahwa setiap aktivitas kita berlangsung secara terkontrol dan terencana. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika kita mencoba untuk berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan. Berpikir sejenak untuk menganalisis sesuatu yang sedang kita rasakan serta sesuatu yang akan kita kerjakan agar semua aktivitas kita berlangsung lancar dan berhasil optimal sesuai dengan yang kita harapkan. Wallahua'lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:53, ,




Potret yang terbuang

Namanya Teh Eti. Umurnya baru sekitar 30 tahun. Ibu dari 2 anak tersebut saat ini tinggal di kampung tetangga yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah dimana saat ini saya tinggal. Namun saat ini beliau tidak bisa beraktivitas sebagaimana mestinya karena sudah sekitar 4 bulan ini menderita sakit. Menurut diagnosa dokter, beliau mengidap Gastropati. Akibat dari sakit yang dideritanya tersebut, tubuhnya saat ini kurus kering. Suaminya hanyalah seorang buruh serabutan yang penghasilannya tidak seberapa. Namanya juga buruh. Jika tidak ada orang yang memberinya pekerjaan, suami Teh Eti biasanya pergi mencari cacing di sepanjang selokan untuk dijual kepada pengepul demi menyambung hidup mereka walaupun hanya cukup untuk sehari. Kelelahan dari mencari cacing tersebut tergantikan dengan uang sekitar 5 ribu rupiah. Ya.. uang 5 ribu yang bisa digunakan untuk makan berempat serta membayar kontrakan bulanan.
Apakah layak kiranya jika kemudian uang 5 ribu tersebut dibandingkan dengan pengeluaran rekan-rekan saya sesama mahasiswa yang untuk makan selama sehari saja menghabiskan sekitar 15 ribu rupiah? Itu pun hanya untuk satu orang saja. Sementara bagi keluarga Teh Eti, 5 ribu dibagi untuk selaksa kebutuhan rumah tangga.
Keluarga Teh Eti tinggal di sebuah kamar kontrakan yang menurut saya tidak cukup layak untuk dihuni. Dengan harga sewa sebesar 70 puluh ribu per bulan, mereka bertahan di kamar gubuk tersebut untuk sekedar berlindung dari dinginnya malam dan panasnya sengatan matahari. Tidak ada televisi, tidak ada kursi tamu, tidak pula ada meja makan. Cukup selembar tikar pandan tua lusuh multifungsi.
Dalam keseharian mereka, nasi yang dicampur jagung adalah menu yang lebih dari cukup untuk dapat terhidang sebagai menu santapan harian. Jangankan ada hidangan pembuka dan penutup, ada lauk yang bisa menemani nasi jagung mereka saja sudah syukur. Pernah selama beberapa hari, bakul nasi mereka tidak terisi satu butir nasipun karena tak ada uang untuk membeli beras ataupun jagung.
Di tengah gemerlapnya kehidupan kota Bandung, ternyata ada selembar potret kehidupan manusia yang mungkin kita sendiri pun belum pernah terlintas sama sekali dalam benak kita. Tetapi itu adalah realita. Bagi mereka, jangankan untuk memberi uang jajan kepada anak-anak mereka, untuk bisa mengganjal perut dikala pagi menjelang serta tenggelamnya ufuk saja masih belum ada jaminan.
Reshuffle kabinet menurut mereka mungkin bahasa asing yang datang entah dari planet mana. Tidak ada istilah retorika politik dalam keseharian mereka kecuali nyaringnya instrumen perut yang setiap hari digelar dikala menunggu sang kepala keluarga pulang membawa bekal yang bisa mereka makan walaupun hanya sepiring nasi dan sebungkil jagung untuk satu ayah, satu ibu, serta dua anak mereka.
Ya Allah. permudahkan segalanya.. berilah kekuatan kepada mereka yang memerlukan kekuatan-Mu..


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:52, ,




Dilematika sistem pendidikan nasional

Pendidikan adalah hak segala bangsa. Sepertinya slogan diatas telah menjadi jargon formal setiap negara, termasuk negara kita Indonesia, terkait dengan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa alias pendidikan. Namun kenyataannya, jargon tersebut hanyalah pemanis bibir yang realitanya jauh dari apa yang tertulis didepan. Bahkan tidak hanya tertulis saja, melainkan juga ‘terpahat’ pada lembaran dasar konstitusi negara kita.

Terkait dengan dunia pendidikan yang hari ini, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, saya hanya dapat melihat bahwa pemerintah ternyata terlalu formalis dalam melihat sebuah bidang yang kemudian disebut dengan proses mendidik anak bangsa. Kita semua tahu bahwasanya tujuan pendidikan nasional kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, ketika kita lihat kondisi pendidikan saat ini, sudahkah hasil pencerdasan tersebut terwujud? Mungkin diantara kita ada yang tidak sependapat dengan pertanyaan yang saya lontarkan didepan dengan alasan bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Namun bukannya dalam terminologi proses, ada semacam susunan/tahapan yang kemudian pada masing-masing tahap tersebut dapat kita evaluasi? Kalaupun logika tersebut masuk dalam kerangka pikir kita, maka tidaklah salah ketika saya lontarkan pertanyaan, “Sudah sejauh manakah proses pendidikan kita mampu mencerdaskan kehidupan bangsa?”. Mungkin pertanyaan saya diatas termasuk pertanyaan bodoh bin retoris, tetapi apakah pertanyaan tersebut tidak memenuhi kaidah logis yang dapat diberikan jawaban yang obyektif?
Hemat saya pribadi, tidak ada logika pendidikan nasional yang kita miliki saat ini yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksud tidak ada diatas bukanlah berarti tidak ada sama sekali, melainkan pernah ada namun hanya saja saat ini kita telah kehilangan ruh, semangat, serta orientasi pendidikan nasional kita. Dapat saya sampaikan jikalau Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara, sempat memberikan arahan bahwa mainstream dari pendidikan adalah olah rasa, karsa, dan karya. Artinya, pendidikan adalah sebuah proses yang mengantarkan manusia untuk menemukan jati diri kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana pendidikan itu bermuara pada pembentukan manusia (anak didik) yang mampu memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan tidak benar, hakiki dan tidak hakiki (rasa); memiliki kesadaran untuk bertindak melakukan perbaikan (karsa); serta mampu mengaktualisasikan peran-peran sinergis yang mampu mewujudkan tatanan sosial-kemanusiaan yang dapat mengangkat harkat, derajat, serta kehormatan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah (karya). Sementara realitanya saat ini, pendidikan disusun sedemikian sistematis, namun dari sistematika yang ada ternyata tidak memberikan peluang bagi anak didik untuk mampu mengerti apa yang dipelajarinya yang kemudian muncul fungsionalisasi peran yang dapat dimainkan sebagai bentuk ekspektasi pembelajaran yang mereka lakukan. Atau dengan kata lain, sistem pendidikan kita saat ini telah membakukan prosedur keberhasilan proses pendidikan yang hanya diukur dari nilai serta kadar intelektualitas anak didik yang kemudian hasilnya ditujukan kepada pragmatisasi kualitas intelektual. Secara kasar dapat saya katakan bahwa pendidikan kita saat ini hanyalah sebatas mesin yang menciptakan robot-robot pintar yang ditujukan sebagai pelayan-pelayan industri di era globalisasi. Industri tersebut bisa berupa sistematika mesin-mesin politik yang disana menghasilkan para politisi busuk yang korup, mesin-mesin ekonomi yang senantiasa mengeluarkan produk neo-kolonialisme melalui konsep kapitalisasi modal dan pekerja, mesin-mesin agama yang menelurkan ideologi-ideologi sembrono yang sesat dan dangkal, mesin-mesin pendidikan yang tak jauh dari sekedar menghasilkan mur dan baut sebagai pengunci tiang-tiang materialisme era global.
Isu hari pendidikan yang dari tahun ke tahun mengusung tema yang sama, yaitu : Bahwa dengan Hari Pendidikan Nasional Kita Tingkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Tetapi bagaimana mau ditingkatkan jika kemudian kita senantiasa melanggengkan ideologi serta kultur yang ‘sesat’ terkait dengan dunia pendidikan kita. Saat ini, pendidikan di Indonesia tak lebih dari sekedar meluluskan siswa yang pintar, dan mendepak (baca: DO) siswa yang bodoh. Sistem pendidikan kita sampai saat ini hanya membangun disparitas sosial-intelektual yang terwujud dalam standar peringkat berparameter baku, seperti yang terlihat dalam konteks Ujian Akhir Nasional yang ternyata juga inkonstitusional.
Apa yang diharapkan dari pendidikan kita? Jika saat ini kita masih berpandangan bahwa pendidikan adalah untuk menyeragamkan tingkat intelektualita anak bangsa, maka tidaklah lebih buruk kalau saya katakan bahwa pendidikan kita hanyalah menghasilkan barbie-barbie dalam negeri berbaju asing. Mereka tidak memiliki sebuah pemahaman yang mendalam terkait dengan peran serta eksistensi mereka terkait dengan kondisi yang saat ini terjadi pada bangsa kita yang terkait dengan apa yang terjadi serta bagaimana cara kita membangun bangsa. Kalaupun hasil pembelajaran pendidikan nasional kita masih terus-terusan diukur dengan sesuatu yang normatif diatas kertas, maka tak salah jika saya katakan bahwa kita tidak akan pernah melukis sejarah selain dari mencorat-coret kertas sejarah kita yang artinya tak lebih dari penodaan lembar sejarah keterhormatan bangsa kita sebagai bangsa yang mulia.
Silakan dimuliakan saja proses pendidikan nasional yang mengajarkan para anak didik untuk, “Think locally, act gombal-ly”. Atau dengan kata lain, sebuah proses pendidikan yang membonsai paradigma anak didik yang kemudian tidak pernah menghasilkan sebuah kontribusi majemuk selain dari sebuah sistematika penonjolan peran-peran individu yang menimbulkan drama pertengkaran sosial, ekonomi, politik yang menjelma dalam baju kehormatan, kemakmuran, dan kekuasaan.
Wallahua’lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:51, ,




Marjinalisasi buruh = Marjinalisasi bangsa

Mayday yang jatuh pada hari ini merupakan puncak aktivitas perjuangan kaum buruh dalam memperjuangkan hak-haknya. Seringkali hak-hak mereka dipecundangi oleh kaum pengusaha yang notabene adalah para pemilik modal. Hak untuk mendapatkan gaji layak, hak untuk berserikat, hak untuk jaminan keselamatan, adalah contoh kecil dari hak-hak kaum beruh yang sudah selayaknya dijamin serta dilindungi, baik oleh para pengusaha sebagai pemilik modal, maupun pemerintah sebagai regulator. Namun realitanya tidaklah demikian. Di negeri kita, sudah tidak menjadi rahasia lagi jika para pengusaha bermain mata dengan pemerintah. Contoh kecil saja,

ketika penyusunan UU 13 tahun 2003 yang mengatur tentang perburuhan, komposisi stakeholder perburuhan ternyata diartikulasikan menjadi 50 % pemerintah, 25 % pengusaha, serta 25 % buruh. Sehingga boleh dikatakan, buruh hanya memiliki tingkat keterwakilan 1 orang jika kemudian tim tersebut terdiri dari 4 orang. Nah, jika kemudian pengusaha yang juga memiliki keterwakilan 25 % mampu menyuap serta membeli suara pemerintah yang 50 %, maka dapat dipastikan nasib kaum buruh di Indonesia akan semakin tidak terjamin lagi. Apalagi kita mengetahui bahwa banyaknya gerakan buruh yang saat ini ada ternyata tidak lepas dari skandal politik penguasa yang dilakukan bersama para kaum pemodal. Kalaupun keterwakilan 1 suara kaum buruh diatas ternyata diwakili oleh antek-antek pemerintah dan pemodal, maka dapat dikatakan bahwa produk dari tim penyusun UU 13 tahun 2003 tersebut bukanlah RUU ketenagakerjaan, melainkan sebuah aturan yang melegalkan penjajahan buruh dengan cara pemerasan tenaga mereka untuk menghasilkan kekayaan, baik kekayaan penguasa maupun pengusaha yang dimodifikasi dalam angka-angka kemajuan sektor industri dimana tidak ada kompensasi apapun bagi kaum buruh selain upah dibawah UMR serta tiadanya jaminan nasib mereka sama sekali.
Apa hasilnya? Banyak sekali kasus kepailitan perusahaan yang kemudian tidak serta merta mengutamakan hak pekerja, melainkan perampasan aset usaha yang ternyata hasilnya dinikmati oleh para pemain undang-undang alias penguasa, serta kaum pemodal yang senantiasa mengklaim bahwa aset usaha adalah milik mereka. Padahal tidak seperti itu. Usaha yang telah mereka bangun setidaknya telah terbasahi oleh keringat kaum buruh yang disana akan senantiasa tertulis tindakan pecundangan yang berkedok aturan main dagang yang ternyata tangan panjang dari kapitalisasi pengusaha dan penguasa, serta marjinalisasi kaum buruh yang ternyata mereka tidak lain adalah anak bangsa. 8 dari 10 orang Indonesia adalah kaum pekerja, sementara 9 dari 10 pengusaha di Indonesia adalah pengusaha asing. Jika kondisi empiriknya seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa modal yang saat ini bergulir di Indonesia dikuasai oleh modal asing. Kalau kenyataannya pemerintah saat ini lebih berpihak pada kepentingan pengusaha, maka dengan keyakinan yang mendalam dapat kita katakan bahwa penjajahan buruh yang saat ini terjadi direstui oleh pemerintah. Perselingkuhan antara pemerintah dan pengusaha telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan buruh sehingga masuk dalam kotak kehidupan yang tidak manusiawi. Seringkali perjuangan harus mereka tempuh dengan mendekam di balik terali besi yang kemudian hanya beberapa orang saja yang mengetahui bahwa sel-sel itu ternyata telah disewa oleh pengusaha untuk mengintimidasi perjuangan kaum buruh. Tidak ada kaum buruh demokrat, tidak ada kaum buruh ektrimis. Sementara yang ada adalah kaum buruh sejati yang senantiasa memperjuangkan hak-haknya serta kaum buruh inlandeer yang telah menerima amplop dari para penjajah. Keyakinan perbaikan nasib kaum buruh masihlah diatas awang-awang, walaupun kemudian kita mengatakan pemerintah memiliki tangan khusus untuk mengurusinya lewat Depnakertrans. Tapi apalah arti seorang Jacob Nuwawea, Jumhur Hidayat, dan lain sebagainya, yang ketika masih belum memiliki kursi mereka berteriak dengan air ludah kaum buruh, namun ketika kursi empuk telah mereka dapatkan, air ludah itu serasa kering di tenggorokan.
Kita tidak ingin kaum buruh terpolitisasi, terpecah dalam kancah politik praktis. Namun kenyataannya hal itu telah menjadi realita zaman masa kini. Mereka diiming-imingi oleh partai politik tertentu, namun ternyata tidak semua partai politik concern memperjuangkan hak mereka. Hanya partai tertentu saja yang saat ini masih getol dalam usaha membantu perjuangan memperbaiki kaum buruh, sedangkan mayoritas yang lainnya hanya merampas suaranya saja untuk mendulang perolehan kursi kekuasaan.
Lantas kira-kira apa yang saat ini bisa kita harapkan dengan perjuangan kaum buruh serta manuver pemerintah yang cenderung abu-abu dalam hal perbaikan nasib kaum pinggiran tersebut? Sampai kapankah perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha tersebut terjadi? Perjuangan kaum buruh ternyata harus mereka tebus dengan serangkaian intimidasi, baik intimidasi fisik maupun intimidasi politik. Kalaupun sampai saat ini pemerintah tidak memiliki kesungguhan dalam memperbaiki kondisi serta hak kaum buruh, maka setidaknya penjajahan atas mereka akan senantiasa berlangsung di depan mata anak bangsa. Sementara, penjajahan kaum buruh ternyata sama saja dengan penjajahan Bangsa Indonesia. Kenapa? Karena mayoritas bangsa kita adalah kaum pekerja. Jika saja kemudian 1 Mei ini kaum buruh mampu mencapai kemerdekaan haknya, maka tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan 17 Agustus bukanlah kemerdekaan bangsa kita lagi. 17 Agustus telah beralih ke 1 Mei, itulah yang akan menjadi tonggak saksi sejarah. Tetapi saya tidak yakin para penguasa kita akan memiliki nurani yang tulus untuk mewujudkannya. Mei dibenak mereka tak lebih dari sekedar Maybe Yes, Maybe No...!!!
Wallahua’lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 12:57, ,