“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Aku heran, sekali lagi heran, dari mana berita itu berawal....

Bismillah....

Beberapa hari ini diri saya agak terganggu dengan sebuah berita yang sebenarnya berita lama, namun diangkat lagi oleh sekalangan publik yang saya sendiri juga tidak tahu apa maksudnya. Yaitu adanya rumor surat cinta yang berisi puisi dari saya kepada seorang akhwat dimana saya sendiri-pun tidak tahu siapa.
Masya Allah...

Dalam hati, seringkali diri ini bertanya, apakah ini semua adalah buah dari segala dosa dan kesalahan yang saya buat ? Apalagi ketika berkaitan dengan jabatan, apakah ini semua adalah hasil dari ketidakamanahan saya sebagai seorang presiden mahasiswa ?
Faghfirlii yaa.. Allah

Saya jadi takut, jangan - jangan niat saya sudah berubah haluan. Yang bermula dari khidami (pelayanan) ke arah kepraktisan dalam mengejar popularitas.
Saya akui bahwa batas itu sangatlah tipis. Seringkali kita harus mengejar sesuatu sampai batas optimal yang paling puncak. Namun seringkali pula ketika berada pada kondisi puncak tersebut kita sering mengatakan, "Ini lho saya...!!."

Mengeluh, sepertinya bukan jalan keluar. mengadu, kepada siapa lagi. Biarlah Allah jadi tempat kerinduanku yang utama. Namun, satu hal yang saat ini menjadi pemikiran saya adalah, rumor - rumor itu. Diri ini takut sekiranya rumor itu lantas dijadikan justifikasi bagi publik dalam memberikan persepsi akan sebuah posisi-posisi strategis, khususnya di kampus ini.

Ketakutan itu muncul ketika nantinya ada semacam stereotipe bahwasanya menjadi seorang presma, ketua himpunan, ketua ukm, ldk, dan yang lain adalah wahana untuk cari perhatian, cari popularitas, cari pacar, dsb....

Dari mana itu semua...

Yaa.. Allah...
Kalaupun kuat, maka berikanlah kekuatan kepadaku yang menolong....


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 00:39, ,




Merenungkan Realitas Demokrasi Kita

Merenungkan Realitas Demokrasi Kita
TW Yunianto*

Sepanjang saya belajar tentang demokrasi, maka teori Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquieu selalu teringat di benak saya. Apalagi, sistem ketatanegaraan republik ini mengadopsi teori itu. Adanya pemisahan elan kekuasaan, antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah cara yang terbaik dalam rangka menerapkan teori demokrasi. Idealnya, segenap aspirasi dan kebutuhan masyarakat dapat diakomodir secara optimal.
Mari kita coba melongok kehidupan demokrasi di kampus kita. Secara umum, lembaga pemerintahan yang ada di lingkungan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) STT Telkom-pun tak jauh dari teori tersebut. Adanya lembaga eksekutif yang diperankan oleh BEM dan lembaga legislatif yang dimainkan oleh DPM, merupakan suatu langkah nyata dalam menerapkan kehidupan berdemokrasi di lingkungan kampus kita. Lantas apa saja yang telah diperoleh dari langkah demokrasi di kampus ini ?
Ketika kita membicarakan pemerintahan, maka paling tidak akan ada 3 unsur yang ada di dalamnya, yakni pemerintah, yang diperintah, serta sistem pemerintahan itu sendiri. Siapa pemerintah ? Sudah jelas disana ada BEM dan DPM. Yang diperintah ? Mahasiswa, namun harus diingat, bahwasanya dalam demokrasi pihak yang diperintah tidaklah hanya sebagai objek penderita, melainkan juga merupakan subjek pelaku. Serta sistem pemerintahan kita menganut pemisahan secara terbuka, alias antara eksekutif dan legislatif memiliki peran masing – masing yang seharusnya satu sama lain tidak boleh saling tumpang tindih.
Idealnya, legislatif akan selalu identik dengan fungsi legislasinya, yakni fungsi dewan dalam menjaring aspirasi mahasiswa. Selain itu fungsi kontrol. Untuk BEM, fungsi utamanya adalah fungsi eksekutif. Yaitu menjalankan amanah serta mandat yang diberikan oleh DPM selaku wakil dari pemegang kedaulatan rakyat (baca:mahasiswa). Namun sejauh manakah fungsi itu berjalan ?
Sampai saat ini, kita belum bisa mendapatkan suatu performansi kerja maksimal dari masing – masing lembaga. Beberapa kali fungsi tersebut saling tumpang tindih dan saling tunggu – menunggu. Pola aksi dan reaksi sepertinya belum menjadi sebuah jargon yang mampu mengakselerasi segenap fungsi pemerintahan tersebut. Dalam banyak hal, sepertinya kita mendapatkan sebuah ketidakpuasan, bahkan ketidakpercayaan kita terhadap kinerja aparat pemerintahan. Volunteerisme sebenarnya bukanlah sebuah alasan bagi kita untuk memberikan yustifikasi atas ketidakprofesionalan kita dalam menjalankan amanah dari mahasiswa. Sebuah pertanyaan besar bagi diri saya tentang sejauh manakah peran BEM dalam membawa angin perubahan kampus ini, khususnya KBM ? Sebegitu mudah pertanyaan tersebut. Namun bagi saya merupakan sebuah pertanyaan yang membutuhkan kerja besar. Kita tidak bisa menganggap diri kita pahlawan, jika saat ini dan kemarin kita tidak melakukan apa – apa.
Coba kita melihat ke belakang sejenak, merenungi sebuah proses awal dari rangkaian kehidupan berdemokrasi di kampus ini. Dalam setiap kesempatan pemilu raya, dalam hal ini pemilu anggota legislatif (DPM) dan Presiden Mahasiswa, maka kita mendapatkan suatu kondisi yang jauh dari representasi kehidupan demokrasi ideal. Tingkat kepedulian mahasiswa masih jauh dari harapan. Beberapa kali data statistik mendapatkan angka 25% mahasiswa yang peduli dari total mahasiswa yang ada. Hanya 25% mahasiswa yang menyalurkan hak suaranya dalam pemilu. Lebih ironis lagi ketika kita mengamati tingkat partisipasi mahasiswa untuk mencalonkan diri, apakah sebagai anggota DPM maupun presiden mahasiswa. Inilah demokrasi kita yang senantiasa sepi dari perhatian publik, namun sarat dengan tuntutan – tuntutan serta aspirasi mahasiswa sebagai komponen yang memegang kedaulatan.
Rivalitas bursa anggota legislatif dan presiden mahasiswa hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa. Kenapa bisa demikian ? Apakah mahasiswanya yang salah ? Lebih banyakkah para pasivis – pasivis dari pada aktivisnya ? Atau telah bergesernya nilai – nilai budaya dari budaya kritis-proaktif menjadi budaya ego-pragmatis ?
Terlepas dari nilai – nilai itu, seperti yang saya sampaikan di depan, maka kita pun juga mendapatkan kurang berjalannya fungsi masing – masing lembaga. Coba kita lihat sejauh manakah peran eksekutif dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Atau sejauh manakah peran legislatif dalam menampung aspirasi mahasiswa. Sepengamatan saya sebagai seorang pimpinan di lingkup eksekutif, maka kami sebagai eksekutif sampai saat ini masih harus mencari dan menampung aspirasi dari mahasiswa yang seharusnya diperankan oleh legislatif (DPM). Ketidaksesuaian fungsi tersebut seringkali menjadi barrier bagi kami untuk bisa optimal. Kami pun menyadari akan kekurangpopulisan kebijakan kami karena tidak berjalannya fungsi sosialisasi. Ketimpangan antara fungsi keluar (sosial-politik) dengan fungsi kedalam (advokasi mahasiswa) merupakan imbas dari kurangnya fungsi sosialisasi serta protokoler eksekutif kami. Itu kami sadari !
Saat ini, kampus kita sedang menunggu para pemimpin – pemimpin baru yang diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik. Namun ternyata sampai saya menulis risalah ini, kenapa sedikit sekali kepekaan mahasiswa terhadap realitas demokrasi di kampus kita ? Terbukti baru tiga orang yang menyatakan dirinya bersedia untuk menjadi anggota dewan yang terhormat. Lantas dimana 4000-an mahasiswa yang lain ? Sejauhmanakah mereka peduli ? Jangan – jangan ketika pemilu presiden mendatang tidak ada lagi mahasiswa yang bersedia mencalonkan diri ?
Selain permasalahan di atas, saya juga mengamati akan kurangnya langkah proaktif dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memprovokasi mahasiswa untuk ikut terlibat secara langsung dalam proses politik ini. Saya pun juga masih belum yakin, sejauh manakah kualitas dari para calon pemimpin kita nantinya terhadap realitas ini ? Apakah mereka benar – benar pemuda yang memiliki kualitas kepemimpinan dan kepekaan sosial, ataukah hanya sekedar mengejar posisi serta pengalaman sebagai seorang pejabat kampus ? Manakah suara – suara serta pemikiran – pemikiran mereka dalam menyikapi sepinya demokrasi ini ? Lantas apakah demokrasi hanya sekedar mengumpulkan formulir saja ? Saya kira itu terlalu naif....!!!!

*) Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 05:47, ,




Anekdot Kebebasan

Anekdot Kebebasan
Menyikapi Kontroversialisme Rencana Penerbitan Majalah Playboy dan UU APP

TW Yunianto*

I think the biggest asset of a nation is its highest ideology. If there is an effort to wipe it out , so.. it woud be a collapse nation.

Saya kira tidaklah keliru jika pernyataan saya di atas adalah setengah dari fakta. Bukan sekedar opini pribadi yang muncul karena emosi nurani yang saat ini tergopoh - gopoh menyimak pertarungan yang amat sengit antara penerbitan the controversial magazine, Playboy dengan pengesahan RUU APP (Anti-Pornografi dan Pornoaksi). Sungguh nama besar Indonesia saat ini sedang diuji, bukan hanya karena sebagai masyarakat timur yang terkenal dengan keluhuran budi, namun juga gejolak konflik internal interest yang mengancam integritas negeri yang membujur dari Sabang sampai Merauke ini.

60 tahun ternyata belum menjadi waktu yang cukup bagi negeri ini untuk duduk langgeng dengan segala kandungan kekayaannya. Bertahun – tahun kehidupan republik ini layaknya sebuah kapal yang sedang terguncang ombak hebat. Di dalamnya sesak penumpang dengan seorang nakhoda muda yang belum cukup pengalaman dalam membawa kapalnya ke sebuah samudera kehidupan. Dalam setiap persinggahan, ternyata seringkali diwarnai rasa marah dan kekecewaan penumpang akibat ketidakprofesionalan nakhoda, juga recik – recik perkelahian preman pelabuhan serta perompak laut yang membuat para penumpang meratapi keselamatan perjalanannya.

Sekarang, kapal itu sedang berlabuh di sebuah negeri baru yang terkenal dengan budaya pluralnya. Akankah kapal itu harus mengubah haluan ? Atau akankah para penumpang tadi harus mengubah identitas diri mereka ? Haruskah mereka menerimanya ? Itu adalah serangkaian pertanyaan – pertanyaan sebagai bahan pemikiran bagi kita semua.

Beberapa waktu terakhir ini, kita diberikan suguhan perdebatan the Playboy episode mulai dari kaca mata politik, sosial, sampai hukum dan ekonomi. Seperti beberapa pertanyaan yang saya sampaikan di atas. Apa yang harus kita lakukan ? Apalagi saat ini perdebatan itu sudah sampai ke arah akar rumput, bahkan ibu – ibu di dapur pun sambil menggoreng tempe sudah mulai memberikan opini – opini pedas mereka, dan tentunya itu bukan opini dapur yang lebih dari sekedar hangat sesaat.

Panasnya pembicaraan politik di Senayan tentang perlu atau tidaknya RUU APP ternyata disambut dengan antusiasme para ibu – ibu dan kaum hawa di sebuah negeri yang terkenal dengan Indonesia on the City Island, Bali. Bahkan tak tanggung – tanggung, aksi tersebut dinamakan dengan aksi budaya sebagai bentuk protes keras terhadap rencana penerbitan UU APP. Baru kali ini, kita dihadapkan pada sebuah romantika sosial yang lengkap dengan tokoh angle dan demon-nya. Benar – benar dibutuhkan suatu kebijaksanaan pemerintah yang untuk bertindak tepat dan cermat karena menurut beberapa tokoh permasalahan ini sudah masuk ke dalam ranah privat. Sampai – sampai ada yang berkelakar, “Wah.. mau mandi saja nanti bakal susah. Ha..ha..“.

Menurut hemat penulis, saat ini paling tidak dibutuhkan beberapa pendekatan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Yakni terkait dengan pendefinisian tentang pornoaksi dan pornografi, serta ruang lingkupnya, karena saat ini pemerintah masih berkutat pada satu makna, yakni sensualitas. Kita tidak bisa memberikan sebuah penafsiran yang mengambang, apalagi hal ini terkait dengan sebuah sistem perundangan. Kalaupun langkah ini sudah ada, maka pendekatan yang sifatnya kultural lebih intens lagi untuk dilakukan. Masyarakat tidak semuanya mengerti bahasa politik dan hukum. Mereka lebih mengerti tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan mereka memahami semua itu melalui retorika budaya. Jakarta boleh panas dengan bahasa – bahasa yang penuh dengan konsideran. Namun, rakyat di Bali, Papua, Dayak, belum tentu mengerti itu semua. Ketika urusan kebudayaan yang mereka anggap sebagai tata nilai lokal yang harus mereka hormati, apalagi menyentuh aspek kepercayaan, maka dapat dipastikan mereka akan menolaknya dengan mentah – mentah. Idealnya memang masyarakat harusnya lebih memahami perbedaan antara memakai kemben dalam budaya Jawa sebagai salah satu ritual budaya dengan goyang ngebor yang dialibikan sebagai kebebasan berekspresi pribadi. Namun kenyataanya, masyarakat belum memahami itu semua.

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya permasalahan perlu tidaknya UU APP merupakan permasalahan yang memiliki partisi tipis. Berbagai resistensi yang muncul sebagai buah rencana RUU APP merupakan wacana kontrol publik. Namun, seringkali pemerintah mengabaikan hal itu. Kita tidak berharap perdebatan sengit RUU APP ini berujung pada lepasnya Bali, Kalimantan, Papua, dan wilayah – wilayah lain yang saat ini terkenal vokal dalam menyuarakan penolakan RUU tersebut hanya dikarenakan mengancam nilai – nilai budaya mereka. Kalaupun boleh dikatakan, negeri ini memang butuh perbaikan. Krisis multi-dimensional yang melanda negeri ini memang dibutuhkan suatu treatment sosial yang berupa reformasi moral, dan salah satu upaya yang dibutuhkan adalah minimalisasi celah yang mengarah pada terbentuknya amoral society. Negeri kita adalah negeri ber-Bhinneka, dan Bhinneka sendiri merupakan ideologi moral. Pornoaksi dan pornografi tak lain dari selangkah pemerkosaan nilai – nilai moral. Untuk itu, sebagai masyarakat yang ber-Bhinneka, maka kita membutuhkan tools sebagai upaya perlindungan terhadap serangakaian upaya pemerosotan moral. Sejauh mana kita memahami, dan sejauh mana pemerintah mengerti ? Haruskah Playboy diterima ? Bagaimana dengan majalah porno yang lain ? Lantas, apakah moral hanya urusan pribadi ?! Saya kira tidak..... !!!!

*) Presiden BEM KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 16:17, ,




Selamatkan Bangsa Melalui

Selamatkan Bangsa Melalui
3 Sektor Penopang Perekonomian

TW Yunianto*

Mukadimah
Kita sadari bersama bahwasanya negeri kita saat ini mendapat cobaan yang amat luar biasa. Ditengah lilitan utang negara lebih dari 2000 trilyun rupiah, gelombang bencana alam yang hampir merata di seluruh pelosok negeri, serta segenap krisis kemanusiaan yang senantiasa menghantui diri kita. Upaya demi upaya senantiasa terus dilakukan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, dalam skala kecil maupun skala besar. Semua itu adalah usaha nyata yang kita curahkan demi keberlangsungan dan keselamatan perikehidupan bangsa yang memiliki martabat dan harkat kemanusiaan.
Sesuai dengan klausul yang tertuang dalam konstitusi kita, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk senantiasa menyelamatkan serta mengatur pola pengelolaan sumber daya baik bergerak maupun tidak bergerak yang terkandung dalam bumi Indonesia untuk sebesar – besarnya demi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Menyikapi perkembangan situasi serta kondisi yang terjadi di negeri ini, khususnya terhadap sektor riil yang memiliki kaitan secara langsung terhadap taraf hidup bangsa, maka kita dapat melihat indikasi adanya pola kebijakan pemerintah yang cenderung melupakan kepentingan rakyat. Kita dapat melihat dari adanya kejadian divestasi Indosat yang ujung – ujungnya jatuhnya aset bangsa tersebut ke tangan asing, perpanjangan kontrak Freeport yang menyakiti hati rakyat, dan sebagainya. Itu adalah sebagian kecil dari beberapa kebijakan pemerintah yang mengabaikan kepentingan serta masa depan rakyat.

Pola Analisa
Ada 3 sektor vital yang dianggap mampu untuk menyelamatkan perekonomian bangsa, yaitu :
1. Sektor Telekomunikasi
• Kejadian luar biasa yang pernah terjadi yang dilakukan oleh pemerintah adalah adanya divestasi Indosat sehingga 41,94% saham Indosat dikuasai asing yang ternyata melukai hati rakyat. Apalagi dengan dalih tingginya angka penjualan Indosat yang mampu menembus 5,6 trilyun rupiah. Padahal Indosat mampu menghasilkan neraca pembukuan (laba bersih) 1,8 trilyun pertahun (keuangan 2001,2002,2003), sehingga dapat kita katakan 5,6 trilyun tadi sebenarnya dapat kita peroleh dalam jangka waktu 3 tahun. Dengan adanya hal tersebut, maka selain merugikan negara baik dari sektor kepemilikan aset nasional serta penerimaan pajak dan deviden, dimungkinkan adanya kontrol kebijakan pemerintah oleh asing melalui sektor telekomunikasi yang dapat kita katakan sektor yang strategis dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara, apalagi sektor telekomunikasi memiliki kaitan erat dengan data – data strategis dan rahasia.
• Berdasarkan analisa dari ITU (International Telecommunication Union), ditegaskan bahwasanya peningkatan 1 SST (Satuan Sambungan Telepon) akan dapat menaikkan indeks perekonomian bangsa sebesar 3%.


2. Sektor Perhubungan
• Sektor perhubungan ternyata telah membuktikan dapat meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan bangsa. Dapat kita bayangkan apabila tanpa inisiasi dan pengembangan sektor perhubungan, maka pemerataan hasil – hasil pembangunan tidak akan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita tidak dapat memungkiri sektor perhubungan merupakan jembatan nasional yang mampu mengantarkan Indonesia keluar dari segenap krisis multi-dimensi ini.
• Terkait dengan rencana penjualan Garuda ke tangan asing yang beberapa waktu yang lalu dilontarkan oleh Wapres Jusuf Kalla, maka kami menilai bahwasanya hal itu tidaklah tepat. Apabila hal tersebut terjadi, maka ditakutkan pola sinergi pembangunan nasional dan pengembangan sektor perhubungan akan terbias begitu saja. Apalagi hal itu melibatkan tangan – tangan asing yang dipastikan memiliki kepentingan terhadap negara kita. Selain itu, aspek historis tidak dapat kita abaikan begitu saja, yaitu keterlibatan penerbangan nasional sebagai rintisan induk Garuda di era perjuangan kemerdekaan.
3. Sektor Energi dan Pertambangan
• Energi dan pertambangan adalah dua sektor yang tidak dapat dipisahkan. Pola pengelolaan kedua hal tersebut berkaitan erat dengan kemampuan anak bangsa dalam mensyukuri dan mengelola harta serta kekayaan bumi Indonesia.
• Kasus impor bahan bakar minyak mengingatkan kita bahwasanya sejauh mana bangsa dan pemerintah Indonesia mampu mengelola kekayaan alamnya khususnya minyak bumi. Cadangan minyak bumi kita sangatlah melimpah, bahkan untuk gas bumi ternyata kita memiliki cadangan yang terbesar di dunia. Namun, semua hal itu ternyata dikotori oleh tangan – tangan oknum yang sengaja memanfaatkan kondisi untuk kepentingan mereka sendiri, sehingga budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi budaya yang mewarnai dalam mensyukuri dan mengelola kekayaan bumi Indonesia.
• Rencana kebijakan pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berlandaskan pada Biaya Beban Pokok (BBP) yang memiliki kaitan erat dengan kenaikan BBM, ternyata kurang bijak. Sebenarnya upaya tersebut dapat dicegah dengan melakukan optimalisasi pembangkit listrik non-BBM (misal : PLTU, PLTA). Jika hal tersebut masih dilakukan, maka dapat dikatakan bahwasanya pemerintah tidak memiliki sense of crisis. Pasca-kenaikan BBM, rakyat dibebani dengan kenaikan biaya hidup sebagai imbas dari tingginya tingkat inflasi (lebih dari 14%). Selain itu, tingkat penyelesaian kasus – kasus yang terjadi di PLN belumlah cukup untuk membayar rencana kebijakan pemerintah dalam menaikkan TDL tersebut.
• Pencurian tambang oleh asing ternyata menembus angka yang cukup signifikan. Coba kita lihat berapa ratus trilyun emas Indonesia yang diboyong oleh Freeport ke Amerika. Lebih dari 260 trilyun uang Indonesia diambil oleh mereka. Belum lagi kasus pembelian 50,45% saham Chandra Asri oleh Temasek beberapa hari yang lalu. Padahal, Chandra Asri merupakan perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia. Apabila hal tersebut masih saja terjadi dan jika semuanya telah habis, apakah kita akan menggadaikan atau bahkan menjual negeri kita yang tercinta ini ? Semoga saja tidak. Amin...

Solusi
Sebagai langkah strategis yang menunjukkan pemerintahan yang pro-rakyat, maka pemerintah paling tidak harus melakukan:
- Audit proses Divestasi Indosat yang sarat dengan KKN dan melukai hati rakyat. Bagi pihak – pihak yang terindikasi mencari keuntungan, maka ambil kembali kerugian negara yang masuk ke kantong mereka serta jerat dengan hukum yang berlaku seadil – adilnya, dan perlu diperhatikan bahwasanya tindakan korupsi selain tindakan melawan hukum juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang menyengsarakan rakyat banyak.
- Segera lakukan peningkatan density daerah melalui USO (Universal Service Obligation) yang mampu mempercepat peningkatan sektor ekonomi makro. Perlu diketahui, saat ini negara kita hanya memiliki density sekitar 4%, padahal tetangga kita Singapura sudah mencapi kisaran 50%. Selain itu, jadikan parameter USO sebagai prasyarat mutlak dalam lelang frekuensi 3G.
- Segera wujudkan sistem hukum yang kuat, baik berupa undang – undang (regulasi) maupun kapasitas penegak hukum (regulator), dalam rangka pengelolaan sektor telekomunikasi, energi, dan perhubungan.
- Terkait dengan kasus dugaan mark up Telkom, maka kami berharap pemerintah mampu melihat lebih jeli. Jika terdapat pejabat pemerintah yang terlibat, maka kami menuntut pemerintah untuk dapat bertindak lebih adil dan proporsional, apalagi kasus tersebut tersandung masalah regulasi VoIP (Voice over Internet Protocol).
- Ganti aparat / birokrat BUMN yang tidak menunjukkan profesionalisme sebagai langkah konkret pemerintah terhadap pengelolaan BUMN strategis. Selain itu, upaya efisiensi dan efektivitas lembaga (BUMN) dianggap sebagai solusi alternatif yang tidak membebani rakyat secara umum.
- Tolak privatisasi BUMN ke tangan asing. Jangan sampai hajat hidup rakyat dipegang oleh asing yang dimungkinkan memiliki kepentingan terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia.

*) Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 05:29, ,




STT Telkom, akankah menjadi kenangan saja…

STT Telkom, akankah menjadi kenangan saja…
TW Yunianto*

Tower – tower tersisa dua, menghapus ironi masa lalu yang mengharu biru dalam sejuta kenangan panjang. Lingkungan yang semakin panas merefleksikan kondisi persaingan hidup yang semakin mengganas. Pembelajaran akan kehidupan seolah menjadi rutinitas tiada isi. Semua adalah retorika belaka....

Empat tahun adalah waktu standar bagi kita untuk menjalani kehidupan di kampus ini. Perjuangan panjang mulai dari kepala gundul (baca:ospek), sampai memakai topi toga adalah sesuatu yang tak bisa kita lupakan begitu saja. Rentang empat tahun telah memberikan kesempatan bagi kita untuk saling mengerti, saling mengisi, saling memahami, dan saling memaknai. Selama empat tahun itu pula kita mendapatkan sesuatu yang mungkin membantu diri kita dalam mengayuh masa depan.

Sesaat kita merenung sejenak. Segala duka dan suka mungkin pernah kita lewati dalam kehidupan di kampus ini. Mulai dari rasa bangga kuliah di kampus bonafit STT Telkom, sampai rasa kesal menunggu dosen pembimbing yang tak kunjung datang. Tumpah ruah rasa dan emosi seakan mengalir indah penuh warna. Akankah kita mampu mengulangi masa – masa kenangan tersebut ?

Segenap asa mungkin pernah kita keluhkan di kampus ini. Almamater yang sadar atau tidak sadar telah mengantarkan kehidupan kita seperti layaknya saat ini. Kita tidak bisa menyalahkan lingkungan yang telah membesarkan kita. Layaknya seorang ibu yang sayang kepada anaknya, namun juga seorang ibu yang hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan – kesalahan manusiawi.

Penyesalan mungkin selalu ada dalam dada – dada kita. Namun, saat ini yang diperlukan oleh bangsa dan intitusi ini adalah sosok pemuda – pemuda yang sarat dengan idealisme dan kreativitas nyata untuk sebuah perubahan ke arah perbaikan. Layakkah kita menyalahkan seorang ibu (baca:STT Telkom) yang saat ini sedang mencari jati dirinya ? Menginjak usia yang ke-15 ini, apa yang sudah diberikan kampus tercinta untuk bangsa ini ? Namun sebelum bertanya tentang hal itu, maka tanyakanlah kepada diri kita apa yang telah kita sumbangkan bagi institusi ini tercinta. Semua itu tak akan terlepas dari kita, sosok mahasiswa dan alumni yang selamanya akan terikat dengan yang namanya STT Telkom.

Mari kita mulai dari pertanyaan, “Kamu kuliah dimana ? Kamu sarjana lulusan mana ?”.
Semua jawabnya adalah, “STT Telkom”, apakah dengan bangga, malu, maupun bangga namun penuh dengan dendam kesumat yang membara.

Kawan – kawan, segenap rindu mungkin pernah kita ungkapkan terhadap institusi ini. Namun segenap kekesalan dan kekecewaan seringkali kita tumpahkan pula. Sadar atau tidak sadar, kita juga pernah hidup di sebuah komunitas STT Telkom. Segenap kesalahan yang ada di lingkungan institusi ini mungkin kita juga turut berkontribusi menciptakannya. Maka layakkah saat ini kita masih berdendam ria dengan institusi tercinta ini ? Yang harus kita pahami adalah, kesalahan bukanlah terletak pada lingkungan yang bernama STT Telkom. Namun, segala hal itu terletak pada individu – individu yang saat itu mungkin sedang memegang tampuk kekuasaan di institusi ini. Maka ketika kita masih memiliki nurani, kita tidak akan merasa menyesal, dendam, atau bahkan segala perasaan negatif apapun kepada institusi yang layaknya seperti ibu kita.

Saat ini, ibu kita (baca:STT Telkom) membutuhkan kontribusi dan pemikiran kita. Beliau sudah bertambah tua. Tidak layak bagi kita sebagai seorang anak melupakan begitu saja segala jasa orang tua, atau paling tidak orang yang pernah berjasa dalam hidup kita. STT Telkom baru saja mendapatkan sosok pemimpin yang baru. Ketua STT Telkom beserta pembantu ketua yang baru nantinya kita harapkan mampu memberikan atmosfir perubahan bagi kampus tercinta ini.

Kita tidak bisa berlepas diri. Kita tidak bisa cuci tangan. Kitapun juga tidak bisa balik kembali ke sebuah rahim mulia yang telah melahirkan kita sebagai insan – insan telekomunikasi. Walaupun saat ini arah masa depan tergantung pada diri kita masing – masing, namun satu hal yang harus kita ingat adalah ibu kita (baca:STT Telkom) tidak akan pernah menghapus kenangannya saat kita berada dalam buaiannya. Lantas apa yang telah kita berikan kepada ibu kita, yang mungkin saat ini kita masih berada dalam asuhannya, maupun kita yang sekarang sudah terlepas layaknya anak burung yang sudah mampu mengepakkan sayapnya menuju ufuk timur menyongsong mentari bangkit dari tidurnya.
Saatnya tunjukkan kontribusi, baik kita yang masih menjadi mahasiswa maupun alumni yang saat ini sudah tersebar di seluruh pelosok negeri, atau bahkan mereka yang saat ini berada di seberang samudera yang tak nampak di ufuk cakrawala. Mari kita sempatkan diri kita untuk memikirkan nasib dan masa depan dari intitusi ini. Kalaupun tak bisa satu hari, satu jam, atau bahkan satu menit, maka waktu satu hirupan nafas adalah anugerah yang mungkin bisa kita berikan kepada ibunda tercinta.

Viva STT Telkom....
Biarkan diriku mengetuk pintumu....
’Tuk lindungi dirimu dari orang – orang yang sengaja memanfaatkanmu untuk kepentingan pribadi mereka.
Satu, dua, tiga, kita ucapkan kembali ”Assalamu’alaika yaa habibi...”.
Selamat menjalani usia yang kelima belas tahun ini.

Assalamu’alaika yaa habibi... : Selamat dan salam semoga tercurah padamu wahai kekasihku (baca:STT Telkom).

*) Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 09:04, ,