“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Lagi – lagi Republik ini Dijual…..

Lagi – lagi Republik ini Dijual…..
Tri Wahyu Yunianto*

Milik Negara, Tidak Untuk Diperjualbelikan !!!
Kalimat di atas mungkin sudah menjadi hal yang biasa kita dengar. Namun sepertinya hal itu juga sudah menjadi hal yang kolot (baca:usang) bagi para pejabat republik ini sehingga dengan mudahnya norma tersebut dilanggar. Berapa banyak aset negara dan bangsa ini yang hilang entah kemana. Berapa rupiah uang bangsa yang menguap ditelan perut koruptor. Namun saat ini kita terbuai dalam mimpi panjang kita atas masa depan sebuah rezim yang sudah terlampau bobrok !
Sangat panjang perjuangan bapak (baca:pahlawan) kita dalam mendirikan republik ini. Mulai dari bergulat melawan Portugis, sampai akhirnya Nippon dan dilanjutkan dengan perjuangan melawan imperialis barat. Namun saat ini kita menyaksikan betapa mudahnya anak – anak muda bangsa yang memberikan aset republik ini ke tangan – tangan kapitalis barat. Jangan hanya bicara tentang jabatan, kekayaan, dan penghormatan saja ! Kita tidak bisa terbuai oleh indahnya menjadi juara I piala Thomas, kesuksesan sebagai tuan rumah KAA tahun lalu, atau bahkan keluhuran Soekarno di mata dunia sebagai bapak bangsa. Itu semua adalah masa lalu....!!!
Yang terjadi sekarang adalah, lepasnya Indosat, salah satu perusahaan telekomunikasi nasional yang dijual dengan murahnya (5 trilyun rupiah) ke tangan asing (baca:Temasek); dijualnya Chandra Asri, salah satu perusahaan petrokimia terbesar; dijualnya Papua melalui tangan Freeport; dirampasnya Sipadan-Ligitan; dibangkrutkannya megaproyek perusahan penerbangan nasional Dirgantara Indonesia; bahkan yang terakhir yang menggemparkan kita adalah dijualnya Pulau Bidadari beberapa waktu yang lalu seharga Rp 495 juta ke tangan salah satu warga Inggris bernama Lewan Dosky. Lucunya lagi, Dosky melarang para nelayan dan TNI untuk merapat di pulau Bidadari yang saat ini menjadi miliknya. Sandiwara siapa lagi ini...?!!
Mimpi apa para pahlawan yang saat ini sedang tidur di dalam kuburnya ?!
Tidak terbayang dan tidak diduga – duga, satu per satu aset republik ini terjual dan terampas oleh tangan – tangan asing. Lantas apa yang akan diberikan kepada anak-cucu kita kelak ?! Hutang yang menumpuk dengan bunga sekitar 200 trilyun pertahun, kualitas SDM yang rendah (bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun), prestasi korupsi dengan peringkat lima besar dunia, dan segudang prestasi lainnya.
Walaupun beberapa kali kita mendengar dan melihat ucapan para pemimpin republik ini untuk tidak terpengaruh oleh hegemoni barat, namun sudah seberapa jauhkah pemimpin kita mengaktualisasikan janji – janji serta ucapannya ? Atau malah semua itu hanya retorika belaka....
Namun satu hal yang harus kita ingat, bahwasanya mendirikan republik ini tidak bisa dengan diserahkan kepada orang lain. Kitalah yang harus mendirikannya !! Ataukah kita seorang pengecut layaknya sejarah Bani Israil yang telah melupakan sejarah bangsanya, merasa diri mereka sebagai budak yang selalu terbelenggu dan lupa terhadap keistimewaan – keistimewaan mereka yang tidak terdapat pada bangsa – bangsa lain. Cukuplah ucapan mereka kepada pemimpinnya menyadarkan kita dengan sebuah petikan yang amat khas, ”...Berangkatlah Anda dengan Rabb Anda dan berjuanglah berdua, sesungguhnya kami di sini menunggu...”. Cukup Sudah.... !!!

*Presiden Mahasiswa BEM-KBM STT Telkom, Bandung.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 07:54, ,




Surat untuk kekasih.....

Semalam, aku dipanggil oleh dewan terkait dengan masa kerjaku sebagai presiden mahasiswa. Tertulis dengan jelas disana 1 April adalah batas akhirku menjadi seorang presiden mahasiswa. Huhh... Namun ternyata tidak terhenti disitu kedua mata ini memandang. Disana ada permintaan secara implisit kepadaku untuk menyetujui skenario perpanjangan masa jabatan selama dua minggu. Sebenarnya permasalahannya buka di situ letaknya...

Aku ingin bertanya dalam hatiku, sejauh mana diri ini mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kampus ini ? Aku pun masih takut ketika diriku belumlah memberikan secercah harapan bagi KBM yang kita cintai bersama. Waktu satu bulan lebih sedikit kedepan yang tersisa mampukah melunasi segala hutang – hutangku kepada Allah dan rakyat yang telah mengamanahi jabatan ini kepadaku ? Selain itu, satu pertanyaan yang sering menghantui diriku adalah apa yang telah kuberikan untuk para kekasih – kekasihku yang duduk di masing – masing departemen dan biro ? Aku tak ingin mereka hanya mendapatkan rasa lelah, capek, penat, bosan, dan segala tumpah ruah emosi yang mereka keluh kesahkan....

Kalaupun diri ini punya kekuatan, niscaya akan kutransfer segala perasaan yang kurasakan. Bagaimana pemikiran – pemikiran yang seringkali bergejolak dengan segudang permasalahan, mulai dari pribadi, permasalahan kampus, sampai permasalahan bangsa yang seolah menjadi santapan nikmat inderawi. Apakah itu ancaman the capitalist hit man (negara – negara barat) terhadap bangsa kita yang telah menginvasi dari segala lini, baik sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan semuanya; permasalahan kampus yang juga semakin menjadi, mulai dari permasalahan ormawa yang saat ini setengah mati-setengah hidup, mahasiswa yang semakin tidak ‘memahasiswa’, permintaan advokasi oleh masyarakat, kampus yang semakin lama semakin terwarnai oleh perilaku hedon dan kemaksiatan (tempat nongkrong, mojok, minum-minuman); dan segala permasalahan yang saat ini masih menghias dalam relung sanubari. Dalam segala hal, menjadi keinginan diriku untuk bisa membisikkan suasana hati ini. Namun, akupun masih bingung dengan penala frekuensi yang kau pancarkan kepadaku....

Satu bulan ini, menjadi fokus untuk memperbaiki kekurangan. Kalaupun diriku masih diberikan umur, maka izinkanlah diri ini untuk memberikan segenap asa yang kumiliki kepadamu. Biarkan dirimu terbuka.....

Dalam segala hal, semua harus kita persiapkan. Termasuk umur yang selamanya akan menjadi sebuah rahasia Tuhan. Akupun berharap masih ada sisa waktu bagi kita untuk bercengkerama tentang cinta, hidup dan kehidupan. Biarlah mereka mengancam jiwa ini. Kalaupun mereka mampu membayar apapun dan siapapun untuk menebas kepala – kepala kita, maka yakinlah bahwa keyakinan kita tidak bisa terbeli oleh mereka. Biarlah ancaman itu senantiasa muncul. Mereka katakan tentang kematian, tapi mereka tidak bisa membuat kematian. Hanya ada dua pilihan bagi kita dalam mengusung kebenaran ini, apakah kematian yang mulia, atau hidup dengan bersanding kebenaran....
Kekasihku, sekian surat dariku.....

Diriku yang selalu mencintaimu,

-presiden-


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 05:29, ,




Separah Inikah Bangsaku…??!!

Separah Inikah Bangsaku…??!!
TW Yunianto*

Tsunami menghiasi langit Indonesia di akhir tahun 2004 mengawali langkah politik SBY menjadi presiden RI ke-7.
Lepasnya Sipadan-Ligitan sebagai bentuk lengahnya anak bangsa mengurus dirinya.
Bom Leuwi Gajah tak hanya menghenyakkan orang Bandung, tetapi seluruh negeri yang menggambarkan ketidakbecusan pemerintah mengurus sampah.
Ramainya skandal BNI yang membawa uang rakyat triliunan rupiah.
Rentetan tragedi hitam pilkada, mulai dari pemalsuan identitas, saksi palsu, politik uang, dan bahkan pembakaran fasilitas umum.
Pengerukan harta rakyat ratusan triliun pertahun lewat Freeport dan Indosat sebagai contoh pragmatis-nya bangsa Indonesia.
Isu – isu SARA, mulai dari Poso, Ahmadiyyah, Lia Eden, atau bahkan kasus lainnya yang identik dengan permainan intelijen dalam mengalihkan wacana.
Terealisasinya kenaikan BBM 180%, adanya beras impor yang masuk lebih dari 180 ribu ton, dan bahkan rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik 30 – 80 % yang berarti pembantaian rakyat kecil
Rencana terbitnya Majalah Play Boy versi Indonesia di negeri ini dengan alasan simbol kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Matinya ribuan rakyat Indonesia karena kelaparan di Yahukimo Irian Jaya, longsor di Purworejo, banjir di Mojokerto, Gempa Poso, Kapal karam di Lombok, atau kasus pembunuhan yang tiap jam ditayangkan melalui berita di televisi.

Apa lagi...? Tidakkah cukup hal itu menyadarkan kita....
Saudaraku, jika kita masih merasa sebagai manusia yang mempunyai nurani. Begitu banyak bangsa kita mendapatkan peringatan yang maha dahsyatnya. Mulai dari tragedi yang bisa kita rasakan secara langsung seperti contoh di atas, maupun tidak langsung seperti invasi barat terhadap pemerintahan kita. Mau atau tidak mau, hal itu senantiasa berjalan di tengah kelengahan kita sebagai seorang pemuda. Masih layakkah kita saat ini menggenggam tangan kita, membungkam mulut kita, duduk bersantai ria, sedangkan tiap hari bangsa kita disuguhi oleh perjamuan tragedi kemanusiaan.
Cukup sudah kita berpangku tangan, seolah menjadi orang bego dengan menganggap urusan itu adalah urusan pemerintah, masalah korupsi adalah urusan polisi dan jaksa, demonstrasi kerjaan para aktivis mahasiswa. Lalu apa yang kita bisa...
Negeri ini tidak butuh pemuda bodoh yang hanya memperhatikan dirinya sendiri, masa depannya yang penuh dengan mimpi kemewahan duniawi.
Apa yang kita punyai saat ini ? Hartakah; dengan beban hutang yang lebih dari 2.200 triliun. Sumber daya-kah; dengan adanya perampasan bahan tambang, mulai dari pasir laut sampai pasir mulia (emas) oleh asing. Atau bahkan kecerdasankah; dengan peringkat HDI di atas 100 diantara bangsa – bangsa di dunia.

Apa yang kita banggakan atas negeri kita saat ini ?
Jika Koes Plus bernyanyi ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman..”, maka realitanya adalah impor beras yang dilakukan oleh oknum pemerintah yang bekerja sama dengan cukong – cukong nakal, padahal stok beras yang ada di petani masih ada, sehingga tak ayal para gubernur/bupati/walikota melakukan penolakan besar – besaran yang diikuti oleh kemarahan Jusuf Kalla.
Jika teori ITU (International Telecommunication Union) menyebutkan penambahan 1 SST (Satuan Sambungan Telepon) dapat meningkatkan taraf perekonomian suatu bangsa sebesar 3%, maka bagaimana dengan Indosat yang telah dikuasai Singtel yang notabene milik Yahudi. Telkomsel yang keuntungannya (walaupun sedikit) masuk ke kantong mereka. Atau bahkan telekomunikasi di wilayah Indonesia Timur yang juga dikuasai oleh duet Bukaka (milik Jusuf Kalla) dan Singtel. Bahkan, beberapa hari yang lalu kita mendengar Singtel telah membeli lebih dari separuh Saham Chandra Asri (50,45%) yang saat ini dikenal sebagai perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia.
Sepertinya tulisan ini tidak mampu lagi menggambarkan kondisi bangsa yang sedang terpuruk, lemah mengadu kepada para pemudanya.
Kalaupun para pahlawan yang saat ini terbujur kaku di liang kuburnya masih memiliki air mata, maka kita dapat membayangkan betapa ngerinya Taman – taman Makam Pahlawan yang hanyut dalam tangisan syahdu mereka.
Sebenarnya kita yang bodoh, atau kita yang tidak sadar. Kalaupun bangsa ini jatuh ke tangan asing, maka kita akan ikut bertanggung jawab. Ketika semua telah habis, akankah kita akan menggadaikan atau bahkan menjual bangsa ini ke tangan asing ? Dimanakah amunisi – amunisi perubahan itu berada ketika kita saat ini hanya duduk dan diam di gudang mesiu. Senapan sudah siap untuk dibidikkan, laras-pun sudah terkokang. Maka kita siapkan diri kita untuk masuk dalam magasin – magasin perjuangan. Jangan biarkan peluru itu salah sasaran, atau bahkan membunuh pembidiknya sendiri....

*) Presiden Mahasiswa, BEM-KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 05:52, ,




STTTelkom, Sudah Saatnya Revolusi Total

STTTelkom, Sudah Saatnya Revolusi Total

TW Yunianto*

Satu – satu, daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Tak terdengar tangis, tak terdengar tawa
Redalah.. reda…
-Iwan Fals-

Ketika anak bertanya, maka jawablah. Jangan engkau bungkam dengan retorika…
Ketika anak menangis, maka kasihilah. Jangan engkau bentak dengan kekuasaan…
Ketika anak merayu, maka berikanlah kasih sayang.
Karena itulah jiwamu ada padanya.

Lorong waktu seolah tak mau beranjak dari singgasananya. Mengantarkan jiwa sang petualang ilmu mencari jati dirinya. Seolah apa yang bisa dilakukannya. Tidak ada makna… tidak ada suasana. Yang mampu mengharu biru dalam jiwa. Seolah hanya mengalir begitu saja, seperti kereta yang berjalan maju meninggalkan para bonek yang hendak menghampirinya…

Kampus ini, semakin tua, semakin renta. Namun hanya satu yang menjadi pertanyaannya. Apakah dirinya semakin menyadari akan eksistensinya, atau bahkan kehilangan makna. Kembali ke awal yang jauh dari cita – cita. Tersilap kata, tersapu fatamorgana. Hanya kata – kata yang teruntai mencoba jelaskan semua. Atas sebuah elegi yang turun, menghampiri para ksatria, yang saat ini sedang kehilangan arah, hendak kemana arah kapal ini dibawa.

Sebuah persembahan bagi lustrum ketiga.. Lima belas tahun sudah, kampusku berdiri megah disuatu pematang sawah, yang kelak menjadikannya sebuah kenangan indah yang terpatri dalam sanubari yang takkan tergantikan. Hanya kata – kata yang akan menjadi sebuah kesaksian…

STTTelkom, sebuah institusi pendidikan tinggi yang telah berani mengikrarkan dirinya untuk maju, bergelut di bidang telekomunikasi, yang nantinya akan meluhurkan harga diri bangsa. Sebagai sebuah teori, ketika bidang telekomunikasi tidak terkuasai, maka hanya ada satu kata, kebodohan akan mencengkeram dan akhirnya PENJAJAHAN akan berdiri dengan tegaknya. Bagaimana kita melihat hilangnya Sipadan – Ligitan dalam sekejap mata dikarenakan tidak adanya informasi yang memadai bahwa disanalah anak bangsa dahulu pernah mempertaruhkan nyawa dan raganya untuk sejengkal tanah yang kelak dipersembahkan bagi anak dan cucunya. Kembali lagi beberapa waktu yang lalu, ketika Miangas menjadi sebuah kontroversi, dimana seorang gubernur Sulawesi Utara yang menjadi pemimpinnya baru pertama kali menginjakkan kakinya di sana sejak republik ini didirikan. Lantas, apalagi yang akan hilang dari bangsa ini. Haruskah kita menjual harga diri bangsa karena satu persatu negeri ini telah hilang dimakan oleh sebuah virus yang bernama PENJAJAHAN.

STTTelkom, apakah sudah layak menjadi sebuah center of excellence di bidang telekomunikasi, ketika saat ini masyarakat (mahasiswa, alumni, karyawan, maupun dosen) tidak memiliki jiwa – jiwa telekomunikasi’ers yang mumpuni ? Apakah mengembangkan negeri ini hanya cukup dengan sebuah teori atau kontribusi sebagai seorang karyawan atau pekerja saja ? Allah saja memberikan kepercayaan kepada kita untuk menjadi seorang penguasa. Saya menjadi ragu jika institusi ini tidak mengembalikan kepercayaan dirinya sebagai komponen pengubah nasib bangsa.
Masih segar ingatan kita ketika terjadi suatu peristiwa yang menunjukkan begitu bodohnya penguasa negeri ini, ketika sebuah operator dijual dengan sangat murahnya kepada negeri asing yang notabene dengan sangat jelas sebagai bagian dari sebuah sistem kapitalis yang bernafsu untuk melakukan kapitalisasi umat manusia, termasuk sebuah negeri yang kaya raya, Indonesia. Dimanakah suara – suara lantang masyarakat kampus sebagai orang yang paling memiliki kapasitas untuk menyuarakannya ? Begitu parahkah generasi STTTelkom sekarang ini sehingga para tokoh – tokohnya, yang katanya para pakar telekomunikasi, tenggelam dalam sebuah nama Roy Suryo yang notabene bukan orang telekomunikasi ? Haruskah kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban akan kebodohan itu nantinya….?
Itulah selintas contoh….

Realitanya….!!
Rekan – rekan yang semoga Allah masih memberikan nurani. Saat ini institusi STT Telkom telah kehilangan arah. Dimanakah jiwa – jiwa pengabdian yang dulu pernah dicita – citakan oleh pendiri institusi ini ? Dimanakah rasa penghargaan atas sebuah amanah yang telah dipercayakan kepada segenap pihak yang seharusnya mampu membangun kampus ini ?
Kampus ini menderita sebuah sindroma akut, pelan tapi pasti ketika ketidaksadaran menimpa diri kita, maka dapat dipastikan nasib institusi ini akan menggapai gelar almarhumnya.
Saat ini, masyarakat kampus sedang harap – harap cemas menunggu atas sebuah keputusan dari para ‘pejabat langitan’ untuk menentukan kelak siapa yang akan menjadi nakhoda dari kampus ini. Cukup sudah jika para elit yang memiliki kewenangan tidak lagi memiliki sense of belonging atas kampus ini, BUBARKAN SAJA daripada nantinya menanggung dosa atas tuntutan dari anak generasi yang berteriak – teriak menyalahkannya atas kepongahan yang pernah dilakukannya dulu.
Ketika para calon penguasa kampus ini (Ketua STT, dkk) tidak lagi memiliki keinginan untuk memajukan institusi ini, maka mundur saja dari pada anak – anak ingusan yang berseragam putih biru menuntutnya mundur. Seorang pejabat kampus dibayar mahal untuk sebuah kedudukan yang amat mulia, dan menjadi konsekuensi logis baginya untuk membayar mahal atas jabatan yang diembannya dalam rangka memerankan dirinya sebagai tokoh panutan tanpa meninggalkan fungsi utamanya. Sudah seharusnya seorang Ketua STTTelkom mencurahkan segenap hati, pemikiran, dan raganya untuk kemajun institusi dan anak didik serta para pembantunya. Tidak ada artinya jika seorang STT-1 datang siang-pulang sore, pergi dijemput-pulang diantar, karena Beliau bukanlah seorang dakocan !!!
Ketika para pendidik tidak lagi menyadari hakikat dirinya, maka runtuhlah harga diri sekelompok generasi yang kelak menjadi tonggak bangsa. Seorang pendidik tidaklah hanya berfungsi sebagai pendongeng saja di depan kelas, namun lebih dari sekedar itu, pendidik adalah seorang pejuang yang memiliki satu rasa untuk sebuah masa depan mulia, tidak hanya baginya, namun juga anak cucu sebagai wujud dari sisi fitrahnya. Ketika nilai – nilai moralitas tidak lagi dijunjung olehnya, maka jangan harap sang anak mampu menjawab tantangan zaman. Jangan paksa mereka untuk membunuh para orang tuanya. Dan jangan pula ajari mereka tentang bunuh diri yang hanya mengantarkannya ke dalam neraka. Ketika sang pendidik berlaku pragmatis, maka jangan harap sang anak memiliki jiwa – jiwa idealis. Sakit rasanya ketika seorang anak melihat orang tuanya tidak memiliki kepribadian yang seharusnya diperankan. Apakah kita akan menyalahkan Tuhan ? Semoga tidak…
Kehidupan kampus-pun sepertinya mulai kehilangan kompas. Masih adakah diantara sekian dari mahasiswa yang ada memahami arti akan tujuan dari pembelajaran yang saat ini dilakukannya ? Atau bahkan yang lebih ironis lagi, sebuah melodrama skeptis yang mendudukkan fungsi kuliah sebagai wahana untuk menunjukkan ke-materialis-annya ? Lunturnya nilai – nilai kedewasaan yang semakin lama tergusur oleh budaya hedonisme tanpa nilai yang mengancam harkat mahasiswa sebagai seorang pemuda, dimana di pundaknya masa depan umat ini dipercayakan. Semakin terwarnainya kehidupan sekalangan mahasiswa dengan dunia senang – senang, berfoya dengan dalih menikmati masa muda, luntang - luntung tanpa arah. Apakah ini pantas dilakukan oleh seorang mahasiswa yang seharusnya menggelora jiwa – jiwa muda mereka untuk kejayaan jati diri dan bangsanya ? Di saat masyarakat pinggiran berebut segenggam beras yang tercampur kerikil, sesuap nasi yang berlauk garam, namun di sinikah para generasi muda tadi menatap masa depan yang penuh dengan persoalan dengan berfoya – foya, sekali lagi tidak….
Ketika ihwal itu terjadi, maka kelak siapakah yang bertanggung jawab ? Bangsa ini tidak bisa diwariskan kepada generasi – generasi hedon. Orang – orang pragmatis yang kelak tidak hanya Indosat saja yang dijual kepada kaum kapitalis, namun mungkin negara dan bangsa ini yang akan dijualnya.
Ketika para alumni yang keluar dari kawah candradimuka kampus ini tiada rasa memiliki, maka itu juga salah siapa. Apakah ketika kampus ini dibubarkan mereka tidak memiliki rasa kepekaan ? Lantas bagaimana sikap mereka tentang isu STT Telkom yang akan diakuisisi oleh ITB beberapa hari yang lalu ? Relakah kampus ini mati atau dirampas oleh pihak lain ? Apakah nurani ini tega membiarkan kenangan – kenangan indah yang teruntai hilang begitu saja dihapus oleh oknum yang tidak menginginkan kampus ini berdiri dengan paripurnanya…?
Sekali lagi, dimanakah letak center of excellence institusi ini ? Apakah mungkin center of excellence dengan 4000 mahasiswa cuma difasilitasi dengan jaringan internet berkekuatan 256 Kbps ? Idealnya untuk kampus STTTelkom, apalagi based on IT 5 Mbps adalah suatu keharusan.
Sepertinya sistem yang ada pada institusi ini sudah sedemikian sakitnya. Sehingga keinginan untuk mengeluhpun tiada kuasa. Ditengah berhasilnya PIMNAS, berbagai lomba yang mengantarkan anak negeri ke manca negara, namun ada satu pertanyaan yang mungkin kita sendiri yang bisa menjawabnya. Apakah hanya dengan itu masa depan bangsa ini ditatap ?
Usaha untuk mengembangkan institusi ini tidak lagi dengan ambisi – ambisi pribadi. Tidak lagi dengan saling mencaplok, saling mengalahkan. Diperlukan suatu sinergi yang mampu untuk mengumpulkan semua potensi yang ada di kampus ini. Sekali lagi yang perlu diperhatikan adalah tidak ada lagi prerogativitas sekelompok oknum atau bahkan perseorangan terhadap kepentingan dunia pendidikan. Pendidikan adalah aset, bukan investasi yang disengaja untuk menumpuk keuntungan atas orang per orang.
Maka kembalilah wahai Saudaraku, mari kita memikirkan kembali kondisi dan masa depan kampus ini. Semoga kontribusi kita memberikan kebanggaan tersendiri kelak ketika Tuhan memanggil jiwa kita nantinya ….
Bergerak, atau mati sia – sia….
Seperti pada malam-malam yang gelap, biasanya masih selalu tersisa satu dua bintang di langit. Begitulah para pahlawan dalam sejarah peradabannya. Bahkan, ketika sebuah peradaban mulai mendekati senja, menggelinding dari puncak kejayaannya menuju keruntuhannya, masih ada satu dua pahlawan yang tersisa diantara reruntuhan itu. [Anis Matta].

*) Presiden Mahasiswa BEM-KBM STT Telkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 00:18, ,