“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Pilkada Cimahi tidak memberikan pendidikan politik bagi masyarakat !


PRESS RELEASE
26/07/2007

Sebentar lagi masyarakat Cimahi akan dihadapkan dengan agenda besar yang akan menentukan nasib masyarakat Cimahi setidaknya untuk lima tahun kedepan. 8 September 2007 akan dicatat dalam sejarah masyarakat Cimahi, bahwa saat itulah pertama kalinya masyarakat Cimahi akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung untuk memilih pemimpin Kota Cimahi periode 2007-2012. Kontes politik yang diikuti oleh 3 pasang calon tersebut saat ini sudah mulai terasa atmosfirnya, dimana masing-masing kandidat telah menyiapkan amunisi politiknya dalam rangka memenangkan pertarungan.

Walaupun secara umum atmosfir Pilkada telah mewarnai dinamika politik kota Cimahi, namun sangat disayangkan ternyata momentum Pilkada tersebut masih menjadi konsumsi di tingkat elit yang identik dengan manuver politik untuk memenangkan kursi kepala daerah. Hal ini dapat dilihat dengan jelas ketika ada elemen calon yang menghalalkan cara-cara yang tidak sportif untuk memenangkan jagoan mereka. Tidak hanya sekedar perang spanduk yang menjual nama (walaupun menurut mereka hal itu bukanlah termasuk kategori kampanye), namun juga sudah mengarah kepada pengerahan ‘kelompok massa tertentu’ untuk ikut serta ‘memanaskan’ kontes pilkada. Buktinya, beberapa hari kemarin ditengarai terjadi aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok pendukung calon kepada pendukung calon lainnya (Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar 26 Juli 2007).

Pilkada untuk memilih walikota/wakil walikota, bukan preman.
Gradasi sangat menyayangkan beberapa tragedi yang akhir-akhir ini terjadi di kota Cimahi menjelang pelaksanaan Pilkada 8 September esok. Jika dihitung mundur, pelaksanaan Pilkada tinggal menghitung hari sehingga diperlukan usaha yang lebih serius dari para stake holder pesta politik lokal tersebut. Namun, usaha tersebut sepertinya akan menghadapi berbagai tantangan yang sangat kuat. Oleh karena itu, Gradasi menilai pelaksanaan Pilkada Cimahi 2007 sebagai berikut :
- Pilkada Cimahi rawan konflik, mengingat secara kewilayahan kota Cimahi hanya terdiri dari 3 daerah kecamatan. Kompleksitas karakter sosial masyarakat yang ditambah dengan fanatisme masyarakat terhadap masing-masing calon akan menghasilkan gesekan-gesekan sosial yang dimungkinkan terjadi di tingkat akar rumput. Sehingga sangat dimungkinkan gesekan politik akan mengarah kepada gesekan fisik.
- Belum adanya usaha optimal dari regulator (khususnya KPUD dan Panwasda) dalam upaya mewujudkan Pilkada yang benar-benar bersih dan demokratis, sehingga menghasilkan pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kurang tanggap dan tegasnya Panwasda terkait dengan berbagai pelanggaran yang terjadi, sehingga mengakibatkan elemen masyarakat yang harus ‘menyelesaikannya’ dengan cara serta metode mereka sendiri. Terlebih lagi, KPUD dirasa masih kurang perannya dalam sosialisasi agenda Pilkada sebagai wujud pendidikan politik kepada masyarakat.
- Sangat menyayangkan terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok pengusung calon tertentu. Perlu diketahui, bahwa Pilkada adalah untuk memilih kepala daerah, bukan memilih pemimpin preman. Oleh karena itu, Gradasi meminta kepada Panwasda untuk mengusut tuntas kasus tersebut secara hukum. Selayaknya tindakan-tindakan premanisme tersebut tidak boleh terjadi karena hanya akan mencederai demokratisasi Pilkada Cimahi 2007, sehingga dikhawatirkan akan memunculkan golongan masyarakat yang apatis terhadap agenda Pilkada tersebut.
Oleh karena itu, sebagai wujud partisipasi Gradasi dalam mewujudkan Pilkada Cimahi 2007 yang bersih dan demokratis, saat ini Gradasi sedang mengajukan verifikasi sebagai Pemantau Pilkada Independen. Selain itu, Gradasi saat ini juga sedang menginventarisir segala seluk beluk serta permasalahan Pilkada untuk kemudian akan digunakan sebagai senjata untuk mengawal pelaksanaan agenda Pilkada Cimahi yang bersih dan demokratis, yang harapannya akan menghasilkan pemimpin yang amanah sehingga mampu membawa perubahan ke arah perbaikan bagi kota serta masyarakat Cimahi umumnya.

Contact Person : Tri Wahyu Yunianto/Sekjen GRADASI (0856 223 1510)


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:25, ,




Pilkada langsung, saatnya mengembalikan demokrasi milik rakyat

Riuh renyah musim di negara kita tereposisi sudah, dimana musim kemarau tak lagi bisa ditebak demikian pula musim penghujan yang menghijaukan tanaman dan sawah ladang. Bagi sekalangan masyarakat, musim pesta demokrasi sepertinya telah sedemikian jauh menyihir mereka sehingga hijau sawah telah mulai tergeser dengan kemeriahan pesta demokrasi Pilkada langsung sebagai titik balik kembalinya demokrasi milik rakyat. Seperti itulah kiranya kondisi demokrasi di negeri kita yang boleh dikatakan memasuki imperium baru, dimana keagungan demokrasi mulai dirasakan kembali oleh rakyat yang setelah sekian lama ditipu serta dijejali oleh kekuasaan rezim yang tiran.

Meskipun demikian, kemeriahan demokrasi tidak seluruhnya dirasakan oleh rakyat yang notabene sebagai ‘pemilik’ demokrasi. Tak jarang demokrasi versi Pilkada langsung berujung dengan konflik lokal, yang tak hanya berdasar pada kepentingan politik, namun juga sudah merambah pada ranah ideologi, bahkan rasial. Sebutlah beberapa pesta pilkada langsung di beberapa wilayah yang harus diwarnai dengan kerusuhan, seperti pemilihan Bupati/Wakil Bupati Musirawas, Sumatera Selatan; pemilihan Bupati/Wakil Bupati Kaur yang juga di wilayah Propinsi Sumatera Selatan; serta tak kalah menariknya kontroversi sengketa hasil suara Pilkada Kota Depok yang sempat menuai perhatian dari berbagai kalangan. Menunjuk pada realita itulah setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa Pilkada langsung ternyata tak hanya mampu mengubah peta politik lokal, namun juga mampu mengubah tatanan masyarakat lokal. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya setidaknya dibutuhkan persiapan serta perhatian yang cukup serius karena Pilkada langsung membutuhkan biaya yang tidak sedikit alias mahal serta rawan konflik seperti yang terjadi di beberapa momentum Pilkada langsung yang ‘harus’ ditutup dengan sederet permasalahan tersebut.

Perlunya persiapan yang jelas dan transparan.
Setidaknya ada tiga komponen utama yang terlibat langsung dalam menyukseskan agenda pesta demokrasi lokal yang saat ini menjadi trend demokrasi di negara kita. Ketiga komponen tersebut meliputi calon kepala/wakil kepala daerah, regulator (KPU dan Panwas), serta masyarakat. Pelaksanaan Pilkada langsung yang carut-marut dapat dipastikan akan menimbulkan silang-sengketa antara para pelaku utama tersebut. Setidaknya dari beberapa kasus Pilkada langsung di berbagai daerah mampu memberikan pelajaran bahwa ternyata dibutuhkan persiapan yang matang untuk menyelenggarakan sebuah hajatan demokrasi rakyat tersebut. Keteledoran atau bahkan kesengajaan untuk mencederai proses dalam persiapan pelaksanaan Pilkada langsung akan berbuah fatal karena hal tersebut akan sangat bersinggungan dengan hak masing-masing pelaku Pilkada langsung. Ketidakcermatan atau bahkan sabotase pelaksanaan Pilkada langsung tersebut biasanya terjadi pada wilayah validitas data peserta pemilih, ambivalensi pemberlakuan regulasi, serta politik culas yang dimainkan oleh elit peserta Pilkada langsung. Hampir dapat dipastikan bahwa sederet konflik yang terjadi selama atau bahkan pasca-pilkada setidaknya terjadi akibat adanya salah satu atau sebagian dari ketiga faktor tersebut. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sebuah agenda Pilkada langsung yang benar-benar demokratis serta tidak diwarnai oleh kekerasan politik yang seringkali termanifestasi menjadi kerusuhan fisik, perlu kiranya setiap komponen yang terlibat langsung dalam agenda Pilkada untuk menjauhi berbagai macam faktor yang dimungkinkan mampu mencederai proses pelaksanaan Pilkada langsung.

Pilkada langsung sebagai wacana pendidikan politik masyarakat.
Lebih dari tiga puluh tahun masyarakat kita dikebiri hak-hak politiknya. Oleh sebab itu, saat inilah momentum yang sangat tepat untuk ‘membayar hutang’ hak politik masyarakat dengan cara memberikan ruang bagi masyarakat untuk menikmati atmosfir demokrasi yang telah sekian lama diliputi oleh awan gelap. Namun, konteks ‘membayar hutang’ hak politik tersebut bukan berarti membuka kran demokrasi yang sebebas-bebasnya, akan tetapi lebih berwujud dalam usaha mengarahkan masyarakat untuk memahami serta memaknai demokrasi dalam aplikasi riil di lingkungan kehidupan sosial politiknya sebagai sebuah komunitas masyarakat dan bangsa. Maka dari itu, pemberlakuan kebebasan berpolitik yang erat kaitannya dengan hak politik, sudah selayaknya membutuhkan arahan yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah tatanan demokrasi yang harmonis, dimana ekspektasinya tak lain terwujudnya cita-cita bersama.
Untuk mencapai semua tersebut, sekiranya perlu dipahami bahwasanya Pilkada langsung yang notabene sebagai pintu gerbang terwujudnya tatanan kehidupan suatu bangsa, dibutuhkan suatu komitmen bersama bahwa Pilkada langsung adalah momentum yang sangat strategis untuk memberikan pendidikan serta pemahaman politik kepada masyarakat. Kalaulah era sebelum Pilkada langsung dikenal dengan masa suram demokrasi, dimana rakyat senantiasa dieksploitasi oleh sekalangan elit golongan untuk kepentingan politiknya, maka saatnya era Pilkada langsung masyarakat diberikan pemahaman yang benar terkait dengan apa yang harus mereka perankan atas hak politiknya. Sesuai dengan makna demokrasi, bahwasanya rakyat yang memegang kendali utama untuk menentukan nasibnya, maka tak salah jikalau dalam Pilkada langsung rakyat juga diberikan haknya untuk menentukan pilihan nasibnya. Pilkada langsung merupakan representasi dari pintu awal masyarakat untuk menentukan masa depannya yang ditandai dengan pemilihan pemimpin mereka secara langsung dan (seharusnya) demokratis. Walaupun masyarakat yang menentukan kendali, bukan berarti masyarakat dilepas begitu saja untuk menggunakan hak politiknya, namun dibutuhkan penciptaan suasana yang kondusif untuk pelaksanaan pesta demokrasi tersebut yang membutuhkan peran dari berbagai pihak, sehingga terpilih pemimpin yang benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik, dan tentunya ditempuh melalui sebuah proses Pilkada langsung yang bersih serta demokratis.

Waspadai beruang ditengah keramaian ternak.
Meskipun dibutuhkan peran dari berbagai pihak, bukan berarti hal tersebut akan menjamin kelancaran pelaksanaan pesta demokrasi. Bahkan di berbagai Pilkada langsung yang telah dilaksanakan, ternyata ditemukan oknum-oknum yang sengaja bermain dengan menciptakan kondisi yang tidak nyaman yang bertujuan untuk mendapatkan kepentingan golongan mereka masing-masing. Bahkan sangat dimungkinkan, permainan tersebut dilancarkan secara terstruktur dan terencana yang tidak hanya melibatkan orang per orang saja, melainkan juga seperangkat strategi kotor yang menginfiltrasi kedalam berbagai macam aturan yang seharusnya memberikan jaminan keadilan bagi pelaku pesta demokrasi, khususnya bagi masyarakat. Jika kondisi tersebut terjadi, maka bukanlah sesuatu yang mustahil jika akhir dari sebuah agenda Pilkada langsung harus dibayar mahal dengan dramatika konflik yang sesungguhnya bisa dihindari, apalagi untuk sebuah Pilkada langsung yang ciri utamanya memiliki cakupan wilayah lokal serta tingginya dinamisasi manuver politik antar-peserta Pilkada langsung. Imbas dari dramatika konflik tersebut tak lain mendudukkan masyarakat sebagai korban, dimana awalnya bermula dari fanatisme pilihan politik yang kemudian bergeser menjadi gesekan nilai serta norma sosial yang seharusnya terangkum dalam ikatan persaudaraan. Akhirnya, kerugian politik terdiversifikasi kedalam kerugian ekonomi, budaya, serta harmonisme tata kehidupan sosial yang sebelumnya telah terbangun.

Wilayah antisipasi serta strateginya.
Arogansi politik yang merasuki pesta demokrasi lokal tersebut akan berbuah fatal jika dibiarkan serta tidak diantisipasi secara serius. Sudah seharusnya para pelaku kejahatan politik beserta para kompradornya tidak diberikan kesempatan sedikitpun untuk melancarkan aksinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran yang mendalam para pelaku Pilkada langsung utamanya masyarakat yang dapat ditempuh dengan pemberian pemahaman kepada mereka arti penting dari Pilkada langsung. Memang bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk memberikan pengertian tentang hakikat Pilkada langsung ditengah kondisi masyarakat yang sedang dililit oleh multi-masalah, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Namun setidaknya saat inilah kesempatan untuk memulai langkah panjang tersebut guna mewujudkan kondisi yang lebih baik dari yang ada saat ini.
Penanaman pemahaman yang utuh kepada masyarakat tentang arti pentingnya Pilkada langsung sepertinya juga harus diparalelkan dengan dibukanya sistem demokrasi setelah sekian lama terkungkung dan tertutup rapat tersebut. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang secara umum berkeinginan untuk membantu pelaksanaan pilkada yang demokratis sudah seharusnya disambut dengan tangan terbuka. Munculnya berbagai komponen masyarakat yang peduli dengan agenda Pilkada langsung sudah selayaknya mendapat apresiasi (utamanya dari para pelaku agenda demokrasi) sebagai mitra pelaksanaan pesta demokrasi lokal yang biasanya sarat dengan kepentingan. Setidaknya, kehadiran mereka diharapkan mampu mengkondisikan atau bahkan meminimalisir segala macam usaha yang bertujuan untuk mencederai proses pelaksanaan Pilkada langsung. Aneksasi oknum preman politik setidaknya bisa diimbangi dengan kehadiran mereka, sehingga legitimasi kekuasaan yang sebelumnya ditopang dengan politik uang dan politik preman tak lagi terjadi di era baru kehidupan demokrasi bangsa kita.
Saatnya mengembalikan demokrasi kepada rakyat selaku pewaris sah demokrasi yang telah sekian lama hilang. Merdeka !!!

[*] Kampanye media untuk persiapan Pilkada Bersih Kota Cimahi 2007.
** Mantan Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom Bandung, Sekjen Gerakan Pemuda Pro-Reformasi (GRADASI).


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 12:04, ,




Sebenarnya, siapa yang berhak untuk pandai?


Seperti biasa, sudah menjadi kebiasaan saya setiap pagi untuk mendengarkan diskusi ringan seputar isu aktual di radio kesayangan saya, RRI, setiap pagi antara pukul 06.00-09.00 WIB pada sesi Indonesia Menyapa. Pagi tadi, kebetulan topik yang diangkat adalah isu terkait biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal, padahal disatu sisi dihadapkan pada komitmen pemerintah terkait dengan kebijakan Wajib Belajar 9 tahun.
Perlu diketahui, bahwa di Jakarta, untuk bisa memasukkan seorang anak ke bangku sekolah (katakanlah SMP) favorit, setidaknya membutuhkan uang minimal 5 juta. Bahkan, di beberapa sekolah yang katanya unggulan mensyaratkan ‘sumbangan sukarela’ sekira 10 juta rupiah.

Data World Bank terakhir, rata-rata pendapatan orang Indonesia per harinya hanya sekira 2 USD, atau dengan kata lain, pendapatan orang Indonesia hanya sekitar 60 USD (Rp.540.000,- jika 1 USD=Rp.9.000,-) per bulan. Artinya, untuk mengumpulkan uang 10 juta, diperlukan sekitar lebih dari 18 bulan, dan itupun dengan catatan tidak ada pengurangan 60 USD tersebut untuk keperluan lain. Tetapi harus diingat, bahwa pendapatan 60 USD tersebut tidaklah mampu merepresentasikan pendapatan rata-rata seluruh orang Indonesia, mengingat sesuai dengan teori GNP, untuk dapat menaikkan angka GNP cukuplah dengan hanya membuat 1 orang kaya, tidak perlu menaikkan tingkat pendapatan seluruh penduduk. Sebuah kenyataan sebagai negara miskin apalagi jika kita bandingkan dengan GNP Singapura tahun 1960-an yang sudah menyentuh angka 480 USD, sementara saat ini sudah diatas 2.000 USD.
Sampai saat ini, sepertinya usaha pemerintah untuk memeratakan kesempatan mendapatkan pendidikan sepertinya hanyalah angan-angan belaka. Disatu sisi, pemerintah mencanangkan Wajar 9 tahun, sementara tidak ada langkah progresif yang ditempuh untuk mengakselerasi kebijakan tersebut. Bagaimana kita melihat realisasi anggaran pendidikan yang masih jauh dibawah layak (sekitar 11% dari total APBN). Ditambah lagi penyelewengan program PKPS BBM untuk pendidikan, belum lagi permasalahan BOS yang sampai saat ini belum tuntas.
Ada sebuah kesimpulan, bahwa sepertinya pemerintah belum sadar jikalau pendidikan adalah sebuah investasi bangsa masa depan. Realisasi anggaran yang belum menyeluruh, mencerminkan bahwa pemerintah masih melihat anggaran pendidikan sebagai salah satu cost dari pos anggaran. Padahal, jika kita melihat secara lebih jernih, alokasi anggaran pendidikan tak lain sebagai bentuk investasi SDM masa depan. Satu hal pula yang harus kita sadari bersama, bahwa rumitnya permasalahan bangsa saat ini indirectly merupakan imbas dari ‘salah asuhan’ dunia pendidikan yang menyebabkan terjadinya keterpurukan kondisi di segala bidang.
Mayoritas anggaran yang disusun pemerintah bukanlah diorientasikan untuk memberikan kesempatan bagi republik ini untuk berumur lebih panjang dengan daya dukung SDM yang handal. Boleh dikatakan, 70% alokasi anggaran APBN/APBD kita habis tersedot untuk biaya rutin yang berputar di tangan para birokrat serta tidak langsung memberikan dampak kepada masyarakat. Sisa 30% pun seringkali masih diembat juga melalui praktik-praktik KKN yang terlegalisasi dibalik peraturan, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Sementara, hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak mulai terkebiri dengan realita dunia pendidikan yang semakin menunjukkan elitisme golongan.
Pendidikan untuk rakyat hanyalah slogan masa lalu, dimana saat ini dunia pendidikan hanyalah bisa diakses oleh orang-orang berada yang memiliki kecukupan materi.
Liberalisasi dunia pendidikan, setidaknya telah membuat diferensiasi 'accessor' pendidikan itu sendiri. Semakin mahalnya biaya pendidikan, secara tidak langsung akan membatasi ruang gerak masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga kemungkinan yang muncul adalah adanya orang yang tidak niat sekolah namun mampu sekolah karena bisa membayar, serta adanya orang yang ingin sekolah namun tidak mampu karena tidak bisa memenuhi persyaratan administratif (baca: biaya) pendidikan. Kalaulah nantinya para golongan elit priyayi yang bisa sekolah namun tidak niat tersebut diprospek untuk menjadi pemimpin bangsa masa depan, maka sulit untuk dibayangkan bagaimana gambaran nasib bangsa ini 40-60 tahun kedepan. Potret buram bangsa ini ternyata bukanlah terletak pada penderitaan kala revolusi 1945, namun kesuraman masa depan yang penuh dengan mimpi buruk, dimana saat ini sendiri nasib bangsa kita sudah cukup buruk untuk dikatakan.
Liberalisasi dunia pendidikan tak lain merupakan lemahnya ideologi aparat pemerintahan kita saat ini. Ideologi yang sudah terlanjur liberal menjadi permasalahan tersendiri selain berbagai permasalahan multi-sektoral bangsa kita. Benar apa yang menjadi tesis Max Holkheimer yang mengatakan bahwa era liberalisasi adalah era dimana manusia diperbudak oleh modal dan kapital, sehingga, bukti bahwa kondisi tersebut benar-benar ada dimana dunia pendidikan kita hanyalah ditentukan oleh para kaum borjuis yang tak lain adalah mereka yang memiliki cukup uang untuk membayar tiket untuk menjadi orang pandai. Sementara bagi mereka yang tidak beruntung memiliki kekuatan finansial, menjadi penonton sepertinya sudah cukup beruntung walaupun kenyataannya hanya sekedar menonton pemain yang adu jotos karena benturan kepentingan. Namun tak menutup kemungkinan pula, suatu ketika para penonton tersebut harus diusir dari arena pertandingan, mengingat untuk menonton saja mereka tidak punya tiket. Maka, bagian tanah air yang mana yang saat ini masih bisa tersisa untuk mereka kaum dhuafa, apalagi ketika tanah untuk mencerdaskan mereka sudah tidak ada lagi meskipun sejengkal saja.
Pendidikan bagi bangsa Eropa adalah kesempatan dimana rakyat bisa mendapatkan kenaikan derajat intelektual, sosial, dan ekonomi. Namun di negeri kita, dunia pendidikan ternyata tak ubahnya tabir yang memisahkan satu golongan dengan golongan yang lain, yang kemudian bagi mereka yang tidak beruntung akan menjadi pihak yang tertindas dan dikorbankan. Semoga saja hal tersebut bukanlah harapan, apalagi menjadi kenyataan.
Allahua’lam


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 09:44, ,




Siapa yang bodoh sebenarnya?


Akhir-akhir ini, spekulasi yang muncul di tingkat elit terkait dengan tragedi Lapangan Merdeka, dimana SBY yang saat itu ‘disuguhi’ tarian RMS, mulai mengemuka. Beberapa pengamat menyatakan bahwa tragedi tersebut disinyalir karena lemahnya kekuatan intelijen kita. Namun statement tersebut dibantah keras oleh Syamsir Siregar yang menyatakan bahwa BIN sudah mencium gelagat RMS, namun aparat yang ada di lapangan (TNI dan Polri) ternyata tidak mampu menangkap sinyal tersebut. Drama tersebut semakin menarik ketika pucuk pimpinan TNI dan BIN saling tuding dan berlepas tanggung jawab, sementara Polisi sebagai penguasa tertib sipil menjadi kambing hitam. Bahkan beberapa waktu yang lalu, sesepuh intelijen, Soeripto, lewat komentarnya yang tajam sempat mengatakan bahwa tragedi Lapangan Merdeka adalah wujud dari kebodohan intelijen, khususnya Polri selaku penguasa tertib sipil.

Sore tadi saya sempat mendiskusikan masalah tersebut dengan seorang rekan mantan aktivis 1966. Saya sangat tertarik dengan apa yang beliau utarakan, bahwa politik di tingkat elit adalah politik kepentingan. Oleh karena itu, tidak terlepas kemungkinan bahwa tragedi Lapangan Merdeka adalah wujud dari adanya konflik kepentingan. Siapa yang menang dan siapa yang kalah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditebak. Namun setidaknya, rakyat yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa pastilah yang menjadi korbannya.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi terkait dengan peristiwa Jum’at lalu tersebut. Yang pertama, bahwa dalam dunia intelijen, informasi senantiasa bersifat privat. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh sejauh mana tingkat kepentingan yang ada. Kita kembali teringat ketika John F. Kennedy yang tewas ditembak pada tahun 1963? Ternyata pelaku utama pembunuhan tersebut adalah CIA yang tak lain intelijen negara yang dipimpinnya. Sekalipun presiden, namun apabila tidak ada keberpihakan kepentingan disana, maka akan sangat dimungkinkan seorang presiden tersebut tertutup kemungkinannya untuk bisa mengakses informasi intelijen. Artinya, bisa jadi bahwa tragedi Lapangan Merdeka adalah konspirasi intelijen untuk mendiskreditkan SBY. Sampai saat ini kita tahu, bahwa penguasa BIN tak lain adalah ‘orang-orang hijau’ (baca: militer). Walaupun SBY adalah seorang militer, namun dikalangan keluarga besar ABRI (baca: TNI) SBY adalah sosok militer yang lemah dan cenderung ‘demokratis’ (baca: plin-plan). Sehingga, beberapa waktu yang lalu sempat muncul gerakan nurani bangsa yang digalang oleh para jenderal ‘reformis’ yang bertujuan untuk ‘mengakselerasi’ demokratisasi di negeri ini. Tak kalah dari manuver tersebut, beberapa waktu yang lalu komisi I DPR RI juga didatangi oleh beberapa mantan jenderal yang intinya menyatakan ketidakpuasaannya atas kepemimpinan SBY selama ini. Bagi saya hal itu cukup merepresentasikan pihak yang merasa intoleran lagi atas keberadaan ‘tentara demokrat’ untuk memimpin negeri ini.
Yang kedua, tragedi Lapangan Merdeka bisa jadi adalah rekayasa SBY bersama intelijennya. Kedatangan SBY di Maluku yang seharusnya sudah diketahui oleh aparat kita (baca: intelijen), seharusnya sudah mampu tergambar dalam peta keamanan, apalagi untuk standar pengamanan kepala negara yang memungkinkan membahayakan keselamatannya. Namun ternyata tragedi tersebut berlangsung secara bebas hambatan, yang berarti besar kemungkinannya ada pihak ‘sponsor’ yang membuat para penari tersebut dengan mudahnya masuk tanpa halangan, bahkan sampai mengibarkan bendera di depan SBY. Oleh karena itu, jika kemungkinan ini benar, berarti permainan SBY dan intelijen tersebut adalah sebagai langkah pengalihan wacana, apalagi dalam waktu dekat akan dilangsungkan interpelasi nuklir Iran dan lumpur Lapindo. Permainan tersebut semakin menghangat ketika elit partai tertentu masuk serta ikut berperan dalam mendorong ‘suksesnya’ parodi tersebut.
Yang ketiga, memang benar bahwa aparat kita adalah aparat yang cukup lemah, baik ditinjau dari sisi ideologi, moralitas, sampai tingkat kesejahteraannya. Tidak ada lagi kemurnian ideologi, sementara yang tersisa adalah kemurnian kepentingan. Moralitas hanyalah formalitas belaka, yang dengan sekejap hilang tertimbun uang dan kursi kekuasaan. Tidak ada yang tidak mungkin akan adanya birokrat, baik sipil maupun militer, yang memiliki tujuan tertentu dibalik tragedi tersebut.
Yang keempat, tragedi Lapangan Merdeka kemungkinan menjadi ajang yustifikasi keberadaan kelompok separatis, sehingga membuka kemungkinan digelarnya darurat sipil, atau bahkan darurat militer seperti yang pernah diterapkan di Aceh karena adanya gerakan separatis merdeka. Dengan adanya hal tersebut, akan sangat memudahkan bagi elit kekuasaan untuk membuat ‘perhitungan politik’ dalam rangka menyelamatkan bangsa, walaupun secara pribadi saya tidak begitu sepakat dengan konteks tersebut, bahwa realitanya yang ada adalah penyelamatan kepentingan. Logika tersebut muncul dari simpulan ‘keberhasilan’ penuntasan GAM Aceh yang mendudukkan SBY menjadi pahlawan, sampai akhirnya menjadi bakal calon penerima nobel perdamaian. Dengan adanya komoditas RMS, akan sangat terbuka sekali munculnya pahlawan baru yang mampu menuntaskan separatis RMS dengan cara sedemokratis mungkin. Bahkan bisa jadi SBY yang akan menjadi pahlawannya, mengingat pamor SBY semakin hari semakin menurun. Yustifikasi adanya kelompok separatis di satu sisi memunculkan emosi tersendiri di kalangan masyarakat, namun disisi lain merupakan komoditas yang sangat menguntungkan bagi elit untuk menjadi pahlawan-pahlawan baru yang akhirnya tujuannya hanyalah kekuasaan belaka.
Apapun kemungkinan-kemungkinan yang ada, setidaknya ada satu hal yang harus kita yakini, bahwa saat ini di negeri kita sedang dilanda krisis etika politik. Ryaas Rasyid sempat mengungkapkan, bahwa selayaknya negeri kita memiliki Uundang-undang khusus yang mengatur tentang etika politik. Kegagapan yang terjadi bukanlah karena negeri ini masih muda jika dilihat dari tingkat usia, namun kegagapan yang terjadi tak lain disebabkan oleh adanya latah politik yang dijadikan madzhab oleh kebanyakan elit politisi kita. Sudah selayaknya dominasi elit politik yang kebanyakan diambil oleh generasi tua untuk segera diserahkan kepada kaum muda, atau dengan kata lain, kerusakan ideologi dan moral politik bangsa harus segera kita akhiri dengan kedewasaan untuk memilih dan sadar, dimana yang tua memilih untuk segera turun dan bertobat, serta rakyat segera menyadari akan haknya untuk dipimpin oleh pemimpin yang amanah, bukan hanya karena kekuasaan semata. Semoga kebodohan tidak menjangkiti rakyat kita. Allahua’lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:55, ,




Kesiapan Pilkada Cimahi Dipertanyakan


PRESS RELEASE
2/08/2007

Tiga puluh tujuh hari lagi masyarakat Cimahi akan menyalurkan aspirasinya dalam agenda Pilkada Langsung untuk memilih walikota/wakil walikota yang akan memimpin kota Cimahi untuk lima tahun kedepan. Namun, sejauh manakah persiapan yang dilakukan untuk menyukseskan agenda tersebut? Berikut Gradasi menyampaikan hasil riset lapangan yang dilakukan pada paruh kedua bulan Juli 2007.

Berdasarkan data BPS tahun 2006, dimana jumlah penduduk Cimahi sebesar 506.250 jiwa dimana komposisi mayoritas (70%) berumur 17 tahun ke atas, serta dengan asumsi angka peningkatan penduduk kota Cimahi sebesar 2% per tahun (www.cimahikota.go.id), maka pada tahun 2007, jumlah penduduk kota Cimahi dapat diperkirakan sebesar 516.375 jiwa. Apabila prosentase jumlah penduduk yang berumur diatas 17 tahun diasumsikan sama dengan prosentase pada tahun 2006 (70%), maka setidaknya didapatkan jumlah penduduk yang berumur 17 tahun keatas (penduduk pemilih potensial) sebesar 376.954 jiwa, dimana angka tersebut tak lain merepresentasikan jumlah penduduk yang masuk DPS. Bila diambil tingkat ketelitian (confidence interval) sebesar 95% serta tingkat error sebesar 5%, setidaknya akan diperoleh jumlah penduduk yang masuk dalam DPT yang nilainya dapat ditoleransi pada rentang 367.530-386.378 jiwa. Namun pada kenyataannya, jumlah DPT yang telah disahkan melalui SK KPUD No.13 tahun 2007 hanya sebesar 339.751 jiwa, atau dengan kata lain sebuah angka yang jauh sekali bila dibandingkan dengan batas bawah dari nilai toleransi. Nilai tersebut juga masih lebih kecil dibandingkan dengan data pemilih kota Cimahi pada Pemilu Presiden tahun 2004 yang ternyata nilainya lebih besar (341,050 jiwa). Sehingga menjadi sebuah pertanyaaan, apakah suatu hal yang wajar jika tempo tiga tahun ternyata mampu mengurangi jumlah penduduk jika realitanya rata-rata pertumbuhan penduduk kota Cimahi sebesar 2%? Padahal selama kurun waktu tiga tahun terakhir kota Cimahi tidak terdapat mass destruction maupun wabah penyakit yang mampu menyebabkan mortalitas massal.
Selain itu, berdasarkan survei Gradasi pada pertengahan Juli 2007 terhadap 450 responden di 15 kelurahan dengan metode random sampling, didapatkan hasil bahwa prosentase masyarakat yang mengetahui adanya agenda Pilkada Cimahi sebesar 65,3%, tidak tahu sebesar 33,8%, serta abstain sebesar 0,9%. Diasumsikan jumlah responden 450 orang tersebut mewakili angka DPT (339.751 jiwa), maka dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk yang tidak mengetahui adanya Pilkada cimahi 2007 sebesar 114.836 jiwa.
Oleh karena itu, berpijak dari hasil riset diatas, Gradasi berpendapat :
- Terdapat kejanggalan besaran jumlah penduduk yang berhak menyalurkan suara dalam Pilkada, atau dengan kata lain validitas DPT dipertanyakan.
- Kurangoptimalnya peran KPUD dalam mensosialisasikan agenda Pilkada kepada masyarakat.
- Lebih dari sepertiga masyarakat Cimahi belum mengetahui adanya agenda Pilkada. Jika kondisi tersebut tidak berubah sampai dilaksanakannya pencoblosan, maka hasil Pilkada masih belum dapat dikatakan mampu merepresentasikan aspirasi masyarakat Cimahi.
- Jauhnya jumlah penduduk yang tercantum dalam DPT terhadap batas nilai toleransi, maka akan sangat dimungkinkan Pilkada Cimahi sarat dengan kecurangan.

Contact Person : Tri Wahyu Yunianto/Sekjen Gradasi (0856 223 1510)


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 09:46, ,