“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Incognito

Incognito*
TW Yunianto**

Kita mengatakan biru terhadap langit, walaupun sebenarnya langit adalah dimensi tak berwarna tanpa batas. Kita mengatakan biru terhadap gunung yang sebenarnya hijau akan rerimbunan daun pepohonan. Kita juga mengatakan bahwa api itu panas dan es itu dingin. Itulah persepsi kita sebagai seorang manusia.
Persepsi-persepsi dalam pikiran kita sebenarnya merupakan sebuah awalan dalam menginisiasi segala reaktivitas indera kita. Namun, seringkali kita menempatkan persepsi hanya sebagai sesuatu yang bernilai normatif. Artinya, kita menjabarkan persepsi secara formal, sehingga yang terjadi adalah penjabaran kaku yang membuat diri kita menjadi tidak nyaman. Termasuk persepsi dalam menerjemahkan cita-cita hidup kita.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa kuliah adalah tempat untuk belajar, mencari gelar, dan akhirnya menjadi seorang karyawan atau pejabat dengan gaji tinggi dan status kehormatan. Sehingga, mungkin persepsi yang muncul dalam diri kita hingga saat ini adalah aktivitas kita kuliah hanyalah untuk mencari nilai bagus yang nantinya akan kita pergunakan untuk melamar pekerjaan di perusahaan/instansi yang bonafide, akhirnya kita dapat gaji besar, hidup enak. Sepertinya itulah kenyataan di masa ‘kemerdekaan’.
Kita mengatakan Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, adalah orang-orang intelektual. Mereka adalah orang kuliahan. Pada zaman mereka, untuk menjadi orang-orang kuliahan tidaklah mudah. Untuk bersekolah hingga tingkat dasar saja susah, apalagi kuliah. Namun ternyata, mereka bukanlah seorang insinyur dengan gaji tinggi, doktorandus dengan mobil mewah, atau doktor dengan jabatan mentereng. Mereka pejuang-pejuang idealisme yang sempat merasakan nikmatnya menjadi narapidana. Bahkan Soekarno pernah tinggal di prodeo Sukamiskin, tetangga kita di Bandung utara. Itulah sekelumit kisah para sarjana tempo dulu.
Kita adalah calon sarjana. Namun menjadi pertanyaan bagi kita, seperti apa persepsi dan cita-cita akan kesarjanaan kita ? Kaum sarjana saat ini tidaklah lagi dipandang sebagai kaum elitis. Banyak sekali masyarakat intelektual ini hidup di sebuah negeri yang kaya raya, namun hampir bangkrut (mengutip perkataan Bung Hamzah Haz). Sarjana sebagai kaum intelektual telah memenuhi bangsa ini yang dahulu ketika zaman Soekarno cs masih sangatlah langka. Kenyataannya, seorang sarjana yang bernama Soekarno bersama beberapa temannya mampu membuat sebuah goresan emas kemerdekaan bangsa kita dalam kertas sejarah Indonesia. Sedangkan kita ?!
Soekarno lulusan ITB, kita pun juga kuliah di sebuah perguruan tinggi yang tak kalah kualitasnya dengan ITB. Kita mempunyai modal yang sama. Namun kalau boleh saya katakan, kita kalah dalam menerjemahkan persepsi dan cita-cita. Seorang Soekarno muda telah belajar tentang ideologi Islam, Komunis, dan Kapitalis. Dia belajar filsafat, sastra, dan teknik. Pengetahuannya luas, serta lebih dari itu, cita-citanya pun juga luas. Dia belajar politik. Dari belajar politik dia mampu menyusun gagasan-gagasan kenegaraan. Dia belajar filsafat. Dari filsafat dia mampu berpikir secara konseptual dan bijaksana. Dia belajar sastra. Dari belajar sastra dia mampu mentransformasikan ide dan gagasannya melalui bahasa yang halus dan mudah dimengerti. Dari semua itu, dia bersama teman-temannya telah mampu menyusun sebuah konsepsi ketatanegaraan yang selanjutnya disebut Indonesia.
Sedangkan kita ? Kita adalah mahasiswa. Sama seperti Soekarno dan rekan-rekannya. Hanya saja, sampai saat ini kita masih disibukkan dengan idealisme-idealisme sempit kita. Kita disibukan dengan diktat demi diktat, praktikum demi praktikum, dan absensi demi absensi. Sebuah standar normal mahasiswa. Kita masih terlalu disibukkan dengan berwacana ‘saya mau kerja dimana’,’berapa nilai saya ?’, dan ‘nanti gaji saya berapa’. Itulah dialektika kita saat ini. Meskipun kita mengatakan, saya seorang aktivis, saya seorang organisatoris, namun ketika aktivitas-aktivitas itu hanya digunakan untuk mengisi waktu luang, melengkapi curriculum vitae, mencari popularitas, dan sebagainya; maka itu tak lebih dari sekedar goresan di atas air. Membentuk sementara, tidak membekas, dan sia-sia.
Soekarno dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan ilmu, pembelajaran, serta kondisi penuh tekanan. Persepsinya mampu bekerja melihat realita dan selanjutnya mampu mengartikulasikan gagasannya menjadi langkah nyata. Kita pun mungkin juga sama. Berbagai program kita ikuti untuk membuat diri kita menjadi cerdas. Orientasi mahasiswa, responsi kuliah, mentoring agama, atau bahkan diskusi informal sering kita ikuti. Namun, ternyata itu semua belum mampu membawa kita untuk memahami peran-peran kita. Lantas, dimana realisasi program-program yang kita ikuti tersebut dalam rangka membuat kita menjadi seorang mahasiswa cerdas ?
Kita seringkali mengklaim kuliah adalah tempat untuk mencari ilmu, namun yang terjadi di lapangan, kenyataannya kuliah hanyalah dijadikan wahana untuk mencari nilai. Itu memang tidak salah. Tapi saya kira orang yang lebih cerdas akan mampu menerjemahkan lebih dari itu. Ketika kita melihat sejarah masa lampau, dalam hal ini sejarah Islam, para generasi sahabat Rasul umumnya adalah orang-orang umum. Artinya, dari sisi status sosial, mereka bukanlah golongan bangsawan. Tapi ternyata, mereka mampu membuat sebuah peradaban besar yang masih eksis hingga sekarang. Mereka tidak melalui bangku kuliah. Tidak ada gelar kesarjanaan pula. Hanyalah madrasah Arqam yang menjadi tempat belajar formal mereka. Namun yang menjadi perbedaan dengan kita, seperti yang diutarakan Sayyid Quthb, bahwa mereka menuntut ilmu tidak hanya untuk sekedar tahu, tetapi untuk diaplikasikan dalam kerja-kerja nyata. Sedangkan kita sekali lagi masih disibukkan dengan pikiran-pikiran masa depan pribadi kita yang penuh dengan ketidakpastian.
Bangsa kita telah membayar dengan harga mahal akan sebuah status kemerdekaan dan kedaulatan. Mereka tidak hanya membayar dengan recehan rupiah, atau kepingan koin emas saja. Namun mereka juga melunasinya dengan nyawa mereka. Itu semua dilakukan tanpa nota atau selembar kwitansi. Tidak ada pula perjanjian dalam ‘jual beli’ tersebut. Artinya, mereka rela atas pembelian sebuah hakikat kemerdekaan dan kedaulatan. Namun seringkali kita tidak menyadarinya.
Menjadi mahasiswa menurut saya juga sebuah harga mahal. Secara materiil, kita atau orang tua kita telah mengeluarkan rupiah yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan juta, atau bisa juga lebih jika kita menjadi mahasiswa dengan fasilitas yang wah dan super mewah. Tidak setiap orang mampu mendapatkannya. Namun, harga mahal itu akan menjadi sesuatu yang tidak berharga ketika kita hanya menjadi beban bagi bangsa ini nantinya. Selain jumlah pengangguran yang ternyata membuat status negara kita menjadi sebuah negara miskin, ternyata ada juga para sarjana-sarjana ‘cerdas’ yang membuat bangsa kita tidak hanya semakin miskin, tetapi juga semakin rusak dan semakin bangkrut. Itulah para koruptor. Mungkin gelar mereka tidak hanya satu. Semakin banyak gelar akademik ternyata membuat mereka semakin bernafsu untuk merusak bangsa ini. Para sarjana oportunis itu telah mengubah bahasa-bahasa politik menjadi bahasa-bahasa licik dan tipu muslihat, bahasa kemakmuran ekonomi menjadi penindasan kaum lemah dan kapitalisasi golongan, serta bahasa hukum menjadi privasi milik para penguasa. Para kaum marjinal yang didominasi oleh kaum pinggiran juga tak mau kalah. Mereka mengubah bahasa sosial menjadi bahasa kriminal dan kerusuhan. Itupun karena mereka merasakan sebuah kecemburuan sosial atas ulah para kaum sarjana ‘cerdas’ itu. Tak jarang pula mereka juga dimanfaatkan oleh para sarjana-sarjana tadi untuk kepentingan mereka. Menciptakan konflik untuk menyelamatkan kedudukan.
Kaum sarjana dalam konteks di atas dapat kita gambarkan dalam sekeping mata uang. Di satu sisi mereka berperan sebagai penyelamat, dan di sisi lain mereka adalah kaum vandalis, merusak bangsa dan tatanan sosial. Kaum vandalis terisi oleh orang-orang yang memikirkan hakikat egosentrisnya. Mereka hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Dengan gelar kesarjanaannya, mereka (maaf) beronani ria dengan masa depan diri mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang zalim yang senantiasa berorientasi pada kepentingan duniawi. Mereka telah merampas hak hidup orang lain untuk bisa hidup aman dan sejahtera. Ketika kerusuhan menjadi sebuah pembantaian masal, korupsi telah merampas harta rakyat, sehingga banyak rakyat yang mati kelaparan, maka mereka tak lain adalah penjahat kemanusiaan. Sementara, orang-orang yang menjadi pahlawan untuk kaumnya ditindas dan disiksa, tak jarang pula mereka harus rela meregang nyawa untuk sebuah idealisme salihnya karena landasan moral dan keyakinan mereka.
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang, kekuatan apa yang telah kita miliki ketika diri kita mengatakan sebagai seorang mahasiswa, calon sarjana ?! Kita bisa mengatakan bahwa kita menguasai disiplin ilmu secara teoritik dan mendetail. Tapi apakah hanya dengan modal itu kita membangun peradaban ? Kita mungkin mengatakan bahwa diri kita memiliki sederet prestasi dan pengalaman organisasi. Namun apakah hanya dengan itu pula kita membangun bangsa ini ke depan ? Atau bahkan kita mengatakan menguasai ilmu-ilmu lain yang tidak dipelajari di kuliah kita. Akan tetapi, ketika itu semua hanya merupakan landasan teori, tanpa pemahaman dan kita juga tidak memiliki etika keilmuan, maka itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Rakyat yang kelaparan tidak membutuhkan teori modulasi, pengemis tua di pinggir jalan tidak butuh pula metode enkripsi dan pengkodean. Mereka hanya butuh moral sense kita sebagai sosok intelektual muda, seorang calon pemimpin bangsa ke depan. Sebodoh-bodohnya mereka, ternyata mereka masih berharap kepada kita untuk memperbaiki bangsa ini dan nasib mereka, namun seringkali kita membodohi mereka tanpa rasa bersalah.
Sepertinya kita tidak ingin menjadi sosok Buto Cakil dalam mitologi pewayangan Jawa. Buto Cakil memang sosok ksatria, namun dia adalah raksasa yang haus darah. Lebih baik menjadi seorang Semar dalam komunitas Punokawan. Secara fisik terlihat gemuk, pendek dan buruk rupa. Namun dia memiliki hati yang bersih, kebijaksanaan, dan hangat dalam pertolongan. Sepertinya bangsa ini kehilangan sosok pahlawan, dan sepertinya banyak orang berharap agar kita yang menjadi pahlawan itu. Pahlawan seringkali identik dengan pengorbanan, caci maki, penjara, bahkan laras senapan. Sekarang pahlawan-pahlawan itu belum tampil dan kita pun juga belum kehilangan kesempatan untuk ambil bagian. Namun sepertinya ada pertanyaan yang perlu kita jawab bersama, apakah kita takut untuk menjadi seorang pahlawan ? Ketika kita masih takut, maka mustahil apabila dalam generasi ini muncul sosok-sosok seperti Umar bin Khattab, Hasan Al Banna, Soekarno, dan lain sebagainya yang mampu meneriakkan nilai-nilai kebenaran dan hakikat kemanusiaan. Pahlawan tidak hanya sebuah status, melainkan sebuah kontribusi nyata yang dibangun dari persepsi yang benar dan cita-cita yang luhur. Apalagi sekarang bulan Ramadhan adalah saat yang tepat bagi kita untuk berkontribusi.
Selamat menjalankan ibadah Shaum Ramadhan 1427 H dan selamat menjadi para pahlawan !!!


*)Tulisan untuk Dies Natalis STT Telkom XVI. 16 tahun merupakan usia manusia menuju kematangan cita-cita. Namun seringkali dibalik itulah kita mulai memasuki dunia yang penuh dengan kepura-puraan.
**)Mantan Presiden Mahasiswa, Pegiat pada Everlasting Movement Forum dan Forum Telematika Indonesia


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 13:59, ,




Moralitas Kita Kembali Dipertanyakan

Moralitas Kita Kembali Dipertanyakan
TW Yunianto*

Kembali diri saya terhenyak mendengar kisah pilu para nelayan yang tak bisa melaut karena tak kuat membeli solar untuk melayar. Selangkah kemudian, saya bertemu dengan abang tukang becak yang mengadu mahalnya biaya pendidikan. Hari kemudian, berdiri seorang pemulung kecil yang mengais sampah demi sampah untuk mencari barang-barang rongsokan yang mungkin bisa dijual. Maju selangkah, kedua mata saya nanar menatap beberapa pengamen kecil yang berada di sebuah perempatan jalan. Di bahu jalan seberang tak jauh dari mereka, ada seorang pengemis kecil yang duduk bersimpuh. Pakaiannya lusuh, wajahnya lecek dan berambut kumal. Sorenya, terdengar dalam siaran berita sebuah stasiun televisi swasta, bebasnya salah seorang pejabat di negeri ini yang terindikasi tindak pidana korupsi triliunan rupiah. Sesaat kemudian, siaran berita itu juga menayangkan tragedi pembunuhan seorang istri oleh suaminya. Dan tak lupa, munculnya ninja cabul di sebuah tempat juga mewarnai siaran berita sore itu.
Itulah potret negeriku sekarang, Indonesia.

Saya kembali teringat dengan kampus saya, dimana para mahasiswa katanya sedang menuntut ilmu, sama seperti saya. Namun, saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah mereka juga merasakan apa yang saya rasakan sekarang ini ? Mencermati potret sebuah negeri. Sepertinya saya sedikit pesimis.

Sebuah pemandangan aneh saya dapatkan di kampus saya sekarang ini. Kendaraan bermotor berbagai merek dan tipe membanjiri areal parkir. Mobil-mobil beraneka ragam warna dan rata-rata keluaran diatas tahun 2000 juga menjejali jalan kampus yang hanya sejengkal lebarnya. Tak ayal, kampus saya sekarang seakan menjadi sebuah show room.

Gedung-gedung kuliah seakan tak pernah sepi. Mahasiswa berebut untuk masuk kelas. Hampir setiap kuliah dipastikan selalu luber. Sempat terdengar diskusi diantara mereka, ternyata yang dibicarakan tak lebih dari sekedar kuliah dan kuliah. Menakjubkan, bahwa sekarang mereka lebih rajin dari pada kakak kelasnya...

Atas ajakan seorang teman, akhirnya saya datang juga ke kantin, tempat dimana dulu saya dan teman-teman bercengkerama tentang organisasi kemahasiswaan dan ontran-ontran politik negeri ini. Namun apa yang saya dapatkan, pemandangan di sana yang agak sedikit berbeda dengan dulu yang pernah ada. Saya lihat disana para mahasiswa dan mahasiswi asyik bercengkerama. Entah apa yang dibicarakan. Terlepas dari hal itu, kalau di jalan-jalan dan tempat parkir kendaraan berubah menjadi show room, maka saya dapatkan pemandangan di kantin itu seolah berubah menjadi fashion show.

Saya berjalan menuju lorong koridor yang menghubungkan antar-gedung. Saya lihat di sana banyak sekali tempelan dan wacana. Ada berita kehilangan, peluang usaha, berita ucapan selamat datang kepada mahasiswa/mahasiswi baru, pengumuman kuliah, dan lain sebagainya. Saking asyiknya mengikuti item-item tulisan itu, tak sadar diri saya kembali ke sebuah gedung pusat dimana mahasiswa kuliah. Hampir sama. Ternyata tulisan-tulisan itu juga yang ada di sana. Sampai di suatu sudut majalah dinding, ada tulisan samar-samar tentang nilai kesopanan para mahasiswa baru. Saya jadi bingung. What happened today ?!

Namun ada sesuatu yang membuat saya tertarik di sana. Ada baliho besar, disana terpampang pelaksanaan outbond orientasi mahasiswa jurusan. Keren sekali.... Saya duduk sejenak, melihat dengan dalam makna dari gambar itu. Apa yang menjadi maksud dari gambar yang ada di depan saya saat itu. Ternyata saya susah mencarinya, karena pikiran ini masih bingung dengan pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi di kampus ini.

Akhirnya dari pada bingung, saya akhirnya pulang merenungi apa yang saya lihat beberapa saat yang lalu. Sedang enak-enak merenung, eh tiba-tiba pikiran saya kembali terhamburkan dengan beberapa anak laki-laki yang sedang berjalan di depan saya. Mereka gaduh sekali. Dengan penampilan skin-head berikut asesorisnya, mereka asyik berjalan bergerombolan tak peduli mereka telah menghabiskan bahu jalan. Saya hanya bisa diam, dan kembali berlalu. Saya tidak tahu, apakah mereka mahasiswa atau bukan.

Perjalanan pulang kembali saya tersadarkan, bahwa kampus ini telah berubah total. Saya dapatkan di kanan-kiri jalan bangunan-bangunan tinggi nan indah layaknya sebuah hotel megah. Yah... itulah kos-kosan mahasiswa. Dalam perjalanan, sempat pandangan mata ini tertuju pada sebuah bangunan kos yang disana banyak mobil di halaman depannya. Di sebuah kamar yang pintunya tidak tertutup, saya melihat ada sepasang mahasiswa/mahasiswi yang sedang asyik duduk berdua, entah apa yang mereka kerjakan. Namun, ternyata yang terlintas di pikiran saya hanyalah pikiran-pikiran kotor tentang mereka. Ya.. karena kemarin sempat tersiar kabar dari seorang rekan akan adanya kasus ’kumpul kebo’ di sebuah kostan. Entah saya tidak tahu persis akan kebenarannya, tapi yang jelas orang-orang kampung di sekitar tempat saya tinggal membicarakannya. Astaghfirullah...

Saya kembali bingung untuk mencoba mengaitkan realita-realita itu dengan apa yang terjadi dengan mereka. Apa yang mereka pikirkan sekarang ini? Tapi yang jelas, saya menemukan adanya kesepian di kampus ini sekarang. Ketika tidak ada lagi tulisan-tulisan menyentil hati, tulisan-tulisan nakal yang mencoba mencermati realitas sosial yang terjadi di lingkungan kita, apakah lingkungan kampus, atau tataran yang lebih global, sebuah republik yang berada di lembah Asia ini. Saya kurang tahu, apakah mereka sudah kehilangan suara, sudah kehilangan sense of crisis atas segala permasalahan yang terjadi sekarang ini. Memang banyak orang-orang soleh, yang berjalan dengan kepala tertunduk. Namun sepertinya ketika kesolehan itu tidak mereka transformasikan kepada lingkungan mereka, saya kira itu tidak banyak berguna dan memberi manfaat. Semakin lama, saya mengamati semakin banyak mahasiswa yang tertarik dengan aktivitas kemahasiswaan. Namun ketika aktivitas itu hanya untuk melengkapi curriculum vitae, maka mereka tak ubahlah sebagai buih di lautan. Banyak jumlahnya, namun tak mampu memberi makna kepada lingkungannya.

Kalau diri kita saja masih terkungkung dengan mimpi-mimpi egoisme kita, maka sepertinya menjadi sebuah kenaifan apabila kita ingin berkontribusi kepada bangsa kita. Ketika diri kita masih bermimpi hanya untuk kesenangan masa depan kita saja, lulus dengan prestasi cum laude, kerja dengan gaji dan posisi yang tinggi, menikah dengan istri cantik, rumah mewah, mobil bagus, dan lain sebagainya; maka tidak ada yang lebih pantas ketika kita mengatakan bahwa perut kita hanyalah terisi dengan angin dan debu. Tidak ada kata puas dan kenyang. Saya kembali bertanya, apakah idealisme mahasiswa, intelektualitas mahasiswa sekarang masih terkungkung dengan paradigma lama ? Jadilah kalian orang kaya, karena dengan kekayaan itu kalian akan dapat membeli semua. Sepertinya kekayaan tak dapat membeli surga, dan pun juga kekayaan itu nantinya juga tidak akan pernah menemani kita dalam kesendirian, menunggu hari peradilan yang agung, di sebuah ruangan yang sunyi, alam kubur kita.

Itu hanyalah lintasan-lintasan pkiran saya. Sebelum mengakhiri, saya ingin mengucapkan selamat bergabung kepada saudara-saudara saya mahasiswa/mahasiswi baru angkatan 2006, semoga keberadaan anda di kampus ini mampu memberi perubahan. Namun, perubahan itu butuh pengorbanan. Dan saya kira, pengorbanan seorang mahasiswa tidaklah hanya sekedar berlomba-lomba dalam meraih nilai dan IPK. Lebih dari sekedar itu, rekan-rekan menuntut ilmu di sini adalah untuk mengembangkan paradigma berpikir. Terlalu sayang apabila rekan-rekan menuntut ilmu tinggi-tinggi, jauh dari orang tua, dan tentunya mahal; namun rekan-rekan tidak mampu mendapatkan esensi dari menuntut ilmu itu sendiri. Kuliah, belajar diktat, mengikuti praktikum belum tentu bermakna sebagai proses menuntut ilmu. Namun, menuntut ilmu sangatlah luas penjabarannya. Mahasiswa an sich saatnya bagi kita untuk berkiprah, mampu berkontribusi bagi perubahan diri kita khususnya dan bangsa kita umumnya. Namun, ketika proses kuliah hanya mencetak paradigma berpikir untuk kenikmatan diri sendiri, maka selamat bahwa rekan-rekan hanyalah menjadi budak atas ego rekan-rekan, yaitu menjadi buruh-intelek di negeri sendiri, menjadi sapi perah para kapitalis-kapitalis asing. Ya... karena hampir seluruh aset kita telah dikuasai oleh mereka. Pilihan ada di tangan anda, dan sekali lagi, ketika kita hanya berbuat untuk diri kita, maka sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau bahkan selama republik ini masih berdiri, kenyataan-kenyataan seperti yang terungkap pada awal tulisan ini akan tetap saja terjumpai di depan mata kita. Moralitas kita kembali dipertanyakan akan kenyataan-kenyataan itu. Apa yang dapat kita lakukan ?!!

Selamat berjuang !!!
Billahi sabillilhaq

Bandung, 17 September 2006

*) Mantan Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom, Pegiat pada Everlasting Movement Forum dan Forum Telematika Indonesia.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 20:12, ,




Ikan teri dan kisah sebuah negeri...

Akhirnya, kuinjakkan juga kedua kakiku ini di bumi Cirebon. Jam di HP menunjukkan pukul 00.32. Cirebon kota sempit, batinku. Udara panas terasa menyeruak di sekujur tubuh. Jemputan seorang teman mengantarkanku ke Rumah Sakit Pertamina, tempat dimana kakakku dirawat. B-43, langsung saja kususuri lorong demi lorong rumah sakit itu. Akhirnya kutemukan juga. Tas yang kujinjing segera kuletakkan sesaat setelah kusapa kakakku, tak lupa sesuai sunnah, kucium juga pipi kanan dan kirinya. Kami merasa hangat. Ya.. itulah pertemuan kali pertama kami setelah Bapak meninggal. Aku dan temanku melepas penat sejenak.
Rasanya tak kerasan juga kami di dalam ruang, walaupun ruang itu semilir dengan sejuknya Air Conditioner. Akhirnya kami putuskan keluar ke kantin, cari minuman segar. Puas, kami akhirnya kembali ke kamar.
Langkah demi langkah menuju lorong sepertinya kembali tegap. Mata ini pun tak lagi tunjukkan rasa kantuk. Segera kulihat di depan dua orang paruh baya sedang diskusi. Tampak dari kejauhan obrolan mereka terasa hangat. Langkah makin dekat, akhirnya sampai juga aku di depan mereka. Kusapa mereka satu persatu, kulihat senyum tulusnya dan kerut kening yang menunjukkan kelelahan nampak di wajahnya. Tubuh tegap, muka hitam dan berminyak menunjukkan betapa perkasanya dunia mereka. Akhirnya kita kenalan.
Segera kuketahui, mereka adalah para nelayan. Kebetulan waktu itu mereka sedang menunggu salah satu keluarga mereka yang sakit. Katanya percobaan bunuh diri.
Mulailah diskusi-diskusi hangat kami mengalir. Awal percakapan yang hanya sekitar sakitnya keluarga kami, akhirnya masuk juga kami ke perdebatan politik. Aku dapat merasakan kecerdasan mereka dari obrolan-obrolan kami itu. Ya.. ternyata walaupun hanya lulusan sekolah dasar, mereka mampu menunjukkan sense of crisis mereka atas permasalahan bangsa kontemporer. Mulai dari masalah pendidikan, lingkungan, sampai lebih spesifik tentang dunia mereka, seorang nelayan.
Para nelayan Indonesia ternyata sedang berkabung. Ya... Mereka menghadapi sakkaratul maut. Mati ?! Sakit ? Dibunuh ? Itulah yang ada di benakku saat itu.
Dunia nelayan seolah menjadi salah satu tumbal dari kebijakan penguasa saat ini. Bagaimana tidak, imbas dari kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu membuat mereka tak bisa lagi berlayar. Uang dari hasil tangkapan mereka tak mampu lagi untuk membeli solar. Berbagai cara mereka lakukan, mulai dari oplos minyak tanah, hutang sana hutang sini, namun itu semua tidak mampu menjadi solusi. Bahkan hidup mereka semakin hari semakin sengsara. Melaut yang tak hanya butuh waktu sehari dua hari, namun puluhan hari mereka habiskan di tengah lautan. Semakin hari pun ikan rasanya semakin menjauh dari kail mereka. Bagaimana tidak, ternyata para pencuri ikan telah merampas harta mereka dari dasar samudera. Namun, setali tiga uang, aparat kita hanya diam saja. Di lain sisi, aparat kita menjadi perompak di negeri sendiri. Mereka menjadi cukong-cukong pungutan liar atas para nelayan-nelayan kita. Sudah jatuh, tertimpa tangga, atap, dan genting pula. Apes memang sepertinya, kalau kita tak boleh bicara soal takdir.
Itulah sosok mereka.
Satu hal yang membuat saya miris, ternyata kita lebih suka memakan ayam tepung KFC dari pada makan ikan teri atau bandeng duri. Itulah kita. Ternyata aku malu sendiri di hadapan mereka. Ya.. aku sering membedakan ikan teri yang sarat asin keringat mereka dengan ayam negeri yang tak tahu apakah dengan bismillah mereka disembelih.
Ternyata aku ikut bersalah juga membiarkan hari-hari mereka gali lubang tutup lubang. Tapi apadaya aku bukanlah seorang pejabat pemerintah yang mampu membuat kebijakan bagi rakyatnya. Aku hanyalah mahasiswa yang hanya bisa menghibur kesedihan kisah hidup mereka.
Sekarang saatnya, aku mulai meyakini, bahwa sosok mereka adalah pahlawan kita yang berjuang di tengah samudera yang ganas bagi keluarga mereka. Ya.. mungkin saja dari keluarga mereka nantinya lahir para pemimpin bangsa mendatang. Dan saya yakin, pemimpin yang lahir dari hasil keringat ikan teri itu akan lebih berkualitas dari pada pemimpin yang dihasilkan dari empuknya paha ayam negeri KFC itu.
Pukul 03.25 obrolan bermakna kami pun usai tanpa sebuah kesimpulan apapun. Ya.. hanya esok hari yang masih panjang. Namun aku tak tahu, masihkah mentari ini akan terbit esok pagi di negeri yang indah permai ini, Indonesia. Di atas birunya samudera, para nelayan itu berjuang.

Sekarang aku tahu, betapa bermaknanya ikan teri itu bagi mereka, bagi bangsa ini nantinya.
Aku malu....!!!

Cirebon, 10 September 2006
RS Pertamina, Klayan.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 22:46, ,




Ayah, kebersamaan itu sekarang...

22 tahun adalah waktu yang begitu singkat. Engkau menemaniku untuk mencoba mengerti apa yang seharusnya aku kerjakan. Waktu 22 tahun adalah waktu yang begitu panjang. Engkau menemaniku sebagai seorang anak yang nakal.
Ayah, aku tidak bisa mengatakan apa yang seharusnya aku katakan padamu. Waktu 22 tahun itu, kau telah berikan segalanya padaku. Waktu kanak-kanak dulu, kau berikan segala kesabaranmu pada diriku yang senantiasa nakal dan penuh ulah. Waktu remaja, kau tunjukkan kebijakanmu sebagai seorang ayah, ditengah jiwa remajaku yang penuh dengan ketidakaturan dan pemberontak.
Aku tidak pernah tahu apa yang kau pikirkan atas diriku. Aku ya.. seperti ini. Aku ingat sekali ekspresi-ekspresi wajahmu dulu, ketika kau menyikapi atas kenakalanku. Aku ingat sekali perkataan-perkataanmu, ketika kau melihat ulahku kala diriku masuk remaja. Aku ingat betul nasihat-nasihatmu dahulu, ketika kau ceritakan masa mudamu yang penuh dengan pengalaman dan perjuangan. Dan yang terakhir, aku juga ingat betul apa yang kau pesankan untuk yang terakhir kalinya kepadaku.
Sesaat demi sesaat waktu itu terus berjalan dan berjalan. Aku sadar bahwa itu tinggal kenangan. Sekarang, kau telah tinggalkan diriku dengan segenap warisan prinsip hidup yang kau ajarkan dulu. Kau telah menemani diriku 22 tahun lamanya. Sekarang, kau sendirian berjalan menuju kehidupan abadimu. Ayah, kalaulah aku boleh menyapamu, akan kuucapkan terima kasih. Dan aku pun tidak akan pernah menangis, karena aku yakin kau telah bahagia bisa menemani diriku menemukan jalan hidup yang dulu pernah kau ceritakan semua. Kau katakan masa depan adalah pilihan. Bukan orang tua yang nantinya akan menentukan dan ikut merasakan. Dan ternyata sekarang menjadi kenyataan. Kau juga telah meninggalkan diriku sendiri. Tidak ada lagi cerita-cerita heroik masa mudamu dulu. Aku pun sekarang hanya bisa mengirim doa-doa panjang yang kau ajarkan kepadaku dulu.
Selamat jalan Ayahanda tercinta. Terima kasih telah membimbing ananda. Insya Allah akan selalu kami amalkan. Semoga Ayahanda diterima di sisiNya dengan damai. Aku pun masih ingat senyummu yang terakhir mengembang ketika kubalut tubuhmu dengan kain kafan. Sepertinya engkau merasa bahagia bertemu dengan Allah sang Rahman. Dan tugasmu membimbing ananda telah berakhir. Sekarang tugas ananda menjadi anak shaleh yang mampu memberikan doa dan syafaatnya kelak. Semoga kita dipertemukan di jannahNya.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu wa akrim nuzulahu wa washi'madkhalahu waghsilhu bil maa'i watstsalji wal barad. Wanaqqihi minal khata yaa kama yunaqatstsaubul minaddanas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi wa ahlan khairan min ahlihi wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhuljannah wa a'idzhhu min adzabil qabri wa fitnatihi wamin 'adzabinnar. Amiin.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 18:52, ,




Memaknai 61 tahun Indonesia

Hampir dapat dipastikan, setiap jatuh tanggal 17 Agustus, masyarakat kita senantiasa masuk dalam euforia-euforia kemerdekaan. Hampir dapat dipastikan pula, masyarakat menggelar hajatan, baik dalam lingkup RT, RW, kampung, atau bahkan nasional. Berbagai event digelar, mulai dari olahraga, pentas seni, pengajian, dan bahkan (maaf) larung sesaji pun dilakukan. Tradisi tahunan itu sepertinya mengisyaratkan bahwa masyarakat kita benar-benar merasakan adanya kebebasan dan kemerdekaan. Ya, kebebasan untuk melakukan segalanya.
Kembali menyoroti tentang peringatan kemerdekaan, ada sederet pertanyaan yang kemudian terejawantah kedalam sebuah perenungan mendalam. Ditengah euforia masyarakat dengan berbagai macam perayaan tersebut, sepertinya masyarakat kita benar-benar melupakan setumpuk permasalahan bangsa yang sekarang benar-benar ada di depan mata. Krisis multidimensi yang apabila kita tarik benang merahnya merupakan imbas dari krisis moral, ternyata mampu terlupakan dengan dilaksanakannya panjat pinang, atau bahkan yang lebih sering identik dengan dunia anak muda, pentas band atau dangdut yang marak disebut tontonan kawula muda. Lantas dimanakah permasalahan itu semua pada setiap tanggal 17 Agustus?
Ketika kita jalan-jalan di sudut-sudut kampung, maka kita juga dapatkan lingkungan asri, bersih, dicat baru, sehingga terlihat indah di mata. Setiap tanggal itu pula, kita melihat Sang Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Hampir setiap rumah mengibarkan bendera kebangsaan tersebut. Itulah sebagian realitas yang kita jumpai disetiap pertengahan bulan Agustus.
Satu hal yang menjadi proyeksi saya, ternyata dapat disimpulkan, masyarakat kita (hanya) mampu memaknai peringatan kemerdekaan negaranya dengan membuat event-event yang sifatnya hiburan. Dan dapat dikatakan, dari hiburan-hiburan tersebut, masyaraklat kita seolah-olah melupakan segenap permasalahan yang sekarang sedang melanda negeri kita. Sehingga, dimungkinkan pula, mereka akan senantiasa lahir menjadi orang baru, yang (merasa) tidak memiliki masalah. Hal ini mungkin menjadi kajian menarik bagi kita, ketika ada paradoks orang Indonesia, mulai dari rakyat kecil sampai presiden lupa akan permasalahan bangsanya di setiap pertengahan bulan Agustus. Mereka tersibukkan dengan hal-hal yang sifatnya tidak esensial. Tersibukkan dengan persiapan lomba, persiapan upacara, bahkan persiapan sesaji upacara, apakah larung kepala kerbau atau bakar kemenyan, dll.
Sejauh pengamatan saya saat ini, hampir dapat dipastikan dalam setiap peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat kita terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang tidak esensial dan bersifat hura-hura. Tidak ada peringatan yang mampu mengembalikan semangat perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan kita yang telah hilang. Bagi saya, tidak masalah jika kita menyatakan sedang dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan kita. Ya, kemerdekaan atas kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, kebebasan dari jeratan hutang, kebebasan dari intervensi asing.
Peringatan demi peringatan telah dilaksanakan, dan tahun ini adalah yang ke-61. Namun yang terjadi, kita tidak lagi mengingat sejarah perjuangan bangsa kita. Kita teah melupakan sejarang yang amat panjang dari sebuah bangsa yang kemudian secara legal formal mendirikan sebuah negara Indonesia. Peringatan yang saat ini kita lakukan, tak lebih dari sekedar menghamburkan uang, bersenang-senang, dan melupakan masalah-masalah yang tidak mungkin hilang dengan dilaksanakannya lomba atau bahkan kontes musik dan dangdut.
Namun ternyata, bangsa kita sepertinya memang bangsa yang pragmatis. Tidak mampu menganalisa secara obyektif hakikat dari peringatan kemerdekaan. Sehingga, yang muncul pun kultur baru, peringatan yang diidentikkan dengan senang-senang. Saya rasa, hampir semua masyarakat akan mengatakan sama ketika peringatan 17 Agustus dilaksanakan dengan tanpa adanya hiburan, maka mereka akan dengan kompak mengatakan SEPI !!!. Berbagai cara mereka lakukan untuk melaksanakannya. BAhkan ada (maaf) yang sampai meminta-minta di tengah jalan hanya untuk membayar artis dan membeli hadiah. Saya kira, ini bukanlah warisan dari para pahlawan, apalagi untuk suatu momen dimana kita kembali mengingat semangat perjuangan kemerdekaan. Para pahlawan sepertinya akan merasa malu, ketika perjuangan mereka diperingati dengan hura-hura, bahkan rela meminta-minta seperti tadi. Tidak diajarkan sedikitpun oleh mereka untuk menjadi bangsa peminta-minta. Namun apa daya sekarang, tidak jadi peminta-minta pun bangsa kita sudah banyak hutang. Dan dengan menjadi peminta-minta pun sepertinya hutang itu tidak akan terlunaskan.
Saya takut ketika nanti anak dan cucu kita, terjebak dalam sebuah persepsi keliru, bahwa para pahlawan dulu merayakan kemerdekaan dengan pesta-pesta. Ingat, awal sejarah perjuangan bangsa ini penuh keringat dan darah. Tidak penuh dengan sampanye, wisky, atau anggur. Perjuangan kemerdekaan ini harus merelakan nyawa melayang, bukan tarian para artis yang melayang-layang di atas panggung. Namun sekarang, semua ini telah terbalik. Saya tidak tahu siapakah yang nanti mampu mengembalikannya. Tidak ada kata, ketika para pemuda ini ikut larut dalam euforia ini, maka bangsa ini akan mengalami sebuah pesimisme nasional. Dan ini, secara tidak langsung akan terekam dalam ingatan kolektif bangsa kita, bahwa peringatan kemerdekaan kita telah kehilangan makna, kehilangan esensi, dan mengalami pergeseran budaya.
Wallahu a'lam...


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 17:36, ,