“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



Yang tersisa dari Aksi Tolak Parlemen Israel

ALIANSI PARTAI DAN ORMAS ISLAM

ANTI-ISRAEL*

PRESS RELEASE

Imperialis Israel masih terus bercokol di bumi Palestina. Hari demi hari menjadi saksi atas berbagai kekejaman dan penindasan yang dilakukannya terhadap rakyat Palestina. Ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Palestina telah menjadi korban. Disisi lain, Israel bersama para sekutunya terus melancarkan aksi teror dan agresor dengan berbagai cara dan membabi buta,

baik melalui sayap militer dengan mengerahkan segenap kekuatan persenjataannya yang jumlahnya tak seimbang dengan yang dimiliki oleh para pejuang Palestina, maupun sayap politik yang dilakukan melalui penangkapan para tokoh, pejabat, anggota parlemen, serta para pejuang Palestina lainnya. Tidak sedikit dari mereka yang ditangkap tersebut disiksa, bahkan dibunuh. Berangkat dari kenyataan tersebut, sudah saatnya Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang anti-penjajahan untuk kembali menegaskan sikapnya dengan menolak penjajahan yang dilakukan oleh kaum Zionis Israel serta mendukung perjuangan Bangsa Palestina dalam mempertahankan hak-haknya. Terkait dengan akan diselenggarakannya Sidang International Parliamentary Union (IPU) 2007 yang akan berlangsung di Bali pada tanggal 29 Mei sampai 4 April 2007 dimana IPU mengundang wakil delegasi parlemen Israel (Knesset) untuk menghadiri sidang tersebut, maka kami Bangsa Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Partai dan Organisasi Massa Islam Anti-Israel menyatakan :

· Mengutuk dengan keras atas rencana IPU yang mengundang delegasi parlemen Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi untuk hadir dalam sidang IPU tersebut.

· Menolak dengan tegas kedatangan delegasi parlemen Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi dalam sidang IPU di Bali, karena dengan kedatangan tersebut berarti negara kita secara tidak langsung mengakui keberadaan mereka dan berbagai tindakan penjajahan yang dilakukannya yang tak lain merupakan rangkaian dari kejahatan kemanusiaan.

· Menuntut kepada pemerintah untuk mencabut visa delegasi parlemen Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi.

· Menuntut IPU untuk ikut mengusahakan pembebasan seluruh tokoh, pejabat, pejuang, khususnya anggota parlemen Palestina yang saat ini ditawan oleh Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi.

· Menuntut kepada seluruh masyarakat dan negara di dunia, khususnya umat Islam, untuk mendukung dan turut serta membantu perjuangan Bangsa Palestina dalam membebaskan tanah Palestina dari kekejaman penjajah Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan. Kami, Bangsa Indonesia akan selalu berada dibalik perjuangan mulia Bangsa Palestina untuk membebaskan tanah Palestina dari penjajahan Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi. Selain itu, apabila ternyata anggota parlemen Yahudi Israel la’natullah ‘alaihi benar-benar hadir dalam sidang IPU 2007, maka kami tidak segan-segan untuk kembali turun ke jalan menyuarakan aksi penolakan kami terhadap mereka. Semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan kekuatan, pertolongan, dan kemenangan-Nya kepada perjuangan kita. Amin.

Bandung, 27 April 2007

Ttd

Aliansi Partai dan Ormas Islam Anti-Israel


*) Created and arranged by TW Yunianto


1_4




Press Release 27/04/2007

Tolak Kehadiran Delegasi Parlemen Israel**

Israel merupakan penjajah yang sampai saat ini melakukan penangkapan dan penahanan beberapa pejabat pemerintahan dan anggota parlemen Palestina. Kedatangan delegasi parlemen Israel ke Indonesia untuk mengikuti sidang International Parlementary Union (IPU) di Bali harus ditolak tegas karena mereka telah melecehkan tata pergaulan internasional dan tentunya sangat bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 sebagai konstitusi kita.

Menurut rencana delegasi negara-negara anggota Parlemen Dunia (IPU) akan mengadakan pertemuan di Bali akhir April mendatang. Meski masih simpang-siur, sebagai negara anggota IPU, pertemuan tersebut juga dihadiri delegasi parlemen dari Israel.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hilman Rosyad Syihab menyatakan dengan tegas menolak kehadiran Delegasi parlemen Israel yang akan menghadiri International Parlementary Union (IPU) pada 29 April - 4 Mei 2007 nanti di Bali.

Indonesia adalah negara berdaulat yang anti-penjajahan. Sesuai dengan konstitusi negara kita UUD 1945, maka negara manapun yang masih melakukan penjajahan terhadap negara lain adalah musuh kita. Israel telah menjajah Palestina sejak tahun 1967. Selain itu, Israel juga pernah menginvasi Libanon. Dengan adanya bukti tersebut, maka sangat nyata jika Israel adalah agresor yang tidak cinta damai”. Lanjutnya, “Perlu disampaikan juga akan sikap tegas PKS sesuai dengan kontrak politik yang dibangun antara PKS dan Presiden SBY, bahwasanya Indonesia tidak akan membangun hubungan apapun dengan imperialis Israel baik secara terbuka maupun tertutup. Selain itu, Indonesia akan mendukung upaya perjuangan bangsa Palestina dalam mempertahankan hak-haknya atas tanah Palestina. Intinya adalah, bahwa Indonesia tidak akan memberikan dukungan pada berbagai bentuk agresi dan aneksasi dengan alasan apapun, khususnya yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina”, paparnya dalam ‘Aksi Penolakan Delegasi Parlemen Israel (Knesset) untuk Mengikuti IPU’ bersama Aliansi Partai dan Ormas Islam Anti-Israel, Jumat (27/04) di Bandung, Jawa Barat.

Israel telah melakukan kejahatan kemanusiaan berat dan melanggar hukum HAM internasional. “Saat ini kita melihat Israel melegalkan pembunuhan terhadap anak-anak dan perempuan Palestina yang tak berdosa, menimbulkan kemiskinan dengan embargo ekonominya, membuat kerusakan infrastruktur, serta memenjarakan para menteri, ketua serta anggota parlemen Palestina”, ujarnya.

Menjadi catatan penting bahwa ternyata Israel tidak layak untuk menghadiri sidang International Parlementary Union (IPU) di Indonesia “Kepada Deplu yang memiliki otoritas dalam memberikan visa, sudah selayaknya untuk menolak permohonan visa tersebut. Selain itu, Deplu juga hendaknya menyarankan kepada delegasi parlemen tersebut untuk tidak datang karena selain Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, juga karena sesuai dengan aspirasi umat Islam, sebagai umat mayoritas di negara kita, yang tidak mengharapkan kedatangan mereka”, ungkapnya.

Menurut Hilman Rosyad, “Penolakan kedatangan delegasi parlemen Israel merupakan bentuk suara nurani rakyat Indonesia yang cinta perdamaian dan anti-pejajahan. Sehingga, sudah selayaknya pemerintah Indonesia dan DPR yang ada di IPU untuk memperhatikan serius aksi penolakan ini sebagai bentuk konsistensi dalam menjaga kedaulatan dan integritas NKRI. Tidak ada alasan bagi Indonesia dan IPU untuk menerima kehadiran mereka di sidang IPU nanti, termasuk juga keanggotaan mereka di IPU mengingat berbagai pertimbangan. Pertama, Israel merupakan satu-satunya anggota PBB yang belum mempunyai batas teritorial. Kedua, sikap arogansi Israel yang senantiasa tidak mau mendengarkan instruksi PBB dan negara-negara di dunia untuk menghentikan aksi brutalnya. Ketiga, Israel saat ini telah menangkap 40 anggota parlemen Palestina termasuk ketuanya DR. Abdul Aziz Dweik yang ditahan sejak 12 Agustus 2006”.

Jika Indonesia tetap memberikan izin kepada Israel dalam pertemuan tersebut, maka akan sangat terlihat Indonesia mengakui eksistensi Israel dan segala bentuk penjajahan yang dilakukannya, serta sangat jelas tidak sesuai dengan hati nurani bangsa dan konstitusi kita. Penerimaan kedatangan parlemen Israel dalam sidang IPU di Bali nanti tak lain merupakan penghianatan sikap bangsa Indonesia yang sejak awal menyatakan dukungannya terhadap perjuangan bangsa Palestina. Saatnya Indonesia menunjukan ketegasannya”, kata Hilman Rosyad.

CP : Hilman Rosyad Syihab (0811146896/0816482169)

Gedung Nusantara I DPR RI Lt. 3 Ruang 0312. Telp. (021) 5756416 – Fax (021) 5756417
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270


**) Created by Karyadi, re-arranged and revised by TW Yunianto

Isi MoU SBY dengan Umat Islam Terkait dengan Masalah Palestina***

  • Indonesia tidak akan membangun hubungan apapun dengan imperialis Israel secara terbuka maupun tertutup dan mendukung upaya kemerdekaan Palestina.
  • Indonesia tidak akan memberikan dukungan pada berbagai bentuk agresi dan aneksasi dengan alasan apapun.

Terkait dengan Isu Kedatangan Knesset pada Sidang IPU 2007***

Sudah selayaknya delegasi parlemen Israel ditolak kedatangannya dengan alasan :

  • Israel merupakan satu-satunya negara anggota PBB yang belum mempunyai batas teritorial.
  • Dengan belum memilikinya batas teritorial, maka secara legal formal Israel tidak berhak untuk menjadi anggota International Parliamentary Union (IPU), termasuk menghadiri berbagai agenda IPU.
  • Israel sampai saat ini telah melakukan penangkapan massal terhadap pejabat Palestina, termasuk 40 anggota Dewan Palestina yang salah satu diantaranya adalah ketuanya, Dr. Abdul Aziz Dweik, yang ditahan sejak 12 Agustus 2006.

***) SMS Direktur Center for Middle East Studies (COMES), Ust. Amrozi M. Rais, Lc.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:48, ,




Teruntuk calon anakku

Teruntuk calon anakku
Yang masih tinggal di antara tulang sulbi dan tulang dadaku

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bagaimana kabarmu, Nak? Semoga Ananda sehat wal 'afiat di alam sana.

Ayahanda sengaja menulis surat ini khusus untukmu.
Meski Ayahanda tahu, kau belum bisa membaca dan membalas surat ini
Karena di sana memang tidak ada sekolah.
Namun, Ayahanda yakin kau memahaminya
Karena kita satu jiwa
Karena kau masih menyatu dalam tubuhku
Dan terutama,
Karena kau pasti cerdas seperti Ayahanda …. :-)

Nak !
Ayahanda sangat bergembira mendengar sabda Sang Baginda Rasul,
Tentang doa anak shaleh yang pahalanya tak terputus, bahkan sesudah orang tuanya wafat
Ayahanda tiba-tiba tersadar, sabda tersebut menuntut Ayahanda melakukan dua hal:
Menjadi anak shaleh dan menjadikan Ananda sebagai anak yang shaleh pula

Nak!
Ayahanda sedang berusaha menjadi anak shaleh untuk kakek dan nenekmu
Sulit memang, karena tiada amal ayahanda yang menandingi jasa mereka
Tapi Ayahanda akan terus berusaha
Tunaikan titah Baginda

Ayahanda pun berharap
Kau seperti itu untuk ayahbundamu kelak
Mencintai, menaati dan menghormati
Ibundamu ….. Ibundamu…… Ibundamu
juga Ayahandamu ini
Itulah mimpi Ayahanda
Sebagaimana mimpi menjadikan rumah kita nanti bagaikan syurga
Supaya syurga benar-benar menjadi rumah kita

Tapi, Ayahanda merasa malu
Ketika mendengar Khalifah kedua menyatakan
Bahwa hak seorang anak dari ayahnya setidaknya tiga hal:
Dipilihkan ibunda yang baik, Diberi nama yang baik serta diajarkan Al Qur’an.
Malu …..
Karena belum mempersiapkan diri
Untuk menunaikan hakmu

Nak!
Kini Ayahanda sedang belajar memperdalam Al Qur’an
Agar kelak bisa mengajarimu A… Ba… Tsa
Agar kaupun menjadi Qur’an berjalan
Yang menerangi mayapada

O ya!
Ayahanda juga sengaja membeli buku tentang nama-nama mulia
Dengannya, Ayahanda sudah menyiapkan selaksa nama indah untukmu
Agar kau tumbuh perkasa
Dinaungi nama mulia
Yang ia adalah doa

Yang membuat Ayahanda bingung,
Bagaiamana menunaikan hak pertama
yang harus ditunaikan ketika Ananda belum melihat dunia
Karena Ayahanda tidak tahu
Apa kriteriamu tentang seorang ibu yang baik?
Ayahanda juga tidak tahu
Apakah kita memiliki selera yang sama …. :-)?

Tapi, Ayahanda yakin kau sepakat dengan satu kriteria
Bahwa calon ibumu nanti tidak boleh seorang yang shaleh
Melainkan harus seorang Shalehah

Karena jika kau memiliki Ibu yang Shaleh,
Sepertimu, Ayahandapun tak kan kuat menahan tawa
Melihat jenggot ibumu
Yang gagah jelita …… :-)

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang mencintaimu karena-Nya

Calon Ayahandamu


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 12:23, ,




Reshufle, image, dan performansi

Akhir-akhir ini, wacana reshufle kabinet SBY-JK semakin santer saja terdengar, baik melalui media cetak maupun elektronik. Sebenarnya, isu reshufle sudah mulai mengemuka sejak beberapa tahun lalu, ketika beberapa anggota kabinet SBY-JK tersandung ‘masalah’ yang dianggap sudah tidak bisa lagi ditolerir atau dengan kata lain bernilai fatal. Kita bisa lihat mulai dari tersangkutnya salah satu menteri terkait dengan kasus korupsi KPU, Hilton, ‘Kejahatan’ Lapindo, Haji lapar, mimpi buruk transportasi, hingga yang terbaru adalah aliran duit Tommy yang katanya melibatkan beberapa menteri.
Sebelum masuk ke wacana reshufle, ada satu hal yang menarik bagi saya terkait dengan kondisi Kabinet Indonesia Bersatu saat ini. Secara umum, saya melihat SBY sudah tidak mampu lagi memimpin gerbong kabinet yang tersusun dari berbagai unsur parpol (non-oposisi) dan profesional tersebut. Pola koordinasi yang terjadi di Kabinet Indonesia Bersatu tidak berjalan kompak dan lancar. Sangat terlihat masing-masing menteri berjalan sendiri-sendiri, dan miskin sinergisitas program. Ditambah lagi, sepertinya pengaruh partai politik lebih kuat dari pada pengaruh SBY yang notabene adalah komandan mereka. Apa buktinya? Saya kira sudah jelas, yaitu ketika beberapa menteri tersandung masalah (seperti yang saya sebutkan diatas) kemudian fatal, sehingga secara moral (tidak hanya sekedar yuridis formal) menteri tersebut layak untuk diganti. Namun apa yang terjadi? Ketika masing-masing parpol melakukan counter opinion, sepertinya isu pergantian pejabat menteri hanya sekedar penghias halaman depan koran saja. ‘Keperkasaan’ SBY ternyata secara tidak langsung telah dipecundangi oleh ‘elit-elit kotor’ parpol yang hanya sekedar berebut kursi kekuasaan. Sebenarnya apabila SBY masih memiliki nurani dan sadar akan hal itu, tidak akan ada yang namanya menunda reshufle kabinet. Saat ini, saya masih melihat adanya ketakutan SBY terkait dengan eksistensi image yang sudah dibangunnya. Ironisnya lagi, ternyata ketakutan tersebut mengalahkan tekadnya untuk berkhidmat kepada rakyat. Sepertinya, yang bersangkutan takut apabila kehilangan pendukung (elit parpol) yang memungkinkan untuk menarik kepercayaan terhadapnya. Kalaupun SBY masih memiliki nurani sehat, saya kira ketakutan tersebut tidak perlu ada, apalagi di negara kita undang-undang telah ‘menjamin keamanan’ kursi kekuasaan sang presiden dengan ditutupnya jalan impeachment presiden oleh legislatif. Lantas apa yang menghalangi SBY untuk me-reshufle kabinetnya?
Masa pemerintahan SBY-JK sudah memasuki lebih dari paruh kedua tahun kepemimpinan. Artinya, 2 tahun lagi SBY-JK akan meletakkan jabatannya. Namun kembali ke wacana reshufle. Kenapa reshufle baru akan direalisasikan sekarang padahal masalah yang muncul terkait dengan kinerja menteri sudah menggejala sedari awal? Saya melihat wacana reshufle kali ini layaknya nasi basi, artinya sudah terlambat. Wacana reshufle yang dilontarkan saat ini tak lebih dari sekedar penyelamatan image saja. Selain itu, jika melihat kalkulasi politik, isu reshufle saat ini tak lebih dari strategi SBY terkait dengan pemilihan presiden 2009. Saya masih melihat manuver SBY untuk ikut kembali dalam bursa rivalitas presiden di tahun 2009 mendatang. Jadi, sekiranya reshufle saat ini dititikberatkan pada perbaikan kinerja kabinet, maka saya kira kurang tepat. Kalaupun ingin memperbaiki kabinet, ya seharusnya sejak dari dulu SBY mengganti menteri-menterinya yang bermasalah. Terlalu lama SBY menggadaikan hajat hidup rakyat selama 3 tahun dengan wacana evaluasi kinerja menteri yang ternyata juga tidak ada signifikansi kerja. Memang menjadi menteri itu berat. Jika kemudian wacana tersebut yang muncul dari mulut para menteri ketika ditanyakan terkait dengan kinerja mereka, maka saya kira, jika tidak mampu lagi jadi menteri, ya tidak perlu dipaksakan lagi, alias silakan mundur saja.
Sebagai sebuah solusi praktis, menurut hemat saya, reshufle kabinet mungkin saat ini tetap menjadi pilihan yang terpaksa, alias tidak ada pilihan selain reshufle kabinet. Tetapi saya masih melihat, jika kemudian struktur kabinet baru yang akan terbentuk nantinya ternyata hanya sebagai wahana bancakan roti kekuasaan, maka saya tidak menaruh optimisme terkait dengan perbaikan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu mendatang. Seharusnya SBY phobia dengan menteri-menteri parpol yang ternyata lebih manut kepada parpolnya masing-masing daripada kepada dirinya. Untuk itu hemat saya sekali lagi, jika SBY lebih memilih menyelamatkan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan kekuasaannya, maka saya kira lebih tepat jika kursi-kursi para menteri itu diberikan kepada orang yang lebih profesional daripada sekedar memberikan kursi itu kepada parpol yang ternyata memecah ‘peta kekuasaan’ kabinet. Saya kira, SBY-JK cukup dewasa untuk menyikapi permasalahan tersebut untuk kemudian mengambil tindakan yang spesifik dan sistemik. Tetapi, itu hanya sekedar perkiraan saya saja, masalah benar atau tidaknya kita lihat nanti.

Wallahu’alam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 07:46, ,




Pembelajaran sejarah yang salah

Masih ingat di benak saya, bagaimana para guru saya menerangkan tentang peristiwa runtutan sejarah bangsa kita yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan. Lebih dari 8 tahun kiranya, saya diminta oleh mereka untuk mempelajari sejarah perjuangan dan pendirian bangsa yang kemudian hasil pembelajaran itu adalah terhafalnya angka 17 Agustus 1945 di benak saya, bahwa saat itulah republik ini berdiri, serta banyaknya nama pahlawan yang saya kenal sehingga cukup memudahkan saya untuk menghafal nama-nama jalan yang didominasi oleh nama para pahlawan kita. Ya.. para generasi kita saat ini tak lebih menjadikan mereka sekedar sebagai simbol belaka, salah satunya adalah sebagai nama-nama jalan.
Menurut saya, belajar sejarah adalah sebuah keharusan, mengingat dari belajar sejarahlah kita akan mengerti hakikat didirikannya bangsa kita. Dari sejarah tersebut, kita setidaknya juga mampu menyingkap fakta yang terpendam di setiap balik kejadian yang setidaknya mampu menjadi refleksi bagi kita tentang bagaimana upaya kita untuk membangun bangsa ini kedepan yang sepertinya semakin hari kondisinya semakin tidak menguntungkan saja. Namun realitanya, hakikat pembelajaran kita terkait dengan sejarah bangsa dan peradaban tersebut ternyata tak lebih dari sekedar mengetahui bagaimana hiruk-pikuknya perjuangan serta runtutan berbagai fakta kejadian dalam rangka terbentuknya komunitas-komunitas manusia yang menghuni bangsa serta bumi ini. Pembelajaran sejarah bagi bangsa kita tak lebih dari sekedar konsumsi untuk menaikkan kelas bagi para pelajar, serta pemberian predikat cinta tanah air bagi mereka yang mempelajarinya. Kita tidak pernah dididik untuk menciptakan sejarah-sejarah baru dalam kehidupan bangsa ini. Sehingga, jikalau kita masih menganggap sejarah hanya untuk dipelajari, maka kemudian kemungkinan yang akan terjadi adalah terhapusnya peran generasi kita dari lembar sejarah peradaban umat manusia ini. Keberadaan sejarah bukanlah untuk sekedar dipelajari dan dihafalkan. Melainkan sebagai sebuah pijakan serta energi bagi kita untuk mampu membuat sejarah baru sebagai suatu langkah peristiwa penyusunan peradaban yang berkesinambungan. Untuk itulah menurut saya, salah satu penyebab masih terpuruknya bangsa kita adalah masih belum adanya semangat bagi kita untuk menciptakan peran-peran sejarah baru. Kita masih terlalu malu untuk bisa melampaui prestasi sejarah para pendiri republik ini yang pada kenyataannya dikenang atau tidaknya jasa mereka toh juga tidak akan mampu menjadi jaminan bagi mereka untuk masuk surga. Bukan saatnya lagi bagi kita untuk mengatakan, “Merekalah bapak kita yang mendirikan bangsa ini”. Tetapi, sekarang adalah saatnya kita untuk berbagi peran dan kemudian kita katakan pada mereka, “Kamilah pahlawan-pahlawan baru yang senantiasa akan membuat perubahan”. Bagi kita, kemungkinan-kemungkinan diatas sangatlah terbuka lebar. Namun sayang, kemungkinan tersebut serasa sempit dan kecil karena kita tidak pernah mau menyadari dan mau memulai bahwa saatnya bagi kitalah yang menciptakan serta menulis sejarah-sejarah peradaban ini. Bagaimana peran-peran kita nantinya mampu menjadi struktur pembangun sejarah peradaban manusia di muka bumi ini. Tidak ada pilihan bagi kita untuk turut serta atau tidak turut serta dalam usaha menyusun sejarah, karena saat ini kita sudah “terlanjur” hidup dan lahir di dunia. Maka kemudian, jika sampai saat ini kita masih menjadi golongan yang pasif terkait dengan wacana penyusunan sejarah perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, maka tidak ada lagi kemuliaan atas hidup kita, atau dengan kata lain ada atau tidak adanya diri kita di dunia ini bukanlah sebuah perkara yang berarti. Bagaimana manusia mau menghormati kita ketika malaikat saja malu untuk mencatat amal serta peran-peran kita. Apabila hal itu yang terjadi, maka kemudian hidup kita sepertinya tak lebih dari sekedar santapan persiapan bagi belatung-belatung yang aneh lagi menjijikkan. Apakah hidup kita akan seperti keberadaan makhluk-makhluk aneh dan menjijikkan itu? Ditangan kitalah pilihan itu berada. Nafa’ni wa iyyakum.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:48, ,




Masa depan para generasi preman

Fungsi utama dunia pendidikan adalah membentuk paradigma dan karakter anak bangsa, dan tentunya, paradigma serta karakter yang terbentuk mampu menghasilkan manusia-manusia handal, berbudi pekerti, serta berjiwa pemimpin. Namun apa jadinya kalau dunia pendidikan ternyata menyesatkan anak didiknya sehingga mereka menafsirkan pendidikan sebagai bentuk upaya totalitas pembinaan dengan menghalalkan segala cara. Perlu kita pahami, bahwa totalitas dalam dunia pendidikan memang seharusnya untuk dilakukan. Akan tetapi, ketika totalitas tersebut diartikulasikan sebagai usaha yang tidak melihat batas-batas nilai dan aturan, atau dengan kata lain menghalalkan segala cara, maka kemudian akan terbentuklah sebuah premanisasi di dunia pendidikan yang tak lain hanya akan menghasilkan anak didik yang berkarakter preman.
Ketika kita mengkaji bahwa dunia pendidikan salah satu tujuannya sebagai pencetak pemimpin-pemimpin masa depan, maka apa jadinya apabila masa depan bangsa ini dipimpin oleh hasil dari dunia pendidikan yang nota bene hanya menghasilkan para pemimpin-pemimpin preman. Setidaknya akan ada beberapa kemungkinan jika bangsa ini dipimpin oleh para preman. Yang pertama, mereka tidak akan memandang rakyat sebagai mitra pembangunan untuk dilayani, melainkan sebagai penonton yang hanya bisa mengamati dari jauh pertunjukan politik yang digelar oleh pemimpin preman tersebut. Kedua, para pemimpin preman tidak akan mampu menjalankan amanah dengan baik. Hal ini dikarenakan mereka lebih menyukai perebutan daerah jajahan, alias tarik-menarik kue kekuasaan. Mereka hanya akan memikirkan tentang penyelamatan posisi serta jabatan mereka saja, sehingga etika politik kekuasaan terlepas begitu saja seiring dengan berbagai fasilitas yang mereka dapatkan. Ketiga, mereka akan memakai segala cara untuk mendapatkan ambisinya. Tidak dapat dipungkiri bagaimana para preman tersebut akan berusaha mati-matian untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, walaupun harus menjadikan rakyat sebagai tumbal. Serta yang keempat, mereka akan berusaha menggali sebanyak mungkin “harta karun” yang sekiranya memungkinkan untuk mereka ambil. Bahkan seringkali untuk memuluskan “pengambil-alihan” tersebut mereka akan mengeluarkan berbagai macam hukum dan aturan sebagai kedok “perampokan sistematis” atas aset bangsa yang sangat berlimpah. Selain itu, tak jarang mereka juga akan membuat kelompok-kelompok serta aliansi-aliansi strategis yang memungkinkan bagi mereka untuk lebih mengamankan aksinya, dimana aliansi strategis tersebut terdiri dari banyak preman, mulai dari preman politik, preman hukum, sampai preman kemanusiaan.
Tibalah saatnya kerusakan jika generasi preman tersebut memimpin negeri kita. Mereka akan memimpin dengan kekerasan dan penindasan karena di benak mereka kekerasan adalah the sistemic way to build everything. Ya... paling tidak membangun kerusuhan dan kerusakan bersama, tetapi tidak bagi mereka, karena kerusakan hanya bagi rakyat yang tidak tahu apa-apa.
We don’t need a hero. But we need a leader who become a hero !!!


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 07:02, ,




Republik permisif

Kemarin pagi sesaat setelah turun dari kereta api jurusan Solo-Bandung, sembari menunggu seorang rekan, saya berdiskusi ringan dengan seorang sopir taksi di stasiun. Awal mula dari perkenalan basa-basi, akhirnya kami terlibat obrolan pinggir jalan yang hangat di sela-sela dinginnya suasana pagi di Bandung. Secara sepihak, saya ulas kembali intisari perbincangan kami tersebut.
Siapa yang tidak setuju dengan wacana “Hidup di republik ini semakin hari semakin susah”. Sepertinya, tetap saja ada pihak yang tidak setuju, yaitu mereka segelintir orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Tetapi bagi mayoritas penduduk kita yang riilnya tidak memiliki kekuasaan dan materi yang cukup untuk sekedar menyambung hidup, rasanya sangat tidak realistis jika kita mengatakan semakin hari kehidupan bangsa kita semakin sejahtera. Mungkin hanya wacana-wacana motivasi saja yang mampu membuat mereka tersenyum, namun di kemudian hari, ternyata mereka mendapati wacana-wacana tersebut hanyalah janji-janji kosong belaka. Secara kebijakan, sepertinya tidak ada yang menyakitkan hati rakyat. Namun kenyataannya di lapangan, masyarakat tidak mendapatkan pelayanan seindah janji-janji yang ditebarkan. Sepertinya tidak susah untuk mendapatkan kenyataan tersebut. Kita lihat bagaimana munculnya kebijakan pemerintah untuk membebaskan biaya pendidikan dasar dan menengah, tetapi kenyataannya, untuk sekedar mengikuti Ujian Nasional saja, seorang anak (maaf) pemulung di ibukota “harus terpaksa rela” bergulat setiap detik untuk mendapatkan uang 500 ribu rupiah yang akan digunakan sebagai biaya pendaftaran ujian, sementara itu, waktu penyelenggaraan ujian tinggal beberapa hari lagi.
Masih terkait dengan dunia pendidikan. Di sebuah kota di tanah air, muncul kebijakan yang dinilai tolol, dimana pemerintah kota tersebut menetapkan anggaran pembiayaan untuk pendidikan sebesar 3% dari total APBD, sementara anggaran untuk organisasi kemasyarakatan yang tak lebih dari organisasi preman (yang diseragami) digelontorkan 11% dari total APBD. Bagaimana mungkin jika pemerintah mengatakan konsisten dengan pembangunan sumber daya manusia, tetapi disisi lain pemerintah tidak komitmen dengan peraturan yang telah mereka keluarkan seperti contoh diatas, anggaran pendidikan yang hanya bernilai “sepertiga kurang” dari anggaran para preman.
Dunia hukum-pun tak lebih dari sekedar melindungi kepentingan penguasa. Ketika hukum meneriakkan slogan “Keadilan bagi sesama”, tetapi konteks “sesama” tersebut kurang lebih dijabarkan menjadi “sama-sama tahu”. Bagi rakyat kecil, hukum bukanlah sebuah selimut hangat yang mampu melindungi mereka dari sengatan-sengatan kejahatan yang dapat membahayakan mereka. Kalaupun diupayakan untuk menjadi selimut hangat, maka tak jarang mereka harus merogoh kocek sebagai imbal balik atas “jasa sewa” untuk menggerakkan tangan-tangan mafia hukum, sehingga pasal-pasal mampu berpihak pada mereka. Namun bagaimana bagi yang tidak punya rupiah? Sepertinya hakikat dilindungi pun lebih diterjemahkan menjadi “dilindungi di lubang bui”, alias selalu kalah dan menjadi pesakitan. Kita bisa melihat bagaimana dengan dalih penegakkan hukum, para aparat bersemangat menggaruk para pedagang lapak, gelandangan, dan pengemis. Mereka hancurkan gerobak-gerobak tua para pedagang lapak tersebut. Seringkali pukulan dan tendangan mereka lancarkan untuk sekedar melancarkan upaya mereka dalam penegakkan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban. Kita masih ingat bagaimana seorang oknum trantib ibukota yang menggunduli kepala seorang ibu joki three in one di “jalan para pejabat” M.H. Thamrin, Jakarta. Atau di kisah lain mata kita menyaksikan para gelandangan dan pengemis yang setiap harinya hanya mengumpulkan recehan perak untuk makan diseret sedemikian rupa untuk dinaikkan ke sebuah truk, sementara di sisi lain seorang koruptor yang telah menelan miliaran bahkan triliunan uang rakyat diberi kesempatan jumpa pers dengan wartawan, diperiksa di ruang ber-AC, serta mendapatkan fasilitas elit di ruang tahanan. Bahkan, dengan dalih “keadilan hukum” juga, mereka bisa melenggang bebas seolah pengadilan hanyalah sebuah sandiwara untuk membalik logika salah menjadi benar dan benar menjadi salah. Aparat hukum bukanlah melindungi dan melayani, tetapi sudah menipu dan mendzalimi. Bagaimana tidak seperti itu jikalau mereka dengan tegas meminta uang jaminan untuk pembebasan seorang tersangka tabrak lari sementara permasalahan sudah selesai dengan ditekennya surat pernyataan kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Hukum adalah sarana untuk memeras rakyat, bukan untuk menegur yang khilaf serta melindungi yang benar. Seperti halnya undang-undang lalu lintas. Dimata oknum Polisi, undang-undang tersebut digunakan untuk memeras masyarakat dari kesalahan yang mereka lakukan, bukan menegur kesalahan untuk kemudian masyarakat memahami yang salah serta di kemudian hari tidak akan mengulanginya lagi. Tidak ada lagi kepercayaan publik terkait dengan kinerja aparat pemerintah. Mereka tak lebih sebagai pengepul-pengepul pajak yang setiap bulan menunggu “belas kasihan” rakyat dari “iuran terpaksa” yang berlabel pajak.
Kurang lebihnya, hasil dari kondisi diatas adalah munculnya masyarakat-masyarakat permisif. Rakyat sudah pesimis dengan permasalahan yang mereka alami saat ini, sehingga yang terjadi adalah logika permisif-apatis yang hanya mementingkan kepentingan pribadi mereka sendiri. Bagi rakyat kecil, permisif diartikan sebagai, “Mau kanan atau kiri terserah, yang penting mah saya dan keluarga bisa makan. Titik!”. Tidak ada perhatian antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Semetara, para pejabat pun juga tak lepas dari permisivitas ideologi, dimana pemahaman mereka, “Mau negara miskin, rakyat miskin, yang penting saya bisa berkuasa dan dapat gaji kelas kakap, alias korupsi”. Tidak ada lagi moral politik yang mereka miliki. Logika-logika jabatan pun beralih menjadi logika kekuasaan, dimana dalam logika kekuasaan ada pihak yang berkuasa, serta ada pihak yang dikuasai.
Kapankah republik permisif ini merdeka? Setidaknya 17 Agustus 1945 hanyalah sebuah kecelakaan sejarah, dimana Soekarno-Hatta dinisbatkan menjadi orang yang “beruntung” untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tetapi kenyataannya, yang namanya kecelakaan pastilah ada pihak-pihak yang celaka dan menderita. Dan yang menderita siapa lagi kalau bukan rakyatnya.
Memang kita sudah merdeka diatas kertas melalui selembar teks kemerdekaan. Tetapi dengan selembar teks itulah segerombolan penjajah baru datang dengan dalih pembangunan. Ya.. pembangunan kastil-kastil baru dimana di sebuah sudutnya dibangun menara penyiksaan, serta disisi lain dibangunlah taman kota sebagai fatamorgana yang menyejukkan bagi rakyat yang semakin lama semakin rabun matanya.
Republik permisif bukanlah republik mimpi. Inilah kenyataannya bagi sekalian rakyat yang mengerti.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:52, ,




Salah sistem, salah siapa?

Dunia pendidikan tanah air kembali tercoreng dimana salah satu lembaga pendidikannya meminta korban jiwa sebagai akibat dari rangkaian proses pembinaan yang berlangsung di lembaga pendidikan tersebut. Sudah menjadi fitrahnya, bahwa lembaga pendidikan bertugas untuk mendidik dan mengarahkan anak didiknya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar, serta dari liar menjadi bijaksana. Namun kenyataannya, lembaga pendidikan tersebut malah mewajarkan hilangnya nyawa (beberapa) anak didiknya. Mungkin masih menjadi hal yang wajar jika hilangnya nyawa tersebut dikarenakan kelengahan anak didik untuk tidak mengikuti prosedur standar pendidikan. Akan tetapi, kematian tersebut terjadi karena faktor premanisme yang berlangsung secara legal di kampus tersebut, dimana sistem yang ada memberikan justifikasi kepada para anak didiknya untuk membangun sebuah benteng penyiksaan para senior kepada yuniornya. Terlebih lagi, manajemen lembaga pendidikan tersebut berupaya untuk menutupi dan membalik fakta sehingga seolah-olah tidak ada keganjilan atas semua yang terjadi di balik pagar kampus tersebut. Sekali lagi, kita menemukan dengan jelas bagaimana sebuah intitusi pendidikan melakukan tindakan arogansi intelektual, dimana kebenaran mereka tutupi untuk menjaga nama baik lembaga tersebut dan para pejabatnya yang sepertinya memang tak layak untuk mengelola sebuah lembaga pendidikan. Mereka tidak mencerminkan jiwa pendidik karena tak lebih dari sekedar menjadi komprador-komprador kekuasaan. Itulah sekilas peristiwa yang saat ini sedang terjadi di lingkungan pendidikan kita.
Menurut saya, sedari awal sistem pendidikan kita memang salah kaprah. Orientasi pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata saat ini beralih haluan tak lebih sebagai lembaga penghasil uang semata. Sistem pendidikan kita yang dibangun saat ini bukanlah menuju ke arah pencerdasan bangsa, namun sebagai proses yang memberikan akreditasi tingkat kecerdasan seseorang. Secara praktis yang terjadi di lapangan, bahwa lembaga pendidikan kita secara ektrim tugasnya hanya tiga, yaitu meluluskan siswa pandai, mengeluarkan (baca: DO) siswa bodoh, serta menarik iuran pendidikan yang semakin hari mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Sehingga kalau boleh disimpulkan terkait dengan dunia pendidikan kita, untuk sekolah itu tidak hanya membutuhkan uang yang tidak sedikit, tetapi juga kepandaian tertentu. Maka dari itu, sepertinya tepat juga kalau ungkapan orang miskin dan atau orang bodoh dilarang sekolah. Khusus untuk kasus IPDN, bagi calon mahasiswa yang masih sayang dengan nyawanya dilarang masuk. Sepertinya itulah image branding yang tepat.
Saya sangat tidak sepakat ketika lambaga pendidikan kita dikatakan telah berhasil mencetak orang-orang yang mampu memimpin bangsa ini. Memang benar, bahwa para pemimpin negeri ini adalah mereka yang lulus dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Namun ternyata, hasil dari proses pendidikan yang mereka jalani tak lebih dari sekedar kemampuan menerjemahkan konteks jabatan sebagai alat untuk menguasai, bukan melayani. Sehingga, rangkaian dari proses pendidikan kita bukannya mengantarkan anak didik untuk mampu mengenali jati dirinya, mampu mengenali peran-peran, tugas dan kewajibannya, namun yang terjadi tak labih dari upaya bonsainisasi paradigma pikir.
Tingkat keberhasilan pendidikan kita hanya terwujud dalam selembar kertas dan sederet gelar, bukan sedalam pemahaman akan peran-peran strategis yang mampu membedakan antara manusia bernilai guna dan manusia yang tak punya nilai sama sekali, walaupun mereka memiliki sederet jabatan dan posisi.
Sudah saatnya dunia pendidikan kita harus direkonstruksi, yaitu mengembalikan lembaga pendidikan sebagai lembaga yang mampu mengarahkan anak didik untuk memahami eksistensi mereka, peran-peran mereka, hak serta kewajiban mereka. Kapitalisasi pendidikan menurut saya termasuk bagian dari kejahatan kemanusiaan, dimana disana terdapat ketidakadilan terkait dengan persamaan hak untuk memperoleh pendidikan. Dunia pendidikan adalah investasi masa depan. Namun bagaimana pendidikan bisa menjadi investasi jika kemudian sistem pendidikan sebagai ajang doktrinasi pemikiran yang muaranya pragmatisasi pemikiran dan premanisme peran.
Sudah negaranya bobrok, kadernya bobrok pula. Sudah bodoh, apes lagi.
Kapan bisa majunya? Tanya siapa? Tanyakan sama burung Garuda.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 17:25, ,




Menanam benih kepemimpinan

Dalam sebuah training kepemimpinan, saya pernah ditanya oleh seorang peserta diskusi tentang apa yang menjadi hakikat potensi kepemimpinan. Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu saat itu saya mencoba meng-explore pemahaman peserta tersebut terkait dengan pertanyaan yang dia ajukan. Ternyata, jawabannya tak jauh dari yang saya perkirakan sebelumnya, yaitu berada pada kisaran pemimpin yang memiliki kemampuan berkomunikasi, kemampuan menggerakkan massa, dan sebagainya. Maka, ketika saya sodorkan jawaban saya terkait dengan potensi kepemimpinan, versi saya tentunya, ada sebuah resistensi yang dia ajukan. Saat itu saya katakan bahwa hanya ada satu hal yang menjadi potensi kepemimpinan kita, yaitu kesempatan hidup kita.
Bahwa potensi dari segala potensi yang kita miliki adalah waktu dimana kita masih diberikan kesempatan untuk hidup, sehingga ketika kita memahami hakikat kesempatan bagi kita untuk hidup, maka kemudian bagaimana usaha kita untuk mengisi kesempatan hidup kita dengan kehidupan. Tidak setiap orang hidup memiliki kehidupan. Banyak diantara mereka yang ternyata tak mampu memahami hidup untuk kemudian waktu hidup mereka hanya diisi dengan rutinitas yang tak lebih dari sekedar penyambung antara kelahiran dan kematian. Tidak ada sejarah yang terukir sedikitpun dalam hidup yang dia miliki, sehingga kutukan demi kutukan keluar sebagai sarana umpatan atas hidupnya yang tiada arti.
Kembali kepada wacana kepemimpinan. Kita memahami bahwa setiap manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin. Namun, tidak semua manusia yang mampu memahami hakikat kepemimpinan. Saat ini, publik menilai bahwa wacana kepemimpinan tak lebih dari sekedar lingkaran kekuasaan dan jabatan. Kepemimpinan hanya sebuah status, bukan amanah fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia yang lahir di dunia ini. Sehingga, kalaupun muncul para pemimpin dari teori kepemimpinan untuk kekuasaan, maka yang terbentuk tak lebih dari sekedar pemimpin oposan dan hipokrit. Mereka tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Yang mereka miliki hanyalah kekuasaan, sehingga yang terjadi adalah munculnya pemimpin yang cacat moral. Dalam hal ini, kepemimpinan bukanlah jiwa pelayanan, melainkan nafsu keserakahan untuk menguasai dan merusak tatanan.
Menurut saya, kepemimpinan bukanlah diciptakan dengan serta merta, melainkan diproseskan sedari awal. Kepemimpinan bukanlah sekedar konteks kursi dan kekuasaan, lebih dari sekedar itu, kepemimpinan adalah jiwa yang seharusnya bersemayam dalam nurani sehingga melahirkan manusia-manusia yang siap mengusung beban. Oleh karena itu menurut saya, bukanlah hal yang tepat ketika kita hanya sekedar mempelajari teori kepemimpinan untuk selanjutnya kita implant­-kan teori-teori tersebut dalam diri kita. Seyogyanya jiwa kepemimpinan kita munculkan dari diri kita sendiri. Biarlah jiwa kepemimpinan tersebut muncul dari benih-benih yang kita tanam, sehingga selanjutnya akan memiliki akar-akar kuat yang menancap untuk menopang tegak pohon kepemimpinan kita. Layaknya sebuah pohon yang tak pernah lepas dari hama dan pengganggu, kepemimpinan pun juga tak lepas dari gangguan yang berwujud hambatan dan tantangan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pohon kepemimpinan yang kokoh, biarkanlah pohon kepemimpinan kita mengenal hambatan serta tantangan-tantangan tersebut. Jangan terlalu mem-protect pohon kepemimpinan kita dari segala macam tantangan dan tribulasi kepemimpinan. Justru dengan adanya tantangan dan tribulasi tersebut, pohon kepemimpinan kita akan semakin kokoh. Namun hal itu bukan berarti menjadi legitimasi bagi kita untuk membiarkan begitu saja pohon kepemimpinan tersebut tumbuh dengan sendirinya. Untuk mendapatkan pohon kepemimpinan yang kuat dan kokoh, maka sudah selayaknya kita melakukan penjagaan terhadap pohon kepemimpinan yang dengan nilai moral dan nurani kepemimpinan, layaknya pupuk serta anti-hama yang mampu melindungi serta menjaga pohon kepemimpinan untuk tumbuh kokoh, mampu mengenal lingkungan, serta tahan uji terhadap segala serangan.
Oleh karena itu, selayaknya kita tidak membeli pohon kepemimpinan dari orang lain. Cukuplah kita membeli bijinya untuk kita semai, dan rawat sampai besar, kemudian itulah pohon kepemimpinan yang akan menjadi belahan jiwa kita sampai masa ujian kepemimpinan kita habis seiring dengan menutupnya kedua mata kita untuk selama-lamanya.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:55, ,




Menuju kemerdekaan intelektual

Ketika berdiskusi dengan beberapa rekan (yang mengaku) aktivis mahasiswa, ada satu hal yang membuat saya tersenyum, yaitu terkait dengan orientasi mereka untuk bergabung di sebuah organisasi dimana mereka saat ini berada. Ketika saya tanyakan orientasi mereka bergabung di dunia kemahasiswaan, ternyata 99% jawaban yang saya dapatkan adalah sama dan seragam, dimana 1% yang lain bukan karena adanya perbedaan jawaban, tetapi 1% itu berupa jawaban yang abstrak dan tidak jelas. Realitas itu berupa orientasi mereka bergabung di dunia organisasi kemahasiswaan yang ternyata dunia organisasi hanya dijadikan sebagai sarana untuk belajar dan mencari pengalaman saja. Sekarang kalau boleh kita kaji secara mendalam, kira-kira apakah ada yang salah dengan jawaban tersebut?
Sebelum pertanyaan diatas, perlu saya sampaikan bahwa terlebih dahulu bahwa saya pun awalnya juga memiliki persepsi yang sama terkait dengan dunia organisasi dan kemahasiswaan. Jadi, sekiranya jawaban tersebut diutarakan oleh seorang aktivis junior, maka boleh dikatakan bahwa jawaban tersebut masih tergolong lumrah dan tidak masalah. Namun, sekali lagi, jika kita lihat secara lebih komprehensif, maka kalau boleh saya katakan, jawaban diatas adalah jawaban yang diutarakan oleh (aktivis) mahasiswa yang memiliki keterkungkungan paradigma berpikir, atau dengan kata lain, masih terdapatnya penjajahan atas intelektualitas mereka sebagai manusia merdeka. Kenapa demikian?
Pertama, menurut saya, dunia kemahasiswaan adalah dunia yang memiliki keluasan peran. Banyak hal yang mampu dilakukan ketika kita menyandang status sebagai seorang mahasiswa, apalagi aktivis mahasiswa. Lantas, jika kita ternyata hanya memahami dunia aktivis kemahasiswaan sebagai sarana untuk mencari pengalaman dan pembelajaran, maka saya kira itulah sosok aktivis mahasiswa yang tidak pernah memiliki jiwa-jiwa kepeloporan. Saya mendefinisikan mereka sebagai aktivis-aktivis yang pasivis. Artinya, sosok aktivis yang hanya menunggu kesempatan dan tidak pernah menciptakan kesempatan. Dalam paradigma mereka, pengalaman organisasi yang saat ini mereka cari tidak lebih dari sekedar bekal yang akan mampu mengantarkan mereka untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik ketika mereka berada di dunia kerja nantinya.
Kedua, dunia kemahasiswaan adalah wahana bagi kita untuk menguji kadar kepeloporan kita. Oleh karena itu, sedini mungkin (aktivis) mahasiswa sebagai calon pemimpin generasi masa yang akan datang setidaknya senantiasa mengasah kemampuan kepeloporan mereka dalam menciptakan, bukan sekedar meneruskan apa yang telah terbangun sebelumnya. Kemampuan menciptakan disini maksud saya adalah bagaimana dunia kemahasiswaan menjadi ajang bagi para (aktivis) mahasiswa untuk berlomba-lomba menciptakan karya dan sejarah. Sehingga, setiap peran yang dimainkan oleh para (aktivis) mahasiswa akan memiliki nilai guna dan membawa perubahan yang cukup berarti, baik bagi mahasiswanya sendiri, maupun bagi objek yang lebih luas lagi cakupannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk memahami kedua hal diatas, maka menjadi prasyarat mutlak bagi kita saat ini untuk segera mengikis paradigma-paradigma sempit kita terkait dengan peran-peran kemahasiswaan. Usaha bersama untuk menuju kemerdekaan umat manusia yang hakiki setidaknya dimulai dari kemerdekaan intektual masing-masing personal, khususnya bagi mereka para motor perubahan untuk perbaikan. Kalau bukan mahasiswa, siapa lagi... (bukan berarti menafikkan yang lain lho..!!!)
Wallahua’lam


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:53, ,




Kerinduan seorang ibu

Dapat dipastikan bahwa hampir setiap ibu memiliki perasaan rindu terhadap anaknya, apalagi ketika anaknya sudah dewasa dan tidak berada disampingnya dalam rentang waktu yang cukup lama. Perasaan itulah yang saat ini dirasakan oleh ibu saya di rumah.
Pagi tadi, kakak saya menelepon yang intinya mengabarkan bahwa ibu pingin saya pulang, “Beliau kangen”, katanya. Sebenarnya, permintaan agar saya pulang sudah dari beberapa pekan kemarin. Tetapi karena masih ada acara yang belum bisa ditinggalkan di Bandung, akhirnya sampai saat ini belum terlaksana juga. Memang setiap kali ibu menelepon, tertangkap di hati saya akan adanya perasaan rindu di setiap bait kata yang beliau sampaikan. Saya bisa menangkap perasaan itu dibalik nasihat-nasihatnya yang tajam. Tapi, memang karakteristik saya yang bandel, sepertinya itu semua menjadi angin lalu begitu saja. Sampai akhirnya dengan agak sedikit kesal, tadi pagi kakak meminta saya untuk segera pulang, kalau bisa akhir pekan ini. Hmm...
Saya anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak saya yang pertama laki-laki, sudah berumah tangga dengan satu orang putera (insya Allah sebentar lagi nambah) dan sekarang tinggal di Cirebon. Kakak saya yang kedua perempuan, sama, beliau juga sudah berkeluarga dan dikaruniai satu orang putera. Sekarang beliau dan suaminya tinggal di Solo menemani ibu yang sendirian setelah meninggalnya bapak. Dari kecil, saya memang terkenal dengan bandel, bahkan banyak saudara dan teman masa kecil saya yang masih ingat dengan sosok anak laki-laki kurus, cengeng, dan nakalnya minta ampun. Dari semua orang yang ada di rumah, hanya almarhum bapak yang saya takuti. Itu juga karena karakter bapak yang keras. Tapi dari beliaulah saya mendapat banyak didikan dan keteladanan. Termasuk, ketika ada seorang teman yang bertanya kepada saya terkait dengan kesukaan saya terhadap dunia politik, maka saya katakan bahwa bapaklah yang mengajarkannya. Memang sewaktu masih muda, beliau adalah seorang fungsionaris sebuah partai politik besar milik penguasa orde baru.
Setelah bapak meninggal beberapa bulan yang lalu, seperti yang dikatakan kakak, memang ibu seringkali merasa was-was. Keinginan besar beliau nantinya adalah, bahwa semua anak-anaknya diharapkan bisa berkumpul, bersatu kembali seperti dulu sewaktu kami masih kecil. Indah rasanya ketika teringat kembali saat-saat kami berkumpul bersama, bareng-bareng bersama kakek, nenek, serta saudara-saudara lain. Tapi itu semua ketika saya masih kecil, saat rumah kami belum pindah dari desa dimana saya lahir disana.
Kembali saya teringat wajah ibu di rumah. Sepertinya beliau segera ingin melihat sesosok wajah anaknya yang kurus, cengeng, dan nakal dulu (tapi kayaknya, sekarang masih bandel juga seperti dulu, ha..ha..).
Insya Allah, setidaknya pekan depan saya akan pulang, bersimpuh sejenak di depan ibu untuk kembali menunjukkan rasa bakti saya kepada beliau. Seorang ibu yang telah melahirkan saya dengan segenap rasa tulusnya sehingga saya bisa lahir di dunia ini. Seorang ibu yang menunjukkan saya kepada jalan keimanan, dimana banyak orang yang tersesat karena fatamorgana kehidupan dunia. Seorang ibu yang merawat saya ketika saya sakit, ditengah banyaknya anak terlantar yang tak bisa lagi merasakan hangatnya belaian seorang ibu karena sudah tak lagi memilikinya. Seorang ibu yang senantiasa mengingatkan saya untuk makan, dimana banyak anak kecil berderet di pinggir jalan menengadahkan tangan hanya sekedar untuk makan karena tak ada lagi orang yang menyuapinya dengan kelembutan hati dan kasih sayang. Terutama, seorang ibu yang akan mengantarkan saya ke surga, dimana bakti seorang anak kepada orang tuanya adalah syari’at yang ketiga setelah Allah dan rasul-Nya.
Izinkanlah Allah saya untuk bersimpuh sejenak, menyusuri waktu dengan panjatan doa saya kepadanya. Kuatkan hati dan iman beliau, naungi beliau dengan cahaya iman-Mu, serta berilah kesempatan waktu kepada beliau untuk menyaksikan bentuk bakti anak-anaknya yang saat ini masih belajar tentang kehidupan. Tak ada lagi harta yang paling berharga bagi orang tua selain menyaksikan anak-anaknya menjadi anak yang salih dimana Allah tujuannya, rasul teladannya, dan Qur’an pemimpinnya. Niscaya itulah yang mengangkatnya kelak di hari perhitungan sebagai prestasi yang akan menyandingkannya dengan para sahabat yang sarat prestasi di tengah peradaban yang mulia ini. Ibu, terima kasih engkau telah mengantarkan saya di jalan yang mulia ini. Semoga kerinduanmu berbalas surga-Nya kelak. Amin.
Mari kita tengok ibu, orang tua kita, selagi beliau masih bisa menyambut kita di depan pintu rumah dengan senyum kasihnya yang mengembang. Faghfirli yaa Allah...


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:50, ,




Pejabat rusuh, negara kisruh

Akhir-akhir ini, terdengar banyak sekali kericuhan-kericuhan yang dibuat oleh para pejabat kita, mulai dari tragedi YZ-ME, PP 37, laptop, hingga para pejabat yang sibuk ngurusin partainya. Sepertinya, kalaulah negeri ini dibikin sinetron, maka saya yakin akan banyak episode yang tersusun.
Tadi pagi saya diskusi dengan seorang teman terkait dengan isu laptop anggota dewan. Beliau nyeletuk, “Sepertinya untuk jadi pelawak memang syaratnya harus punya laptop, termasuk ‘pelawak-pelawak’ kita di Senayan”.
Saya lantas berpikir, sepertinya benar juga apa yang dikatakan oleh teman saya barusan. Memang kebanyakan para pejabat kita itu layaknya artis sinetron, hanya sedikit yang memang benar-benar berniat untuk mengabdi kepada rakyat. Kenapa hal itu bisa terjadi? Saya berpendapat bahwa mayoritas para pejabat kita terlalu sibuk bukan karena menyelesaikan pekerjaannya, melainkan mereka sibuk dalam mempertahankan kursi kekuasaannya. Masing-masing tersibukkan dengan agenda menjaga image, baik image kepada rakyatnya sendiri maupun image terhadap penguasa asing, sehingga agenda-agenda untuk melayani rakyat bukan saja terabaikan, tetapi dengan ‘sangat terpaksa’ ditunda hingga anggaran tahun depan (baca: mending gua korupsi dulu anggaran tahun ini, toh tahun depan juga bisa dijadwalkan ulang kok!!!). Selain layaknya seorang artis yang suka menjaga image, para pejabat kita kebanyakan juga tak ubahya para pelawak yang menghibur para penonton dengan lawakan-lawakan murahannya. Bagaimana tidak kalau misalnya mereka hanya bisa mengumbar ‘lawakan’ janji belaka yang tiada realisasi. Kecelakaan Porong misalnya, sudah hampir satu tahun, bahkan dibentuk tim nasional (timnas), akan tetapi hasilnya tak lebih dari meluapnya janji-janji seiring dengan meluapnya lumpur panas. Atau BRR-gate yang ternyata menjadikan Aceh sebagai ‘lumbung padi’ para ‘tikus birokrat’. Malah lebih parah lagi, Jakarta seolah damai ketika Aceh saat ini telah berubah menjadi Republik LSM saking banyaknya LSM-LSM asing yang ada disana.
Saatnya jadi pejabat, saatnya rebutan kue kekuasaan. Hal ini dapat kita lihat di arena Pilkada DKI Jakarta misalnya. Saat itu, tim sukses salah satu bakal calon gubernur yang berinisial FB menggelar sebuah acara di Jakarta. Disana, Wakil Presiden kita mengumbar strategi yang harus ditempuh untuk memenangkan Pilkada Gubernur. Saya kira hal tersebut bukanlah suatu etika politik seorang pejabat publik. Sebenarnya hal tersebut tidak masalah jika disampaikan di sebuah forum internal yang tertutup, tetapi kalau disampaikan di sebuah forum resmi saya kira hal tersebut tidak mencerminkan etika politik pejabat walaupun yang bersangkutan juga tercatat sebagai seorang pengurus partai politik yang mengusung si bakal calon untuk menjadi gubernur. Dari catatan-catatan tersebut, kita bisa melihat bagaimana sosok pribadi-pribadi pejabat kita yang ternyata tak mampu menempatkan dirinya atau dengan kata lain tidak profesional, maka dari itu, sepertinya bagi mereka bukanlah suatu masalah jika korupsi masih tumbuh subur di sekeliling mereka, “Lha gimana lagi, bukannya anggaran negara juga anggaran pribadi”. Ya.. mereka tidak bisa membedakan lagi apa yang ‘pantas’ untuk dirinya dan apa yang ‘harus’ untuk bangsanya. Semuanya telah terbalik menjadi apa yang ‘harus’ untuk dirinya, dan apa yang ‘pantas’ untuk bangsanya.
Kerusuhan ternyata tidak hanya terjadi pada aparat kita yang hobi bentrok hanya karena urusan cewek atau daerah kekuasaan (baca: wilayah bekingan), tetapi juga menjangkiti para pejabat kita yang berang ketika banyak sekolah di negeri kita dibilang seperti kandang ayam, sedangkan rumah dinas mereka bak istana kaisar. Ketika rakyat miskin bertambah sengsara karena tak mampu membeli beras aking, tetapi rekening pribadi pejabat kita melonjak empat kali lipat selama dua tahun menjabat. Luar biasa!!!
Maka saya kira, sepertinya kita harus kembali ke laptop bahwa republik ini didirikan bukan sebagai sasana penindasan. Republik ini didirikan dengan lumuran darah para pahlawan, maka janganlah kotori republik ini dengan darah-darah rakyat yang tertindas.
Demokrasi tak lain hanyalah sebuah konsensus penindasan rakyat berjamaah yang berlindung dibalik sayap Pancasila. Ya itulah negeri kita, negeri para preman, ketika mereka rusuh, pasar pun kisruh. Demikian pula republik ini, ketika para pejabat rusuh, negara pun kisruh, akhirnya bangsa kita menjadi bangsa yang kumuh, dimana sampah demokrasi telah memenuhi alam semesta republik kita, Indonesia.

Wallahua’lam.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:11, ,




Kepemimpinan transformasional vs Revolusi sampai mati

Ada hal yang menarik yang sedang saya kaji terkait dengan kepemimpinan bangsa yang saat ini mengalami stagnasi. Kenapa demikian?
Saya melihat bahwa kepemimpinan yang terjadi sejak awal republik ini berdiri mengalami sebuah kesalahan fatal, dimana orientasi yang diusung oleh masing-masing pemimpin bukanlah common orientation, melainkan orientasi-orientasi semu yang hanya ditujukan untuk melanggengkan kursi kekuasaannya saja. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah egoisme politik masing-masing pemimpin bangsa yang belum mampu mengharmonisasikan arah gerak pembangunan bangsa ini menuju satu titik. Sehingga kalaupun boleh dikatakan, sebenarnya segala permasalahan yang saat ini terjadi di tanah air mulai dari OPM di Irian Jaya, Fretilin di Timor Timur, GAM di Aceh, serta pertempuran etnis di Poso adalah sebagian dampak, baik langsung maupun tidak langsung, dari egoisme politik masing-masing penguasa saat itu dimana yang menjadi penyebab praktis di lapangan adalah ketiadaan perhatian yang serius atas friksi-friksi yang terjadi yang kemudian berkembang menjadi menjadi permasalahan yang mengancam kepentingan nasional.
Sehingga, ada sebuah hipotesis yang saya dapatkan bahwa kepemimpinan nasional kita sampai saat ini masih sebatas kepemimpinan parsial. Kepemimpinan yang hanya terdiri dari logika “elu-gua”, dimana jika dijabarkan lanjut menjadi “urusan saya ya urusan saya, sedangkan urusan anda ya selesaikan sendiri”. Tidak ada kedewasaan politik yang mampu menyentuh atsar kepentingan bangsa. Semua merupakan pseudopolitics yang menggembar-gemborkan kepentingan nasional, sedangkan dibalik semua itu ternyata hanya ambisi kekuasaan.

Era kepemimpinan transformasional
Lantas apa yang menjadi solusi?
Sudah selaiknya bahwa kemerdekaan atas penjajahan yang kita klaim sejak tahun 1945 haruslah menjadi kemerdekaan bangsa seutuhnya. Sehingga, hakikat dari kemerdekaan tersebut haruslah diterjemahkan kedalam strategi-strategi pembangunan bangsa secara komprehensif, konvergen serta berkelanjutan. Tongkat kepemimpinan nasional pun hendaknya mulai dijaga dan dibersihkan dari segala macam ambisi politik kekuasaan, walaupun saya yakin hal itu masih sebuah khayalan. Pemahaman yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin bangsa kedepan adalah bagaimana upaya-upaya pewarisan kepemimpinan yang mana di masing-masing masa akan terdapat nilai-nilai sejarah kepahlawanan pemimpin. Oleh karena itu, pilihannya sekarang tidak lagi kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan semu yang berbatas periode, melainkan kepemimpinan yang berbasiskan pelayanan total dengan satu tujuan. Sehingga, seharusnya logika yang ada sekarang bukanlah lagi logika politik kekuasaan, melainkan politik kerakyatan yang mana kepentingan rakyat senantiasa diutamakan.
Kepemimpinan transformasional membutuhkan kedewasaan politik. Artinya, setiap peran politik yang dimiliki oleh masing-masing pemimpin ditujukan bukan untuk kelanggengan kursi kekuasaan, melainkan menyusun struktur-struktur pembangunan nasional. Ketika hal itu mulai dipahami oleh para pemimpin kita, saya yakin kedepan tidak ada lagi reorientasi-reorientasi pembangunan nasional. Tidak ada lagi penggadaian kepentingan nasional kita dengan hutang yang malah membebani anak cucu kita kedepan.
Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menciptakan setiap orang menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Kepemimpinan transformasional tidaklah terbatas pada subjek orang, melainkan kepemimpinan yang lebih holistik lagi karena terkait dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. Kepemimpinan transformasional senantiasa menyusun pilar-pilar regenerasi kepemimpinan sebagai upaya menuju tercapainya kepentingan bangsa, bukan golongan.

Bagaimana dengan wacana revolusi?
Identitas Soekarno senantiasa erat dengan wacana revolusi, sehingga predikat panglima besar disandangnya. Saat ini, sebagian dari masyarakat kita menuntut digulirkannya revolusi nasional. Saya kira wacana revolusi hanyalah wacana pragmatis dan dangkal. Kenapa? Pemahaman saya mengatakan bahwa konsep revolusi adalah konsep yang tidak teruji alias trial and error. Pilar revolusi bukanlah pilar yang matang sehingga bagi sebuah negara yang sebesar (dan selemah) ini, saya kira jika wacana revolusi direalisasikan, maka harus dibayar dengan political-cost yang tidaklah kecil diamana konteks negara kesatuan akan menjadi taruhan selain korban nyawa rakyat yang senantiasa menjadi tumbal. Bagi saya, revolusi bukanlah kedewasaan dalam langkah politik. Tidak masalah jika revolusi digunakan sebagai opini shock-therapy untuk mengakselerasi perubahan. Tetapi saya kira, revolusi yang saat ini kita lontarkan hanya sebatas wacana-wacana pragmatis, sehingga revolusi sampai mati menjadi trend dalam setiap pergerakan. Hasilnya, revolusi sampai mati ternyata tidak menghasilkan perubahan yang cukup berarti, karena sebelum revolusi berhasil kita sudah mati duluan. Ya.. slogan revolusi sampai mati tidak akan pernah menuntaskan langkah-langkah revolusioner kita karena kita sudah mati terlebih dahulu sedangkan revolusi masih berlangsung (katanya).
Wallahua’lam bishshowwab.


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 07:18, ,




Negara tanpa pilihan. Kajian membangun negara adikuasa baru

Akhir-akhir ini, kalangan legislatif pusat sedang mempermasalahkan sikap RI terkait dengan nuklir Iran, dimana RI dianggap mengekor kepentingan negara adikuasa AS yang berlindung di balik resolusi DK PBB 1737 untuk melucuti program nuklir damai Iran.
Menjadi hal yang menghentakkan semua pihak, ketika RI memilih jalan untuk menyetujui sanksi bagi negara para kaum Mullah tersebut, sehingga muncul berbagai reaksi terhadap keputusan RI yang kontroversial tadi, khususnya dari para kaum muslim. Sehingga dapat dikatakan, kedudukan kita sebagai anggota DK PBB tidak tetap sepertinya sebagai stempel pelengkap yang diperbudak oleh kepentingan ‘negara-negara besar’ dalam melancarkan strategi neo-kolonialisme barunya.
Jika kita melihat kebelakang, maka kita akan dapat melihat bagaimana kiprah RI terkait dengan peta politik dunia dengan Gerakan Non-Blok-nya. Terlepas dari profil seorang Soekarno, Gerakan Non-Blok ternyata tidak hanya sekedar gerakan menentang penjajahan, melainkan sebagai strategi RI untuk menjadi alternatif negara adikuasa di tengah perseteruan antara dunia barat yang ber-manhaj kapitalis yang ditokohi Amerika, dengan dunia timur yang mengusung identitas sosialis yang dimotori oleh Uni Sovyet. Atau dengan kata lain, ketika kita telaah lebih jauh gerakan Non-Blok tidak hanya sekedar gerakan yang dibangun Soekarno untuk keluar dari pilihan antara klen barat dan timur, melainkan upaya ‘cerdas’ Soekarno untuk menaikkan pamor RI di mata dunia sebagai negara yang berdaulat. Artinya, Soekarno ingin menunjukkan kekuatan RI sebagai negara yang besar tanpa militer. Gerakan Non-Blok yang dipelopori RI dapat dikatakan sebagai kekuatan dunia baru yang terdiri dari negara-negara dunia ketiga, sehingga oleh kekuatan lain khususnya Amerika, Gerakan Non-Blok dipandang sebagai kekuatan dunia baru yang akan membahayakan konstelasi politik yang saat ini sedang dimainkan oleh geng barat yang dimotori oleh Amerika tersebut. Dengan Gerakan Non-Blok, ternyata Soekarno saat itu tidak hanya sekedar mampu menggerakkan kekuatan koalisi barunya, tetapi juga berusaha untuk ‘membenturkan’ kekuatan Barat dengan Timur yang dapat terbaca dari strategi Poros Jakarta-Peking, keluarnya RI dari PBB, serta kampanye anti-Amerika-nya Soekarno. Gerakan untuk melucuti Amerika didahulukan karena waktu itu kekuatan dunia timur sudah terlihat berada di ambang pintu kehancuran terkait adanya isu kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia. Harapannya adalah, ketika dunia barat dan timur berseteru, maka kekuatan Non-Blok akan menjadi kekuatan baru yang akan mengendalikan peta kekuasaan politik dunia baru yang berdasarkan solidaritas bukan kekuatan militer dengan RI sebagai inti dari kekuasaan, namun hal itu semua ternyata berakhir dengan sia-sia setelah Soekarno jatuh termakan oleh nafsu dan ambisinya sebagai seorang laki-laki dan penguasa.
Wallahua’lam.

Labels:


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:39, ,




Bangsa yang tidak punya identitas

Semalam bersama seorang rekan, saya terlibat diskusi personal dengan Profesor Tubagus Zulriska (Dekan Fak. Psikologi Unpad) tentang kondisi bangsa kontemporer. Berawal dari evaluasi laptop DPR, hingga akhirnya kita masuk dalam wilayah kajian sosio-historis bangsa Indonesia.
Sejak awal republik ini berdiri, memang bangsa kita telah melakukan kesalahan. Sehingga suatu hal yang salah jika kita mengatakan bahwa kerusakan bangsa ini bermula dari tangan rezim orde baru. Sejak zaman Soekarno menjabat sebagai penguasa negeri ini sampai rezim ‘demokratis’ yang berkuasa saat ini, kesalahan senantiasa terjadi dan berulang kembali seiring dengan estafet kepemimpinan bangsa. Memang, kesalahan utama yang dibuat oleh para penguasa kita yaitu adanya disorientasi kekuasaan. Sehingga ketika mereka berada pada posisi puncak kekuasaan, yang muncul adalah terdapatnya disfungsionalitas peran. Oleh karena itu, yang kita dapatkan saat ini seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta berbagai macam ‘kebejatan moral politik’ penguasa kita adalah sebagai wujud dari adanya disorientasi serta disfungsionalitas kekuasaan. Hampir dapat dipastikan bahwa yang mereka bangun bukanlah sebuah soliditas sistem yang mengacu pada penguatan pilar-pilar berbangsa dan bernegara, melainkan yang dibangun tak lain hanya bertujuan untuk penyelamatan kepentingan politik dan kekuasaan. Kita bisa melihat bagaimana mundurnya Hatta terkait dengan konflik yang terjadi antara dirinya dengan Soekarno. Kita pun juga melihat bagaimana manuver Soeharto dalam menata ‘bidak-bidak’ kekuasaannya sehingga mampu melanggengkan tahta kekuasaannya hingga 32 tahun. Sehingga kalaupun boleh dikatakan, bahwa sebenarnya kemerdekaan Indonesia 1945 bukanlah sebuah momentum terlepasnya kita dari belenggu penjajahan total, karena ternyata penjajahan tetaplah ada yang secara halus mereposisi menjadi sebuah bentuk penjajahan ideologi. Keterkungkungan bangsa kita menurut saya sebenarnya bukanlah representasi dari kesialan nasib bangsa. Keterkungkungan kita tak lain sebagai akibat dari terdapatnya gejala bangsa yang introvert, adanya sebuah ketidakpercayaan diri untuk mampu bangkit dari keterpurukan.
Kembali terkait dengan disorientasi kekuasaan. Ketika yang dibangun adalah kelanggengan kekuasaan, maka kemudian ada satu hal yang tidak diperhatikan dalam menyusun pilar-pilar berbangsa dan bernegara, yaitu ketiadaan peran dalam merumuskan identitas bangsa kita sebagai bangsa yang berdaulat. Sehingga, ketika identitas bangsa tidak ter-rumuskan, maka yang terjadi adalah tidak adanya arah yang jelas dalam menyusun orientasi pembangunan manusia Indonesia, padahal dapat kita katakan bahwa sumber daya manusia adalah unsur potensi bangsa yang paling vital dan strategis karena terkait dengan investasi kepemimpinan bangsa masa depan. Kita tidak melihat adanya sebuah proses pembentukan karakter bangsa yang kuat, sehingga yang dihasilkan adalah bukannya bangsa yang pembelajar dan mau berpikir, tetapi menjadi bangsa yang malas untuk membuat perubahan-perubahan. Memang sejarah bangsa telah dibelokkan sedemikian rupa oleh segolongan elit untuk kepentingan mereka. Tetapi bagi saya, janganlah kita terlalu memusingkan diri terkait dengan ulah mereka. Sejarah tidaklah cukup untuk diulang, melainkan sejarah adalah untuk diciptakan dimana peran masing-masing kepemimpinanlah yang nanti akan bertanggung jawab dalam menciptakan sejarah peradaban-peradaban bangsa, termasuk bangsa kita.
Dengan tiadanya identitas bangsa tersebut, selain kondisi potensi SDM bangsa yang hancur, kanal lain yang ikut terlibas adalah tidak adanya strategi pembangunan yang terstruktur dan konvergen. Saat ini, pembangunan lebih dimanfaatkan oleh para pejabat sebagai lahan untuk memperkaya diri dan mengembalikan ‘modal’ kekuasaan, sehingga yang terjadi adalah adanya kesesatan identitas kehidupan berbangsa. Orde Lama menafsirkan identitas bangsa dengan Politik Mercusuar, sehingga yang muncul adalah Poros Jakarta-Peking. Sedangkan Orde Baru mencoba menjabarkan identitas bangsa kedalam P4 yang tak lain sebagai representasi dari tangan besi Soeharto. Yang lebih menarik lagi, Orde Baru tak hanya P4, melainkan juga poros Cendana yang menghasilkan orang kaya baru serta menciptakan poros Jakarta-Washington yang hasilnya adalah komplotan konglomerasi kapitalis perusak bangsa.
Akhirnya, saat ini ketika kita mengatakan kondisi bangsa yang carut marut, saya kira ya inilah realitanya. Semua ini tak lain sebagai efek kompleksitas kerusakan bangsa yang tak punya identitas, atau kalaupun punya maka dapat dikatakan kita sebagai bangsa yang menderita kesesatan identitas. Secara logika, untuk membangun kembali bangsa ini sepertinya dibutuhkan semacam reorientasi gerakan dalam menyusun paradigma-paradigma serta sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Menjadi hal yang cukup mustahil ketika kita mencoba mengakselerasi pembangunan akan tetapi kita tidak meluruskan orientasi pembangunan bangsa. Sehingga dapat dipastikan sampai kapanpun jika orientasinya masih salah, saya kira kita akan menjadi bangsa yang tersalahkan, baik oleh pendiri bangsa kita dulu, maupun anak cucu kita nantinya.
Masing-masing kita bukanlah pewaris dosa dan kesalahan. Akan tetapi, ketika kita tidak mau menyadari akan hal ini serta kita tidak mau berusaha untuk memperbaikinya, maka itulah sebuah langkah awal dari adanya investasi dosa dan kesalahan sehingga yang kemungkinan terwujud nantinya adalah hancurnya peradaban bangsa sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, hanya saja kita tidak mau berpikir besar sehingga belum pernah ada prestasi-prestasi besar bagi kemaslahatan umat manusia.
Wallahua’lam


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 06:34, ,