“Akulah petualang yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air..” -Hasan al Banna-



DEMONOLOGI TPB

DEMONOLOGI TPB*

Kepada para mahasiswa, yang merindukan kejayaan....
Kepada rakyat yang kebingunan, di persimpangan jalan...

Bebas dan merdeka, milik kita bersama....
Tak kan seorang-pun dapat mengambilnya....


Ketika kita mencoba menarik pendulum waktu untuk kembali menuju awal perjalanan, maka kita mendapatkan sebuah retorika kehidupan akan idealisme hasrat seorang manusia. Segala kesempurnaan, impian, maupun hayalan tingkat tinggi seakan – akan menimbulkan gejolak batin, dan itu seringkali sebuah penyesalan yang berkepanjangan, walaupun sebenarnya kita sendiri dapat memperkirakan real effects atas segala sesuatu yang kita usahakan.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan sebangsa....
Ketika kita berbicara akan perjalanan nasib kita di kampus ini, maka kita akan mendapatkan suatu rumusan perjalanan kehidupan yang seringkali bermuara pada sebuah episode ‘opera sabun’ akademik. Artinya, hirarki waktu seringkali menertawakan diri kita akan kelengahan kita dalam upaya mengarungi lapis demi lapis samudera kehidupan kita di kampus ini.
Keterkaitan mahasiswa dengan kondisi akademiknya seringkali dijadikan sebuah alibi dalam rangka menjalankan amanahnya sebagai ‘mahasiswa’. Sehingga, segala permasalahan yang dibicarakan-pun seolah tak mau lepas dari segala putaran roda kuliah dan perkuliahan.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan – rekan penjaga garda nurani....
Ketakutan kita akan sebuah kalimat ‘nasib akademik’ sepertinya mau tak mau, langsung atau tidak langsung akan mendudukkan diri kita sebagai seorang ‘pejuang nilai’ yang menyiratkan kesempitan silogisme kita sebagai manusia.
Terkait dengan nasib kita di kampus, ternyata paradigma lama, dimana kita mengibaratkan studi sebagai konsumsi utama ‘anak kuliahan’. Pergumulan kita di Gedung B atau Gedung C ternyata memiliki porsi yang lebih besar, atau barangkali satu – satunya konsumsi kita di kampus ini.
Sehubungan dengan masalah akademik di kampus ini, maka seringkali kita memandang TPB sebagai suatu fase ‘OSPEK Akademik’. Masa TPB menuntut kita untuk berjuang mati – matian dalam rangka membebaskan diri kita dari segala resiko yang menyertainya, yaitu adanya konsekuensi ‘angkat kaki’ alias DO (drop out) jika tidak memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam kontrak belajar kita, yaitu masa TPB yang hanya berbatas 2 tahun dengan prasyarat tidak ada nilai E serta indeks prestasi ber-threshold 2. Suatu hal yang menakutkan memang. Artinya, ada suatu keharusan yang mau tidak mau untuk dilakukan jika kita menginginkan selamat dari fase ‘candradimuka’ ini, dimana di lain pihak kita diharuskan pula untuk menyesuaikan diri kita dengan kehidupan kampus, atau lebih khusus kehidupan sebagai seorang mahasiswa.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan perindu kemenangan....
Sebuah fenomena klasik, dimana setiap tahun kita kehilangan beberapa saudara kita yang harus ‘tereliminasi’ melalui prosesi DO ini. Gambaran kengerian serta ketidakinginan seringkali terbersit dalam pikiran kita. Namun, yang harus kita tanyakan adalah apakah itu hanya sekedar formalitas ungkapan perasaan saja, atau bayangan kita akan resiko yang harus kita hadapi, khususnya bagi rekan – rekan kita yang saat ini masih mengambil mata kuliah TPB.
Namun ketika kita hayati, ternyata segala permasalahan itu bertumpu pada diri kita sendiri, yaitu segala hal yang berkaitan dengan kesadaran diri.
Saat ini, untuk angkatan 2003 merupakan waktu dan kesempatan terakhir untuk mengambil mata kuliah TPB. Artinya, ketika rekan – rekan angkatan 2003 tidak bisa mematuhi regulasi pendidikan yang ada di kampus ini, maka ‘dengan segala hormat akan dipensiunkan’.
Keberadaan teman – teman Pansus TPB yang dibentuk oleh BEM, hendaknya memberikan atmosfir penyadaran akan dilema TPB ini. Namun yang saat ni terjadi adalah signifikansi keberadaan Pansus TPB ternyata kurang, dan faktor terbesar yang menyebabkannya adalah kurangnya agresivitas rekan – rekan yang terkena ‘delik TPB’. Hal ini dapat dilihat dari respons mahasiswa akan program – program yang ditawarkan olah Pansus sendiri, walaupun tidak dapat dipungkiri akan efektivitas metode maupun strategi yang dilakukan oleh rekan – rekan di Pansus.
Namun itu bukanlah sekedar wacana Saudara.....
Bahwa keberadaan Pansus-pun setidaknya memberikan salah satu solusi riil yang ditawarkan oleh teman – teman advokasi BEM dalam rangka deal dengan 0% DO.
Segala kengerian yang menyertai gerbong TPB sebenarnya bisa diminimalisir apabila pihak – pihak yang merasa berkepentingan dengannya merasa responsif, yang diartikan dengan adanya partisipasi aktif dan sambutan terhadap tawaran solusi tersebut.

Rekan – rekan mahasiswa, generasi terbaik umat.....
Satu hal yang seringkali terjadi terhadap permasalahan mahasiswa yang bermasalah (dengan mata kuliah TPB) dengan Pansus TPB adalah adanya sebuah tuntutan yang dialamatkan kepada Pansus ketika para mahasiswa bermasalah tersebut merasa kurang maksimal akan hasil yang dicapai dalam final tests.
Namun menjadi sebuah kekeliruan jika rekan – rekan yang merasa bermasalah tersebut tidak memanfaatkan solusi yang ditawarkan oleh Pansus, namun pada akhirnya ‘menuntut’ Pansus untuk memperjuangkan permasalahan mereka. Memang logis, bahwa keberadaan Pansus TPB adalah untuk membantu rekan – rekan kita yang bermasalah. Namun itu bukanlah suatu reaksi yang sinergis, artinya tidak adanya hubungan aksi-reaksi ketika solusi yang ditawarkan Pansus tidak dikonsumsi oleh para mahasiswa yang bermasalah itu sendiri.
Kita tidak bisa retroaktif, artinya menuntut kebenaran namun kita tidak memiliki andil dalam usaha untuk mencapainya, atau bahkan kita sendiri yang ‘menyalahi langkah’.
Jadi, asumsi bahwa zero DO hanya dicapai jika ada usaha yang nyata dari rekan – rekan yang bermasalah adalah benar. Pansus TPB-pun juga bukan manusia ‘setengah dewa’, artinya hanya memberikan sarana, bukan jaminan.

Rekan – rekan mahasiswa, rekan seperjuangan....
Waktu kita yang tersisa untuk menghadapai pertempuran ini marilah kita efektifkan. Kita tidak bisa menuntut hasil yang terbaik ketika kita tidak berusaha yang terbaik. Dan yang harus kita yakini adalah adanya korelasi yang nyata antara usaha dan hasil, artinya prasangka Allah tergantung dari prasangka hamba-Nya.

Selamat berjuang Saudaraku.....
Kemenangan adalah resiko orang yang berjuang....
Ketika kita harus memilih, maka pilihlah yang terbaik. Karena kita adalah umat yang terbaik.....


Istana Perjuangan, 8 Juni 2005



TW Yunianto
Presiden Mahasiswa


*)Demonologi TPB : Bukanlah upaya doktrinisasi teori‘kengerian’ TPB


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 21:31, ,


MAHASISWA, APA YANG KAU CARI…?!
TW Yunianto*

Ada juga pemuda yang tumbuh dalam suasana bangsa yang keras dan bergolak,
di mana bangsa itu sedang dikuasai oleh lawannya,
dan dalam semua urusan diperbudak oleh musuhnya.

Bangsa ini berjuang semampunya untuk mengembalikan hak yang dirampas,
tanah air yang terjajah, dan kebebasan, kemuliaan,
serta nilai agung yang hilang.

Saat itulah, kewajiban mendasar bagi pemuda yang tumbuh dalam situasi seperti ini
adalah berbuat untuk bangsanya lebih banyak dari pada berbuat untuk dirinya sendiri.
Jika ia lakukan hal itu, ia akan beruntung dengan mendapatkan kebaikan segera di medan kemenangan......

-Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan-

Mahasiswa, sebuah predikat yang dapat dikatakan amat-sangat terhormat ketika kita kembali ke masa 60-an, ketika saat itu manusia Indonesia masih sedikit yang mampu menikmati bangku kuliah, sehingga tak jarang pesta kelulusan seorang mahasiswa dirayakan oleh orang sekampung. Sekarang, posisi kita juga masih terhormat. Dengan predikat supplier pengangguran terdidik, kita setidaknya masih dikatakan sebagai pengangguran intelek. Apakah itu sebuah kehormatan..?!
Dalam sebuah dialog warung kopi ada seorang bapak – bapak yang bertanya kepada salah seorang pemuda yang ada di sebelahnya. Seorang bapak tadi bertanya,”Gimana ya Dik, sekarang ini sepertinya negeri kita diacak – acak, tidak hanya oleh luar negeri, tetapi para pejabatnya-pun tak ubahnya seperti macan lapar. Korupsi di mana – mana, dan ujung – ujungnya duit rakyat yang dihisap...!!. Kalo kita lihat, mereka itu kan sebenarnya orang – orang pinter juga, mantan mahasiswa, tapi kok kenyatannya seperti itu..??”. Dari penggalan dialog di atas, apakah itu sebuah kehormatan....?!
Posisi mahasiswa bukanlah sebuah gelar jabatan atau kehormatan, namun lebih dari sekedar tanggung jawab moral yang mengikat, dan masyarakat akan selalu menanyakan apa yang kita bisa lakukan. Kondisi realitas yang ada di sekitar kita, dimana banyak ketimpangan – ketimpangan yang terjadi, menjadi sebuah beban yang mau tidak mau bertengger di pundak kita. Kalaulah saat perjuangan kemerdekaan dulu mahasiswa dan pemuda tidak bangkit melalui pemikiran – pemikiran serta pergerakan – pergerakannya, maka mustahil kemerdekaan ini dapat diraih. Kalaulah tragedi 98 tidak terjadi, dimana mahasiswa sebagai motornya, maka dimungkinkan rezim tiran masih bercokol di negeri ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembaharuan – pembaharuan yang terjadi dalam suatu siklus generasi dimulai dari peran seorang MAHASISWA....
Sekarang, yang kita butuhkan adalah sebuah kesadaran akan posisi dan potensi kita, bahwa ternyata diri kita mampu mengubah peradaban. Tidak hanya itu saja, kita sebagai mahasiswa ternyata masih memiliki suatu citra yang khas di mata masyarakat. Mereka memandang kita selain sebagai masyarakat intelektual, juga sebagai independent crisis solver atas realitas sosial serta ketimpangan – ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat.
Sehingga, karakter mahasiswa yang paling menonjol seharusnya adalah kemampuan dalam melihat segala permasalahan secara obyektif dengan menempatkan moralitas sebagai patron pergerakan. Jika saat ini, di kampus ini, kita masih merasakan akan adanya permasalahan yang menempatkan kita sebagai objek penderita, maka setidaknya kita harus bisa merasakan akan adanya permasalahan tersebut, sehingga kesadaran timbul sebagai ekspektasi dari sense of belonging atas kampus kita.
Kita sebagai mahasiswa setidaknya menempatkan diri sebagai kaum oposisi, dimana secara kontekstual oposisi akan berfungsi dalam social control atas kondisi lingkungan yang ada. Artinya, iktikad perubahan untuk sebuah kebaikan bersama akan kita dukung, namun kita akan selalu menentang atas segala kebijakan yang berorientasi penindasan. Namun sekarang, sejauh mana diri kita mengerti dan memahami akan permasalahan – permasalahan kita sebagai mahasiswa, khususnya yang terjadi di kampus kita.
Apakah dengan adanya kompleksitas permasalahan, kita akan semakin memahami, atau bahkan tidak menyadari sama sekali. Kita coba lihat bagaimana ketimpangan kebijakan akademik terjadi di kampus kita. Mulai dari pemotongan nilai SKS dari 21 menjadi 20 bagi mahasiswa yang ber-IP kurang dari 3. Apakah nominal 1 SKS cukup signifikan bagi institusi yang setiap tahunnya berpendapatan kotor sekitar 50 Miliar ? Padahal rata – rata SKS matakuliah bernilai 3 atau 2. Kalau memang itu tidak signifikan, maka bukankah hal itu sebuah manuver yang bermuara pada sebuah predikat komersialisasi pendidikan.
Bagaimana kita melihat kinerja aparatur institusi ini. Sudah sebandingkah dengan jargon – jargon yang senantiasa mereka dengungkan ? Adakah center of excellence di kampus tercinta ini ? Apakah sudah sebanding nilai jutaan yang setiap semester kita keluarkan dengan fasilitas yang kita dapatkan ?
Seharusnya, kita sudah bisa melihat akan kondisi kampus kita saat ini, dimana permasalahan ternyata masih bercokol begitu kuatnya. Apalagi sampai saat ini kita masih belum mengetahui penyaluran dana pendidikan yang dibayarkan oleh orang tua kita. Bukankah itu sebuah hak bagi kita selaku salah satu stake holder kampus ini ?
Itu baru sebagian dari permasalahan kampus Saudaraku....
Ternyata masih terlalu banyak permasalahan – permasalahan yang terjadi di sekitar kita, dan itu semua butuh sentuhan peran – peran kita. Apakah kita sudah membayangkan ketertindasan rakyat sebagai akibat dari kebijakan – kebijakan pemerintah yang kita nilai lebih berkiblat pada kapitalisme barat ? Bagaimana rakyat saat ini menjerit meneriakkan yel – yel ketertindasannya sebagai akibat dari rencana pemerintah menaikkan harga BBM lebih dari 50%. Atau debat – debat para pemimpin ini yang hanya berkisar pada tuntutan nafsu kekuasaan belaka. Masihkah ada empati yang ditunjukkan oleh para pemmpin negeri ini ketika mereka menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan, dimana di sisi lain rakyat masih ada yang perutnya buncit, badan kurus kering, karena tragedi busung lapar ?
Ketika budaya korupsi makin merajalela, namun di sisi lain masih banyak rakyat yang hidup di emperan toko, bawah kolong – kolong jembatan. Padahal secara tertulis undang – undang menjamin mereka dengan mendudukkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Sekarang yang kita perlukan bukanlah sebuah perdebatan, melainkan aksi nyata. Dan satu hal yang harus kita pahami bahwasanya permasalahan kampus, bangsa, maupun sosial lainnya adalah tanggung jawab kita semua. Bukan hanya BEM, himpunan maupun lembaga tertentu yang senantiasa kita pandang miring sebagai pihak yang bertangung jawab atas itu semua.
Sudah saatnya kita menuding diri kita, menanyakan peran kita, sudah sejauh manakah kita melangkah dan mengerti akan posisi strategis kita saat ini.
Saatnya buka mata, buka telinga, dan buka hati nurani. SALAM MAHASISWA....


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 15:42, ,




Gerakan Mahasiswa, Gerakan Sosial atau Partisan ?

Gerakan Mahasiswa, Gerakan Sosial atau Partisan ?
TW Yunianto*


Beta hanya duli di udara,
Hanyut mengikut dalam pawana.
Sejuk embun turun ke jiwa,
Dan di mata menerang sinar
-Tebaran Mega-

Seorang tokoh pendidikan dari University of New York, Prof. Altbach mengatakan dalam sebuah bukunya yang berjudul ‘Student Politics’, hakikat gerakan mahasiswa pada umumnya adalah perubahan. Konteks perubahan tersebut memiliki dua muara, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik. Jika kita ambil pemikiran Prof. Altbach tersebut, maka kita dapat menyadari bahwa ternyata ada fungsi – fungsi strategis yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Gerakan ekstra-parlementer yang saat ini menjadi icon pergerakan mahasiswa ternyata mampu memberikan warna tersendiri bagi perikehidupan rakyat, khususnya arah perpolitikkan suatu bangsa. Sebut saja peristiwa tumbangnya rezim Soekarno pada tahun 1966, tergulingnya orde baru oleh sekelompok anak muda yang menamakan dirinya mahasiswa (KAMMI, BEM, Forkot, dll), serta beberapa peristiwa heroik lainnya yang memberikan citra terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri. Beberapa peristiwa tersebut, secara umum dilatarbelakangi oleh adanya kekrisisan kondisi sosial politik, sehingga masyarakat membutuhkan suatu atmosfer baru sebagai kompensasi atas gagalnya kepemimpinan generasi saat itu.
Sesuai dengan ciri khas pergerakan mahasiswa yang non-afiliasi, setidaknya ada dua hal mendasar sebagai referensi dalam memberikan sebuah kontribusi baik dalam ranah sosial maupun politik. Kedua hal tersebut adalah perubahan dan perbaikan. Ketika kita melihat realitas yang ada saat ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya bola – bola pergerakan yang digulirkan oleh mahasiswa bertujuan untuk memperbaiki kondisi, baik sistem maupun komponen yang terlibat didalamnya. Walaupun hal itu tak dapat kita generalisir begitu saja, tergantung dari sudut mana permasalahan tersebut dipandang, atau dengan kata lain ada istilah komersialisasi isu pergerakan, sehingga memungkinkan pihak – pihak tertentu memanfatkan mahasiswa untuk kepentingan mereka.
Namun sekarang kita coba untuk menelaah fungsi dan posisi mahasiswa dari kaca mata publik atau masyarakat yang telah memberikan mahkota kepercayaan terhadap mahasiswa untuk mengawali prosesi perubahan ke arah perbaikan yang selama ini mampu memberikan warna yang cukup berarti dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.
Sebagai seorang pemuda yang memiliki keinginan untuk terus bergerak dalam rangka mendapatkan kondisi yang diinginkan, mahasiswa selalu berada di lini depan untuk mendobrak ketidaksehatan kondisi sosial yang ada. Apalagi ketika hal itu berhubungan dengan kepentingan masyarakat yang nota bene sebagai stake holder utama dan pertama atas sebuah komunitas yang kita namakan sebagai bangsa. Sehingga secara tidak langsung peranan mahasiswa akan menentukan arah kebijakan bangsa ke depan. Peranan mahasiswa tersebut akan lebih tajam ketika berbagai komunitas maupun organisasi kemahasiswaan mulai bermunculan. Artinya, organisasi kemahasiswaan akan lebih memungkinkan bagi mahasiswa tersebut untuk lebih berkreasi dan berapresiasi akan peran strategis mereka. Paling tidak, mahasiswa dapat disebut sebagai safety player, sehingga berbagai strategi baik secara struktural maupun kultural dapat dilakukannya.
Dengan adanya kestrategisan fungsi dan posisi serta ditambah dengan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada mahasiswa, maka sudah menjadi kewajiban moral bagi kita sebagai seorang mahasiswa untuk memerankan fungsi sebagai penyambung aspirasi publik yang dinilai lebih layak untuk diperjuangkan dari pada kepentingan kelompok atau golongan tertentu yang sengaja ingin menguasai strata sosial untuk kepentingan mereka. Masyarakat yang menginginkan perubahan, secara tidak langsung menaruh harapan kepada mahasiswa untuk melakukan sebuah perubahan atau revolusi sistem yang telah mengalami kebusukan. Adapun pembusukan sistem tersebut biasanya dilakukan oleh sekelompok orang atau golongan yang secara sengaja ingin memanfaatkan kondisi tersebut demi tujuan maupun kepentingan pragmatisnya.
Saat ini, gerakan mahasiswa didudukkan sebagai referensi langkah bagi komponen masyarakat yang merindukan perbaikan tadi. Sebut saja ketika era reformasi yang melibatkan seluruh komponen bangsa, baik mahasiswa, buruh maupun para elit politik yang masih memiliki kesehatan nurani akan permasalahan bangsa ketika itu. Dan dapat dipahami bahwa peran mahasiswa dengan gerakan ekstra-parlementernya, mampu memberikan akselerasi dalam menciptakan perikehidupan bangsa yang baru, yaitu angin demokrasi dengan bertajuk reformasi. Manuver moral dilancarkannya untuk mem-pressure metode - metode politis yang dimiliki oleh elit penguasa saat itu untuk mempercepat langkah perbaikan. Melalui jargon Indonesia mengalami krisis multidimensional termasuk krisis kepemimpinan nasional, mahasiswa berhasil menggusur sebuah rezim yang dikenal memiliki ribuan tangan kekuasaan.
Kalau misalnya hal itu dapat kita perankan lagi saat ini, maka bukanlah sebuah keniscayaan jika perubahan ke arah perbaikan tadi tidak hanya menjadi mimpi besar masyarakat, namun juga sebagai langkah besar yang memberikan renaissance tersendiri bagi nasib bangsa ini ke depan, dan tentunya sudah menjadi hak bahwa nasib bangsa dan negara ini milik rakyat, bukan milik segolongan elit atau kelompok saja. Maka sekrang menjadi sebuah pilihan bagi kita selaku mahasiswa, apakah kita akan memberikan hak rakyat tadi dengan memposisikan diri kita sebagai garda terdepan dalam perjuangan, atau mengorbankan diri kita sebagai seorang ’pahlawan’ bagi segolongan msyarakat, atau malah kita hanya diam saja menjadi penonton atas pergulatan aspirasi rakyat dengan kepentingan golongan sehingga kita termasuk orang – orang lemah dan merugi. Wallahu a’lam.

Sudah saatnya kita ambil peran kita...
Jangan titipkan perjuangan ini pada siapapun, karena kitalah sang pewaris kejayaan....

*) Presiden BEM-KBM STTTelkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 09:39, ,


Fatwa ‘Banyol’ Ketua MUI Kabupaten Bandung
TW Yunianto*


Ulama adalah panutan umat, begitu adalah opini masyarakat awam terhadap keberadaan para ulama di masyrakat. Apalagi hal itu dikuatkan dengan salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwasanya ulama adalah pewaris para nabi. Lantas bagaimanakah ulama tadi menempatkan dirinya di mata umat ?
Beberapa hari yang lalu di salah satu koran yang terbit di Kota Bandung, dimuat pernyataan salah seorang ulama, yang notabene menjabat Ketua MUI Kabupaten Bandung, yang cukup kontroversial. Ulama tersebut juga merupakan anggota tim sukses dari salah satu kandidat bupati / wakil bupati Bandung yang akan berlaga pada Pilkada 22 Oktober mendatang. Dalam salah satu kesempatan orasinya, sang ulama tersebut mengatakan, “Makanya memilih pasangan XX wajib ‘ain hukumnya bagi umat Islam. Lamun henteu milih, doraka”. Sebuah kalimat yang sangat mudah keluar dari mulut setiap orang. Namun bagaimana jika kalimat tadi keluar dari mulut salah seorang ulama, apalagi sudah mengandung makna hukum dengan penekanan kata doraka atau dosa ?
Memang sudah menjadi trade mark tersendiri bagi para kandidat dengan cara menggaet para tokoh masyarakat, apalagi ulama, untuk menjaring suara demi kemenangan dirinya dalam perhelatan politik tersebut. Sebenarnya tidak salah bagi para ulama atau tokoh masyarakat untuk bergabung di salah satu tim sukses, namun akan menjadi masalah jika sang tokoh atau ulama tadi menggunakan posisi strategisnya, apalagi mencatut lembaga yang dipimpinnya, dalam rangka mengeluarkan ajakan maupun bujuk rayunya untuk meyakinkan massa. Walaupun yang terjadi di lapangan hanyalah sekedar banyolan ataupun sebuah statement dalam rangka mendinamisasikan suasana kampanye, namun hal tadi akan dianggap serius oleh sekalangan masyarakat, apalagi masyarakat yang nota bene masih memiliki paham sendika dhawuh (menurut saja-red) terhadap para pemimpin terlebih ulamanya. Kalaupun yang terjadi banyolan, maka pantaskah jika ulama mengeluarkan banyolan di muka publik, apalagi untuk kepentingan politis ?
Anak SD yang paham akan fungsi seorang ulama, pasti akan tertawa jika mendengar hal tersebut. Bagaimana tidak, perkataan seorang ulama yang seharusnya menjadi panutan umat, malah dipelintirkan untuk kepentingan politik. Jika seorang ulama dengan mudahnya mengeluarkan fatwa halal maupun haram, maka akan ada berapa banyak fatwa yang penuh warna yang keluar dari masing – masing mulut ulama. Ulama A mengatakan dosa untuk suatu hal, namun ulama B mengatakan sebaliknya. Lantas umat diminta menurut kepada siapa ?
Seperti yang penulis ketahui, bahwasanya untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan akan suatu hukum, maka diperlukan suatu forum khusus yang tidak hanya dihadiri oleh satu atau dua orang ulama saja, apalagi kalau kasus itu terjadi di Indonesia, maka yang memiliki kewenangan adalah Majelis Ulama Indonesia, dimana pemerintah memberikan kewenangan padanya untuk memutuskan suatu hukum. Akan menjadi hal yang sangat kontroversial, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung, jika fatwa tersebut keluar dari seorang ulama untuk kepentingan tertentu, dengan cara melakukan klaim-isasi atas hukum, dan disana pula publik mengetahui baik secara langsung maupun tak langsung. Jika yang terjadi adalah demi kemaslahatan, maka masih dapat ditolerir, namun jika yang terjadi adalah banyolan politik seorang ulama dengan mengeluarkan suatu fatwa untuk kepentingan dirinya, maka yang ada adalah penipuan kepada umat. Seorang ulama ada bukan untuk membingungkan umat. Seorang ulama ada bukan untuk membohongi umat, apalagi jika ulama tadi menurut saja untuk ‘dimanfatkan’ oleh pihak – pihak tertentu dalam rangka memuluskan keinginan – keinginan mereka. Akhir dari tulisan ini, penulis ingin tanyakan kepada pembaca sekalian,”Jika seorang ulama seharusnya hadir untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, maka siapa yang berhak untuk menghukum jika ulama tadi telah dengan sadar mempermainkan fungsinya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya ? Apakah ulama tadi sudah amanah ? Ataukah sekarang ini kita sudah tidak memiliki lagi ulama yang benar – benar memiliki tafaqquh fiddiin yang mampu menjadi panutan umat ? Yang jelas, Rasul-pun tidak salah ketika mengatakan ulama adalah pewaris para nabi. Namun, siapa yang salah jika ulama yang ada tidak bisa mewarisi amanah itu ? Saya kira, perlu ada lembaga tersendiri untuk meng-akreditasi para ulama, khususnya syarat kesehatan akal bagi seseorang yang ingin untuk menjadi seorang ulama”. Wallahu a’lam…

Lamun henteu milih, doraka : Jika tidak memilih, berdosa

*) Presiden BEM-KBM STTTelkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 08:21, ,




BOM BBM, KADO AKHIR TAHUN RAKYAT KECIL

BOM BBM,
KADO AKHIR TAHUN RAKYAT KECIL !!!!
TW Yunianto*


Sebuah prestasi telah diukir oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla selama satu tahun pemerintahannya. Prestasi yang amat prestisius dalam rangka menyelamatkan negara ini dari jurang kehancuran. Namun yang terjadi adalah sebuah drama kesedihan yang mengharu biru di tengah kebahagiaan masyarakat menyambut keberkahan bulan Ramadhan, Natal dan Tahun Baru. Kenaikan harga BBM sebesar 87 % ternyata disambut dengan riuh tangisan rakyat yang merintih, mengadu atas kebijakan pemimpinnya yang dianggap anti-sensitif atas kondisi masyarakat yang terjadi saat ini. Di tengah mewabahnya busung lapar, korupsi yang menyebarkan tikus – tikus birokrasi, pemimpin bangsa ternyata telah membuat manuver politik dengan mendudukkan rakyat kecil sebagai objek penderita. Kesalahan apalagi yang telah dibuat oleh rakyat yang tak berdosa selama ini...?
Tanpa rasa malu, pemimpin negara ini seolah telah menjadi pahlawan dengan berdalih penyelamatan bangsa dengan mengorbankan rakyatnya untuk sebuah tujuan yang dinilai tiran. Selama ini, pihak manakah yang senantiasa memanfaatkan para ‘boneka - boneka’ pemerintahan kita untuk kepentingan mereka ? Kenaikkan harga minyak mentah yang dimainkan oleh kaum kapitalis barat, ternyata telah membius para pemimpin kita untuk ikut masuk kedalam skenario mereka. Dengan lemah dan lembutnya, ternyata kecerdasan para pemimpin ini telah diracuni oleh ‘otak – otak kotor’ mereka untuk menanamkan pemikiran – pemikiran kapitalis dalam rangka penguasaan dunia di bawah ‘kaki – kaki’ mereka. Mau dibawa kemana arah bangsa ini jika selama ini para pemimpin negeri tidak memiliki nurani dan sensitivitas sosial dengan jeritan rakyat yang menggaung dan menggema di tengah – tengah sakitnya bangsa ini ?
Dalam suatu pidato, Soekarno mengatakan dan menegaskan akan kehormatan bangsa ini dengan sebuah pernyataan ‘go to hell with your aid...!!!’, namun yang terjadi sekarang ternyata bangsa ini diajak serta oleh mereka untuk go to hell. Dimanakah kehormatan kita sebagai bangsa yang berdaulat yang sejak dulu diperjuangkan oleh para perintis bangsa ini ? Menangiskah mereka melihat kondisi anak cucunya yang saat ini sekarat dihinggapi penyakit ketergantungan terhadap kaum kapitalis yang sebenarnya lintah penghisap darah kehormatan bangsa..?
Ketika pemerintah berencana menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu, ternyata banyak penyikapan yang dilontarkan oleh sebagian besar dari masyarakat kita, khususnya mahasiswa, sebagai ekspresi ketidaksetujuan terhadap rencana pemerintah tersebut. Di tengah antrian masyarakat untuk mendapatkan minyak tanah, perkelahian antar-sopir angkot untuk mendapatkan bensin, ternyata masih ada kemasygulan yang menghinggapi hati para pejabat untuk membatalkan rencana mereka. Ya... saat ini mereka hanya duduk manis di ruangan berpendingin, bermobil mewah dimana kerusakan jalan tak terasakan, berkaca gelap dimana fatamorgana nurani telah terjadi atas kondisi masyarakat selama ini. Apakah mereka pernah bermimpi akan kondisi rakyat yang tidak memiliki kepastian untuk dapat makan yang layak, mendapatkan kebahagiaan sebagai hak yang tak dapat tergantikan baik oleh materi sekalipun ? Bahkan, apa artinya kompensasi BBM yang jumlahnya hanya 100 ribu per bulan... ?
Sebuah ironisme yang diterjemahkan oleh kebanyakan masyarakat kecil sebagai silogisme kesialan, ternyata telah memberikan efek ketidakpercayaan publik terhadap pemimpinnya. Apakah di jidat – jidat mereka tidak terlintas sama sekali akan bayi – bayi yang menagis karena tak diberikan susu akibat dari kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan harga bahan pokok ? Ataukah orang – orang jompo yang sedang sekarat karena tiada biaya untuk membeli obat ?
Kita dapat mengklaim bahwa implikasi kenaikan harga BBM akan berdampak lebih buruk dari pada tragedi tsunami tahun lalu yang mengguncang bumi serambi Mekah, Aceh. Jika kita lihat, korban tragedi tsunami kurang lebih 150 ribu jiwa. Namun, korban kenaikkan biaya BBM dimungkinkan akan memberikan dampak yang lebih parah. Saat ini, lebih dari separuh rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Jika kita ambil separuh dari 50 % tadi untuk kita kategorikan sebagai penduduk yang berada pada stadium krisis, yaitu masyarakat yang tidak memiliki kepastian untuk bisa memenuhi makanan sehari – harinya, maka kita akan memperoleh angka 62,5 juta jiwa terancam mati kelaparan. Jika masih ada masyarakat yang bunuh diri dikarenakan malu atas ketidakmampuan dirinya dalam membayar uang sekolah, maka tidak menutup kemungkinan akan ada masyarakat yang mati, baik karena bunuh diri maupun mati secara wajar hanya karena rasa malu atau ketiadamampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka akan makanan. Maka dimanakah rasio berpikir para pejabat kita, jika kebijakan mereka yang salah ternyata dapat membunuh rakyatnya ?
Jika nilai 100 ribu sebagai wujud dari kompensasi BBM kita masukkan dalam logika berpikir kita, bahkan orang yang bodoh matematika sekalipun, maka mungkinkah nilai 100 ribu tadi memenuhi kebutuhan sehari – hari kita sebagai manusia yang memiliki beribu – ribu, bahkan jutaan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi ? Apakah angka 100 ribu tadi mampu membungkam tangisan – tangisan mereka yang memelas, di tengah teriknya suasana perpolitikan nasional yang tidak menentu ? Atau bahkan bom kenaikkan harga BBM ini sebagai hadiah yang akan menyengsarakan perikehidupan rakyat ditengah leluasanya para koruptor kakap yang telah melarikan uang rakyat untuk memenuhi hasrat surgawi mereka ?
Tidak ada kata lagi bagi kita untuk menutup telinga kita atas tangisan bayi – bayi itu, orang – orang tua yang tak mampu membeli obat untuk sakit mereka, atau para janda – janda yang ditinggal suaminya tanpa meninggalkan sesuatu apapun. Memang telah banyak masyarakat kita yang bunuh diri karena ketiadaberdayaan mereka menanggung hidup, namun ternyata lebih mengetuk hati lagi bahwa saat ini para pemimpin negeri telah membunuh harga diri bangsa ini untuk digiring ke jurang neraka kebinasaan. Jangan sampai harga diri bangsa ini terkotori oleh antek – antek kapitalis yang akan merampas bangsa untuk ditindas di bawah tirani mereka demi sebuah doktrin liberte.
Hanya ada satu kata untuk penyelamatan bangsa ini. Jangan biarkan doktrin kapitalis mengotori perjuangan kita. Para pahlawanpun seolah berkata, ‘Kita tidak akan rela bangsa ini jatuh, terpuruk dalam kesengsaraan’. Dan biarkan kita, mahasiswa, sebagai ‘pahlawan jalanan’, yang berjuang tanpa peluru dan tanda jasa. Hanya mesiu – mesiu nurani yang bergolak, tinggalkan esa menuju sebuah perjuangan tanpa batas. Sungguhpun negeri ini dibangun dengan keringat dan darah – darah para pahlawan. Takkan pernah dibiarkan sejengkal tanah, secuil daging yang tumbuh di negeri ini dirampas oleh para penguasa. Mahasiswa, para pembaharu telah lontarkan jiwa – jiwa perjuangan. Untuk itu, tiada kata lain lagi kepada engkau wahai para mahasiswa, mari kita satukan langkah, satukan perjuangan. Dan sebagai kata akhir, selamat bergabung kawan, di jalan para pahlawan.....

*) Presiden BEM-KBM STTTelkom


selengkapnya...

posted by ENDONISEA @ 07:51, ,